Memantik Pikiran melalui Spiral

Seni rupa spiral karya Herry Dimyati

Spiral adalah tanda kesemestaan (kosmogoni). Tata surya, sidik jari, tawaf saat menunaikan haji, hanyalah sebagian yang memperlihatkan pola spiral. Ya, semesta ini adalah spiral.

Pola spiral yang memutar hingga berada di satu titik pusat, ini menjadi kekhususan tersendiri bagi seniman seperti Herry Dimyati. Bagi dia, seluruh peradaban di dunia ini membuat spiral. "Sufi kita, Jalaludin Rumi, di salah satu rumahnya di India itu ada spiral," tutur pria yang sudah menginjak usia 60 tahun itu, Rabu (22/4/2015).

Pola spiral itu memang telah sejak lama menarik perhatiannya untuk membuat karya seni rupa yang memiliki unsur spiral. Kini, hasil gagasannya itu menjadi sebuah pameran bertajuk "Cosmogony" yang digelar di Bale Motekar, Bandung.

Ada 12 karya seni rupa yang berada di pameran hasil gagasannya sendiri lewat kerja sama dengan Bale Motekar. Gambar yang ada di dalam karyanya, yakni bentuk spiral, garis-garis, dan kotak. Kebanyakan karya seninya, diwarnai oleh satu jenis warna.

Tak hanya memamerkan karya seni rupanya, Herry juga membuat Ruang Eksperimental Seni Instalasi dan Meditasi "Spiral Daun Pinus". Lewat pameran dan instalasi tersebut, ia ingin mengajak manusia untuk terus berpikir dan mengakrabkan diri dengan alam. Ia mengumpamakan, seorang pengusaha pariwisata tentu akan membuat tempat pariwisata agar masyarakat bisa memiliki tempat untuk menyegarkan pikirannya.

Ruang Eksperimental Seni Instalasi dan Meditasi "Spiral Daun Pinus".

Sementara, seniman punya caranya sendiri. Membuat instalasi tersebut, cara Herry sebagai seorang seniman untuk menyediakan tempat penyegaran bagi masyarakat. Apalagi, kondisi kehidupan di kota tentu akan membuat stres manusia sehingga memang diperlukan tempat penyegaran.

Namun, Herry tak memungkiri adanya masyarakat yang kerap apatis dengan karya seni. Jika ada masyarakat yang seperti itu, bagi Herry, bukan masalah. Berguna atau tidaknya karya seni sebenarnya bukan untuk seniman, tapi si penglihat. "Mau belajar enggak. Kalau mau belajar, ya pengetahuannya bertambah. Kalau enggak, ya mangga enggak apa-apa."

Jika ada yang memandang spiral sebagai hal yang sederhana, "Itu orang yang tidak berpengetahuan. Maaf," tutur dia. Spiral sebagai simbol semesta bahkan menunjukan eksistensi dirinya saat manusia berada dalam kandungan ibu. Posisi manusia ketika masih dalam kandungan, itu berbentuk spiral. "Arti spiral itu tidak sepele," ujar dia.

Sistem pusat yang ada dalam spiral, jelas Herry, dikenal di agama manapun. Di Islam misalnya, gerakan dalam tawaf menunjukan pola spiral. Dan di tengahnya, titik pusat dari spiral. "Pusatnya itu mandala, ini dikenal di seluruh peradaban," lanjut dia.

Selain itu, ayat kedua dalam surat Al-Fatihah, pun kosmogoni. "Segala puji bagi Tuhan dari semesta alam. Semesta alam itu kosmogoni," tambah Herry. Karena itu, di mata Herry, manusia Indonesia harus banyak belajar dan memiliki rasa ingin tahu. "Harus belajar, enggak ada kata lain. Kalau masyarakat enggak mau tahu tentang hukum alam, masyarakat bisa menjadi bodoh," ucap dia.

Gunanya seni, menurut Herry, untuk mengingatkan orang. "Ingatlah manusia tinggal di bumi ini tidak sendirian, karena bersama semesta alam," ujar dia. Seni, adalah kata kunci bagi mereka ingin terus mencari tahu, dan yang mau melakukan ikro.

Boleh dikatakan, karya seni kosmogoni ini orisinil dari Herry. Sebab, setelah ia mencari-cari karya yang sama terkait kosmogoni, lewat buku Modern Art, tidak ada yang membuat karya kosmogoni seperti dirinya.

Karya seni rupa spiral Herry Dimyati.

