Perahu-perahu nelayan yang terparkir di pelabuhan kecil Jayanti, Cidaun, Cianjur, Jawa Barat, April 2015 lalu. |
Kehidupan di pesisir pantai Jayanti tak seindah laut yang menemaninya. Nelayan sulit mendapatkan ikan. Tengkulak ikut rugi lantaran minimnya ikan yang disetor nelayan. Ini disampaikan salah seorang tengkulak di pelabuhan Jayanti, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Cecep Supriadi, Senin (13/4/2015).
Hari-harinya Cecep kini lebih banyak dihabiskan bermain kartu dengan sesama pelaut. Bukan karena malas, melainkan sepinya pasokan ikan dari nelayan. "Sekarang, sehari cuma dapat satu kilogram. Terkadang malah enggak ada," kata pria berkulit kecoklatan tersebut kepada Republika.
Sejak awal 2015, pendapatan pria yang akrab dengan laut ini berkurang sampai 50 persen. Bahkan, tidak jarang ia malah merugi. Saat musim paceklik seperti ini, ia hanya mendapatkan pasokan ikan sebanyak 50 kilogram hingga satu kuintal. Jumlah itu jauh dari normal.
Biasanya, ia bisa menampung 1,5 ton ikan dalam sehari. Ikan-ikan tersebut segera dikirimkan ke Jakarta dan pengirimannya bisa sampai dua truk. "Kalau seperti sekarang, dikirim untuk pasar ikan lokal saja," ujarnya.
Saat musim panen, Cecep bisa memperoleh untung Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per hari. Jika sedang bukan musimnya, Cecep hanya untung Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Di musim paceklik ini, nelayan diberat kan dengan biaya operasional. Ditambah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), penderitaan nelayan semakin lengkap. Belum lagi adanya penambangan pasir besi.
"Sejak ada pasir besi, penghasilan laut jadi berkurang," tutur Sukmana, nelayan di Pantai Jayanti.
Di Kampung Cikamurang, Desa Sukapura, Kecamatan Cidaun, berdiri perusahaan pengelola sumber daya alam pasir besi, yaitu PT Megatop Inti Selaras. Berdiri sekitar dua tahun lalu, perusahaan tersebut membuat tangkapan nelayan semakin berkurang. Akibatnya, nelayan kesulitan menangkap ikan.
Suasana pantai Jayanti saat petang, April 2015. |
Keberadaan perusahaan penambang pasir besi itu menjadi masalah untuk kehidupan nelayan di pesisir pantai terdekat. Dua tahun lalu, ungkap Sukmana, tiap nelayan bisa dapat ikan sampai satu kuintal. Sekarang, jumlahnya sangat sedikit, bahkan tidak membawa satu ikan pun.
Hasil tangkapan saat ini sudah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaut. Nelayan harus mengeluarkan uang Rp 9.500 per liter untuk bahan bakar. Sekali melaut, nelayan memerlukan setidaknya 20 liter bahan bakar. "Itu sudah ngirit," kata Sukmana.
Hasil melaut pun tidak dinikmati sendiri. Hasilnya harus dibagi dengan pemilik kapal dan rekan kerja yang ikut melaut. Belum lagi ‘bagian’ untuk tengkulak. "Kalau enggak bisa bayar, utang dulu dan dibayar ketika dapat tangkapan lebih banyak," ujar Sukmana.
Dimuat di Harian Republika pada 14 April 2015
Comments