Mata Hitam Pertama Jeihan Sukmantoro

Salah satu lukisan Mata Hitam Jeihan Sukmantoro

Lukisan Mata Hitam yang pertama kali dibuat Jeihan Sukmantoro adalah yang bernama "Aku". 

Menurut Pengamat Seni Rupa Mikke Susanto, lukisan tersebut menggambarkan potret seorang Jeihan yang sedang berdiri, menggunakan kaos oblong putih dan sarung, dengan latar yang didominasi warna kuning.

Lukisan yang dibuat pada 1963 itu, memang sudah menggunakan ciri Mata Hitam. Namun, interpretasi yang ditimbulkan dari ciri Mata Hitam di lukisan itu, menurut Mikke, tidak dominan.

Namun, Mikke tahu betul, lukisan "Aku" dibuat di sebuah studio di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Latar sejarah ketika lukisan tersebut tercipta yakni disertai gerakan antiCina di kampus ITB saat itu. Peristiwa ini menjadi cambuk bahwa manusia gelap mata dalam memandang persoalan.
"Peristiwa gerakan antiCina itu membuat beliau (Jeihan) tahu betul harus membela siapa dan bagaimana seharusnya," kata Mikke.
Selain itu, sederet peristiwa yang terjadi pada 1965 itu memang amat penting di negeri ini. Sebab, ketika itu, deretan peristiwa negara sudah tidak bisa diutarakan lagi dengan kata-kata. "Jadi Mata Hitam itu juga disertai apa yang terjadi di luar proses kreatif," terang Mikke.

Barulah, pada lukisan berikutnya, "Gadis", yang dibikin pada 1965, ciri Mata Hitamnya tampak begitu kuat. Warna merah kecoklatan tampak sangat dominan pada wajah gadis yang menjadi objek lukisan itu. Warna hitam pada mata gadis ini pun amat terlihat jelas. Lukisan ini pulalah, yang menjadi tonggak kemunculan Mata Hitam.

Jeihan sempat mengaku kepada Mikke, bahwa ia memang kurang bagus ketika menggambar lukisan yang realis. Jeihan tidak menemukan kecocokan ketika melukis realis. Ia lebih cocok atau merasa kena saat melukis dengan Mata Hitamnya.
"Pak Jeihan sempat mengakui kalau gambar realis itu enggak benar-benar bagus, enggak pernah merasa ketemu dengan itu. Tapi dengan Mata Hitamnya malah ketemu," imbuh Mikke.

Salah satu lukisan Jeihan Sukmantoro.

Pergulatan Mencipta Mata Hitam
Terbentuknya Mata Hitam, mata yang dibentuk dengan pewarnaan hitam sederhana pada objek lukisan Jeihan, tidak serta-merta muncul begitu saja. Semuanya terjadi lewat pergulatan Jeihan memulai proses kreatifnya di kampus. Saat itu dia selalu melukis dengan aliran realis.

Namun, karya-karya realisnya tidak memberi kepuasan. "Enggak kena gitu, enggak pas, enggak dapat," kata Jeihan mengungkapkan apa yang dirasakan ketika melukis realis. Saat itulah, ia langsung menggoreskan cat warna hitam untuk membentuk mata. "Nah, pas bikin begini kok jadi dapat, ngena."

Ternyata dengan goresan hitam membuat lukisan Jeihan menjadi multitafsir. Kalangan kritikus menyebut banyak simbol yang tercipta dari karya Mata Hitamnya. Lepas dari itu, Mata Hitam telah memberi kepuasan batin bagi seorang Jeihan. Sejak 1965 itulah, ia terus menciptakan berbagai Mata Hitam yang lain.

Dalam kurun waktu itu, bukan berarti Jeihan tidak pernah mendapat kritik. Dia kerap dianggap sebagai pelukis yang tidak mampu menciptakan bentuk mata yang realis. Untuk membantah kritikan ini, Jeihan pun membuat dua lukisan yang bentuk matanya realis (katanya, lukisan Jeihan yang realis hanya dua ini).

Dua orang yang dijadikan objek lukisannya, adalah Sutardji Calzoum Bachri, penyair kondang asal Riau, dan ayah kandung Jeihan sendiri. "Ini untuk membuktikan saja," tandas Jeihan.

Di usianya yang ke-77 tepat pada 26 September 2015, Jeihan merasa sudah puas dengan apa yang dimilikinya saat ini. Lukisannya banyak yang terjual dengan harga selangit. Kolektor pun selalu memburu karya-karyanya.
"Saya ini sebenarnya sudah selesai, masanya sudah selesai. Ini mungkin sudah puncak mortalitas saya," tutur Jeihan bicara kiprahnya.
Tapi, bukan berarti Jeihan tidak akan melukis lagi. Jeihan bilang, selama masih bernafas, ia akan terus membuahkan karya-karya lukisnya. "Itu (melukis) nafas saya, selama saya bernafas, saya berkarya."

Dalam pameran kali ini pun, Jeihan memajang lukisan yang menggambarkan tokoh-tokoh nusantara. Mulai dari Raja Sanjaya, Raden Patah, Syeikh Siti Jenar, hingga Ratu Laut Nusantara. Ada ungkapan yang terus menjadi pegangan Jeihan, yaitu "ujung peradaban adalah kebudayaan". Ujung kebudayaan adalah kesenian. Puncak puisi adalah filsafat. Puncak filsafat adalah sufi.
"Jadi sebenarnya kita ini latihan untuk menyeberangi jembatan sirotul mustakim nantinya," ucapnya.
Hidup dalam Gelap Misteri
Jeihan juga tak ingin berhenti menyampaikan kepada umat manusia melalui karyanya, bahwa manusia tidak akan mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Semuanya gelap. Manusia hanya mampu menerka-nerka. Mata Hitam, mata yang dibentuk dengan pewarnaan hitam pada objek lukisan Jeihan memiliki arti tersendiri.

Mata Hitam, sebagaimana tertulis dalam "Jeihan: Sang Maestro" yang ditulis oleh Prof. Jakob Sumardjo dan Mamannoor, bermakna "kita hidup dalam gelap misteri".

Hasil liputan pada Oktober 2015 dan dimuat 
di Harian Republika pada bulan yang sama.
Tapi naskah yang ini hasil editan pribadi
demi keterbacaan blog.


Jeihan Sukmantoro bersama orang tak dikenal.

Comments