Agar masyarakat Indonesia maju, mereka harus dekat dengan alam semesta. Seni, adalah alat pemicu untuk menyadarkan manusia agar peka dengan semesta. Di dunia yang beradab, lanjut dia, tempat kegiatan seni, tempat pameran, dan museum, itu diurus negara. Terlebih, masyarakatnya pun sadar bahwa kalau masuk ke pameran, otaknya bakal bergerak.
"Saya hanya ingin manusia Indonesia itu cerdas, kenapa saya berkarya, saya ingin kita cerdas."
Herry pun miris melihat situasi Indonesia saat ini. Sebab, negara ini sudah ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Korea, Malaysia, dan bangsa lain. Di negara lain, seniman itu dihargai, karena mereka tahu bahwa seni adalah jalan menuju kecerdasan. "Karena ada seni, kita jadi bertanya-tanya, gunanya bertanya, kalau muncul jawaban, hasilnya ya pengetahuan," tutur dia.

Digelarnya pameran tersebut, papar Herry, bukan hal mudah. Sebelum pameran itu digelar, selama empat tahun Herry melakukan penelitian tentang seni rupa kosmogoni. "Tidak mudah, ini bukan sekadar pindah mode seperti ganti baju. Ini lewat penelitian sejak empat tahun lalu," jelas seniman yang karyanya sudah malang-melintang hingga mancanegara itu.

Salah satu karya seni rupa spiral Herry Dimyati.

Tidak ada alasan khusus kenapa Herry beralih pada karya seni rupa kosmogoni. Namun, secara sederhana, ia memberikan jawaban: Rasa ingin tahu. Ini adalah dasar dia untuk terjun dalam pembuatan karya seni kosmogoni. Sebab, ia sadar bahwa hidup ini memang penuh dengan rahasia.

"Tugas manusia adalah ikro, mencari tahu, sedikit demi sedikit mengetahui, dan saya ingin jadi manusia," tutur dia.

Melalui karya seni kosmogoni ini, kata Herry, pemikiran dan pengetahuan si penglihat akan lebih berkembang. Karena, diakui memang, tidak mudah untuk mengambil penafsiran dari karya seni tersebut, sehingga akan memicu timbulnya rasa ingin tahu. Menurut dia, jika manusia tidak memiliki rasa ingin tahu, jiwa kemanusiaannya telah luntur. Karena itu, Herry hanya melaksanakan tugasnya sebagai manusia.
"Untuk menjawab rasa ingin tahu," tukas Herry.

Sebelum masuk ke 'dunia kosmogoni', Herry sudah melewati empat periode dalam dunia kesenian. Periode pertama, yakni etnik. Di periode ini, ia banyak melakukan penelitian tentang esensi dan simbol-simbol pada seni etnik. Periode kedua, ia masuk ke dunia di mana ia melukis model dengan pilihan warna monokrom biru. 

Periode ketiga, Herry seakan memasuki dunia anak-anak. Di periode ini, dia melukis bersama anaknya yang saat itu masih berusia empat tahun. Kemudian, masuk ke periode Pohaci. Saat itulah, ia seakan memasuki dunia masa lalu, sekarang dan masa depan. Karya-karyanya di periode tersebut mengandung Pohaci (ibu padi dan ibu bumi) dan bebegig (orang-orangan di sawah).

Suasana di ruang pameran "Cosmogony", di Bale Motekar, Bandung, April 2015 lalu.

Karya terakhir sebelum akhirnya Herry terjun ke kosmogoni, yakni lukisan tentang anak-anak. Karya tentang anak-anak tersebut kemudian menjadikannya pelukis Indonesia pertama yang membuat pameran tunggal di Palais de Nations, Jenewa, November 2008.

Empat tahun yang lalu, Herry mulai memberanikan diri untuk mengerjakan proyek Cosmogony. Hari-harinya dimulai dengan mengeksperimen karya seni yang sekarang dipamerkan. Tapi dia memulai proyek tersebut dengan nol rupiah, bahkan minus, karena harus disesuaikan dengan kebutuhan keluarganya.

Hingga akhirnya, Eep Saefullah Fatah dan Sandrina Malakiano memberikan dukungan terhadap proyek kerja yang tengah Herry lakukan. Eep sempat membeli karyanya yang sebenarnya masih dalam tahap uji coba. Dukungan tersebut menjadi energi penyelesaian proyek Cosmogony itu, hingga berujung pada pameran ini. []

Dimuat di Harian Republika pada April 2015

Comments