Dalam satu pekan ini terjadi sesuatu yang langka dalam dunia investasi. Betapa tidak, jenis investasi yang aman dan berisiko itu kena dampak yang signifikan.
Misalnya pada pasar saham khususnya di Wall Street, malah anjlok secara signifikan. Setidaknya ada indeks utama di bursa AS yang memperlihatkan kinerja negatif. Tiga itu ialah indeks S&P 500 merosot 1,69%, Dow Jones bahkan lebih besar lagi 2,15%, dan Nasdaq minus 1,6%.
Kondisi tersebut menjadi gambaran bursa saham di seluruh dunia berada dalam kondisi lemah. FTSE 100 dan Indeks DAX 30 Jerman turun 1,09% dan 1,53%. Dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia melemah 0,52%.
Anehnya, ketika aset-aset berisiko seperti saham memperlihatkan keadaan yang menurun, biasanya aset-aset yang aman seperti emas menunjukkan kenaikan. Tetapi kali ini tidak terjadi karena ikut anjlok lebih dari 2% ke US$ 1.787,34/troy ons.
Selain itu, Cryptocurrency yang lebih berisiko daripada saham, juga menunjukkan pelemahan, khususnya Bitcoin. Sebab dalam sepekan terakhir terjadi penurunan hingga 10 persen. Padahal pasar sudah mulai optimis karena naiknya harga Bitcoin ke angka US$ 50.000 per koin.
Analisis ke Mana Duit Investor?
Indeks dolar AS di pekan ini menguat 0,59% ke 92,582, kemudian yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun naik 1,71 basis poin ke 1,342%. Jika mengacu pada kondisi itu, dapat terlihat bahwa kemungkinan besar banyak investor yang tengah bersiap untuk tapering (pengurangan nilai) bank sentral AS (The Federal Reserve).
Seperti diketahui, tapering program pembelian aset (quantitative easing/QE) pernah terjadi di tahun 2013. Kebijakan ini telah menaikkan yield Treasury dan penguatan tajam dolar AS.
Aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat, sehingga pasar finansial global pun bergejolak yang disebut dengan taper tantrum. Tapering bukan sekedar isu. Ketua The Fed Jerome Powell sudah menyatakan langsung bahwa tapering akan tepat dilakukan di tahun ini. Powell sepakat dengan koleganya di The Fed, tetapi masih belum ada kepastian kapan tapering akan dilakukan.
Sebelum The Fed, beberapa bank sentral dunia sudah mengurangi nilai pembelian asetnya, meski menolak menyebutnya sebagai tapering. Di antaranya adalah Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang sudah mengurangi nilai QE pada Mei lalu, kemudian bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA), bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK) bahkan sudah menaikkan suku bunga acuannya. Yang terbaru bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB).
“Berdasarkan penilaian bersama terkait kondisi finansial dan outlook inflasi, Dewan Gubernur memutuskan untuk melanjutkan program PEPP dengan menurunkan nilainya secara moderat dibandingkan dua kuartal sebelumnya,” tulis pernyataan ECB.
Dalam dua kuartal sebelumnya, nilai pembelian aset ECB sebesar 80 miliar euro per bulan. Atas nilai pembelian aset ECB ini, para analis memprediksi nilainya akan turun menjadi 70 miliar euro hingga 60 miliar euro. Meski nilai program pembelian obligasinya dikurangi, tetap saja itu dianggap bukan tapering.
Salah satu alasan mengapa ECB melakukan pengurangan nilai program pembelian aset adalah karena inflasi yang tinggi. The Fed juga demikian, di mana inflasinya sudah tercapai.
Ketika kondisi moneter melemah, kasus virus corona di banyak negara memperlihatkan situasi yang parah termasuk AS, Eropa dan Asia. Jika ditelisik lagi, dan kalau kasus Covid-19 terus mengalami kenaikan dan stimulus moneter itu dikurangi, maka pasar pun seperti kita-kita ini akan cemas terhadap ekonomi global.
So, i just wanna say, waspada. []
Comments