Jeihan Sukmantoro dan Mata Hitam ke-50

Jeihan Sukmantoro

50 tahun berlalu sudah sejak lukisan mata hitam tercipta untuk pertama kalinya. Sejak 1965, mata yang dibentuk dengan goresan warna hitam menjadi ciri lukisan yang dibuat oleh Jeihan Sukmantoro. Lukisan mata hitam pun lahir tidak berdiri sendiri. Banyak yang melatarbelakangi kelahirannya.

Pekan lalu, keluarga besar Jeihan Sukmantoro merayakan lima dekade usia Mata Hitam ciptaan Jeihan, di Studio Jeihan, Pasirlayung, Bandung. Kemeriahan itu tidak hanya untuk merayakan kebesaran lukisan Mata Hitam, tapi juga sekaligus merayakan ulang tahun sang pelukisnya pada 26 September.

Di galeri Jeihan itu, beberapa lukisan yang dibuat pada tempo dulu, periode 60-an hingga sekarang dipamerkan. Seperti diketahui banyak kalangan, lukisan Jeihan selalu berkaitan dengan objek manusia, perempuan, dan mata yang dibentuk lewat goresan berwarna hitam.

Pengamat Seni Rupa Mikke Susanto menilai goresan hitam yang membentuk mata pada lukisan-lukisan ciptaan Jeihan sebenarnya menimbulkan interpretasi yang beragam. Misalnya, interpretasi yang muncul dapat dibawa ke ranah mistis, dan beberapa hal lain.

Lukisan ciptaan Jeihan juga sebenarnya merupakan bentuk pemberontakan dari pakem-pakem yang ada di dunia akademisi. Sebab sebetulnya, melukis secara frontal, atau melukis objek tepat dari depan, dilarang di dunia akademisi. Cara tersebut dianggap menghilangkan kedinamisan sebuah karya lukis. Tapi Jeihan tidak peduli.

"Efek yang dilukis secara frontal pasti kaku memang. Di dunia akademis, itu frontal sebenarnya, enggak boleh sebenarnya," ujar dia, saat menghadiri pameran lukisan Mata Hitam ke-50 di Studio Jeihan, Bandung.

Terlepas dari itu semua, menurut Mikke, 50 tahun usia Mata Hitam Jeihan ini perlu diperingati karena ide terkait Mata Hitam sangat penting dalam proses dan sejarah kreatif bagi seorang Jeihan Sukmantoro. Banyak kisah yang tidak dimengerti sehingga tidak mampu diejawantahkan dalam satu kalimat. Ide soal Mata Hitam ini, brilian dan memiliki kekayaan interpretasi.

"Kita enggak sedang merayakan hanya pada usia 50 tahunnya, karena kita sendang merayakan dimensi waktu yang sebelum dan sesudah ini. Ini hanya penanda. Jika melihat kuasa ruang dan waktu, itu sudah melampaui 50 tahun," tutur dia.

Goresan warna hitam yang membentuk mata pada objek lukisan Jeihan, tidak sekadar bicara visualisasi. "Kok mata orang jadi hitam. Enggak seperti itu," tambahnya.

Ide Mata Hitam memberi satu dimensi bahwa tiap manusia akan menghadapi dunia yang takkan pernah bisa diketahui dan dimengerti: Misterius. Masa depan sendiri dianggap akan mengalirkan satu energi tidak diketahui manusia. "Mata Hitam ini misteri yang terus digulirkan ke kita semua," ujar Mikke.

Bahkan, bagi penikmat karya Jeihan, justru akan mendapat peringatan tentang kemisteriusan hidupnya sendiri. Bukan hal yang mustahil, dengan makin panasnya matahari pada waktu sekarang ini, seluruh manusia akan menggunakan kaca mata atau kontak lensa berwarna hitam. "Karena enggak mau lihat matahari yang makin lama makin panas," imbuhnya.

Mata Hitam juga menyampaikan sebuah tanda kepada bangsa Indonesia, ada banyak hal yang akan terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Entah itu masyarakat yang terombang-ambing atau justru malah memiliki kekuatan untuk menjadi negara besar.

Jeihan tergolong sebagai seniman yang setengah nalar dan setengah mistik, bagi Mikke. Ia terlahir dari latar pendidikan seni rupa Institut Teknologi Bandung. Kampus ini sendiri merupakan laboratorium Barat yang sangat rasional. Dari sanalah cikal-bakal lahirnya karya-karya Mata Hitam Jeihan.

Meski berada di laboratorium Barat itu, sikap ke-Jawa-an Jeihan yang kental dengan dimensi mistik, tidak pernah luntur. Apalagi, dalam diri Jeihan, mengalir darah biru keraton Surakarta. Kemistikan dalam diri Jeihan juga terbilang kuat. "Di dalam diri Pak Jeihan ini ada bagian mistik dan sebagian rasionalistik," tutur Mikke.

Menurut dia, karakter lukisan Jeihan cenderung figuratif-realistik, meski tidak seperti lukisan Basuki Abdullah. Perbedaan dua pelukis ini sangat kentara. Bedanya, jelas Mikke, Basuki melukis dengan metode beautifikasi, sedangkan Jeihan dengan mistifikasi. "Kalau digambar Basuki, laki-laki jadi cantik. Kalau digambar oleh Jeihan, jadi mistik nanti," candanya.

Namun, lanjut Mikke, kedua pelukis memiliki kesamaan. Saat sedang melukis, Jeihan maupun Basuki sama-sama merasakan manusia yang sedang menjadi objeknya. "Sama-sama tajam nalurinya," ujarnya memuji.

Hasil liputan pada Oktober 2015 dan 
dimuat di Harian Republika pada bulan yang sama. 
Tapi naskah yang ini hasil editan pribadi
 demi keterbacaan blog.

Comments