Hukum Crypto dalam Islam, Halal atau Haram?

Hukum Crypto dalam Islam, Halal atau Haram? Yup, kali ini kami akan mengulas soal cryptocurrency atau crypto atau kripto dalam Islam. Hal ini diperlukan agar kita mengetahui apakah crypto halal atau haram? Sekaligus untuk menilik apakah trading dan investasi crypto halal? Ataukah haram?

Adalah AH Azharuddin Lathif, akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjelaskan soal hukum tersebut. Seperti dilansir Republika, dia adalah pengajar hukum ekonomi syariah. Ia menyampaikan, mata uang kripto masuk kategori muamalah yang pada dasarnya dibolehkan selama tidak ada dalil atau petunjuk yang mengharamkannya.

Kaidahnya yakni ‘Al-ashlu fi al-muamalati al-ibahah hatta yadullu al-daliilu ala tahrimiha‘. Artinya, hukum asal muamalah itu boleh sampai ada dalil atau petunjuk yang mengharamkan. Lantas bagaimana dengan kripto?

“Apa petunjuk yang menyebabkan kripto haram? Yaitu ketika kripto dijadikan sebagai ajang spekulasi karena volatilitas yang tinggi sehingga berpotensi menimbulkan gharar, bahaya, dan risiko atau kerugian,” ujarnya.

Hukum Crypto dalam Islam

Karena itu, Azharuddin menyampaikan, mayoritas ulama saat ini memang tidak membolehkan kripto karena dijadikan ajang spekulasi dan faktor volatilitas yang tinggi. Kaidahnya yaitu segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan gharar, kerugian, dan risiko, itu harus dihilangkan.

“Ketika menjadi ajang spekulasi, orang terus mengintip kapan saatnya naik dan turun. Sementara perilaku seperti ini menimbulkan kerugian salah satu pihak yang bertransaksi,” ujar direktur Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Institute itu.

Lalu apa bedanya dengan saham dan jenis perdagangan lain? Bukankah semua perdagangan punya unsur spekulasi? Azharuddin menjelaskan, semua perdagangan tentu memiliki unsur spekulasi tetapi tidak tinggi. Saham pun demikian, ada unsur spekulasi tetapi rendah karena volatilitas dalam saham bisa dikendalikan.

Azharuddin memaparkan, ketika naik-turunnya saham di luar kendali, bursa efek bisa turun tangan untuk mengendalikan.

“Kalau kripto, itu enggak ada. Ini bedanya. Jadi memang semua bisnis pasti ada spekulasi, bisa untung bisa rugi. Tetapi tingkat risikonya tidak setinggi kripto, yang memang tidak ada lembaga pengendali, hanya pasar saja,” jelasnya.

Namun, Azharuddin menambahkan, tidak menutup kemungkinan kripto suatu saat bisa menjadi halal ketika berbagai hal yang dilarang, misalnya unsur spekulasi yang menimbulkan kerugian, itu bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan.

Kripto itu sangat memungkinkan suatu saat bisa halal ketika hal-hal yang dilarang itu bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Misalnya saham, ulama-ulama dulu mengharamkan.

“Tetapi setelah muncul regulasi yang menjamin transaksi di pasar saham bisa berjalan dengan teratur, akhirnya dibolehkan. Yang belum dibolehkan sampai saat ini adalah forex karena spekulasinya itu. Uang memang boleh diperjual-belikan, tetapi sebagai ajang spekulasinya-lah yang tidak boleh,” ucapnya.

Menurut Azharuddin, jika ada orang yang tetap ingin berinvestasi di kripto, maka harus diketahui bahwa potensi naik-turun harga aset kripto sangat tinggi sehingga pasti tidak akan aman dijadikan investasi.

“Unsur spekulasinya tinggi karena tingginya volatilitas sehingga untuk investasi sebetulnya tidak pas. Kalau emas, volatilitasnya rendah, sehingga untuk investasi itu aman,” imbuhnya.

Crypto adalah Perkara Kontemporer dan Masuk Ranah Ijtihadi

Azharuddin mengakui, crypto adalah persoalan kontemporer yang tidak ditemukan dalam Alquran dan As-Sunnah serta ijtihad ulama klasik.

“Kripto mulai muncul sejak 2009 dengan dikenalnya Bitcoin yang dibuat oleh seseorang yang menggunakan nama samaran sehingga tidak jelas siapa penciptanya. Sebelum 2009, istilah Bitcoin dan kripto belum familiar. Saat itu yang diketahui adalah uang elektronik yang berbeda dengan cryptocurrency,” ujarnya.

Azharuddin menjelaskan, mata uang kripto secara sederhana adalah uang digital yang bisa digunakan untuk transaksi tanpa melewati pihak ketiga. Sedangkan kalau uang elektronik itu melalui pihak ketiga. Namun dalam perkembangannya, kini banyak yang berinvestasi pada mata uang kripto.

“Ini adalah persoalan ijtihadi sehingga ulama merespons persoalan kontemporer terkait uang digital yang jumlahya sekarang banyak, tidak hanya bitcoin,” tuturnya.

Azharuddin menyampaikan, ulama-ulama di Timur Tengah saat ini telah banyak menyampaikan pendapatnya soal mata uang kripto.

“Rata-rata berkesimpulan bahwa kripto ini haram dijadikan media transaksi. Misal MUI-nya Turki, itu berkesimpulan bahwa aset kripto baik itu sebagai mata uang atau komoditi adalah sesuatu yang dilarang. Nah ini pendapat mayoritas ulama,” paparnya.

Namun, Azharuddin mengatakan, ada pula yang berpendapat bahwa aset kripto sangat berpotensi dibolehkan. Pendapat ini merujuk pada prinsip dasar muamalah, ‘al-ashlu fi al-muamalati al-ibahah hatta yadullu al-daliilu ala tahrimiha’, yakni hukum asal muamalah itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan.

“Kemudian, argumentasi yang membolehkan kripto, bahwa aset kripto itu merupakan harta karena di dalamnya terkandung manfaat dan nilai,” ungkapnya.

Di beberapa negara pun, terang Azharuddin, Bitcoin sebagai salah satu koin kripto telah diterima. Misalnya di Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan Australia. Namun bukan sebagai mata uang dan hanya sebagai layanan keuangan. Satu-satunya negara di dunia yang menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah adalah El Savador.

Merujuk pada keadaan itulah, lanjut Azharuddin, ada sebagian ulama yang membolehkan. Seperti ulama di Jerman yang menanggapi negaranya yang telah membolehkan kripto. Ulama tersebut pun berpendapat bahwa kripto itu dibolehkan.

Kripto Sesuai Syariat atau tidak?

“Kesimpulannya, apakah aset kripto ini sesuai atau tidak menurut syariah? Jawabannya adalah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Mayoritas melarang karena aset kripto itu sesuatu yang gharar, tidak jelas dan tidak pasti. Asal-asulnya saja tidak pasti. Juga sangat potensial menjadi ajang spekulasi (maysir atau qimar). Inilah yang menjadi sorotan,” jelasnya.

Selain itu, Azharuddin juga menyoroti kripto bila ingin dijadikan sebagai alat transaksi pembayaran. Dia mengatakan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Kripto bisa menjadi alat pembayaran bila memang masyarakat menerimanya. Terlebih di negara tertentu sudah menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran sah.

“Namun dibutuhkan pengakuan hukum oleh negara dan inilah yang penting. Karena sekarang banyak negara yang menolak aset kripto sebagai mata uang karena berbagai alasan,” ucapnya. []

Comments