Suasana pentas seni budaya yang mengangkat cerita Rama Barghawa pada Gunungan Festival 2015 di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat. |
"Perselingkuhan yang terus
terjadi di negeri ini menjadi sebuah ironi yang tak kunjung diakhiri.
Entahlah, mungkin suatu saat nanti."
Panggung bergetar ketika beberapa alat musik
berkolaborasi mengalunkan nada. Gitar, gamelan, gendang, dan drum, bersatu padu
memeriahkan salah satu panggung di Gunungan Festival, di Bale Pare, Kota Baru
Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, pekan lalu. Malam di sana pun menjadi
ramai.
Panggung dipenuhi materi-materi dari alam. Ada
ranting-ranting kecil, bambu, dan orang-orangan sawah yang terbuat dari
seikat-dua ikat gabah. Warna latarnya gelap. Di atas panggung, sederet lampu
sorot terang-benderang menebarkan sinarnya. Tiga lampu bertudung, bergelantung
di panggung. Terangnya memberikan kesan megah. Gulitanya malam saat itu, makin
memusatkan pandangan pada sorot sinar yang terpancar dari panggung.
Tiga pengrawit duduk sejajar di sisi kiri
panggung. Di hadapan mereka, gamelan siap dipukul. Tiga-tiganya berjilbab
hitam, berbaju hitam. Dari parasnya, mereka masih dalam taraf anak-anak menuju
dewasa. Di belakang pengrawit, ada tiga gitaris, satu drummer dan satu penabuh
gendang, seluruhnya siap siaga 1 memberikan musik latar pada pertunjukan Wayang
Pri.
Ada satu yang sebenarnya agak menutupi
pandangan ke panggung. Ya, sebuah kandang berbentuk tempurung, yang biasa
digunakan untuk ayam, diletakan di tengah panggung. Kandangnya tertutupi kain. Entah
apa yang ada di dalamnya.
Kemeriahan panggung mengundang banyak orang
untuk mendekati panggung. Paduan musik tradisional, gamelan, dengan musik
modern, berpadu mengiringi monolog dalang. Meski lesehan dengan alas tikar,
penonton dari kalangan tua-muda, bahkan anak kecil, tampak seksama menyaksikan
pentas yang ditampilkan Komunitas Wayang Pri.
Dalang sedang duduk sembari memegang
wayangnya. Blangkon hitam di kepalanya. Selendang bercorak batik dibabatkan di
lehernya. Pakaiannya dari bawah sampai atas, hitam. Ia pun mulai berteriak, berkata
menggunakan bahasa Jawa. Logatnya medog khas Tegal. Banyak lakon yang
diperankan oleh dalang di pentas ini. Salah satunya Rama Bargawa. Ia seorang
jaksa agung. Anak dari Jamadagni dan Renuka ini, suatu kali, dihadapkan pada
pilihan yang dilematis. Memilih keadilan, atau perasaan.
Kesibukan ayahnya, Jamadagni, dalam pertapaan ternyata mengakibatkan hal buruk kepada sang istri, Renuka. Karena terlalu
sibuk bertapa, Jamadagni sampai melenakan istrinya. Ia tidak tahu-menahu
tentang perubahan sikap istri. Namun, dalam pentas itu, diceritakan bahwa
Renuka mulai mencari kepuasan di "tempat" lain. Sebab, ia merasa,
suaminya tidak mampu memberikan kepuasan kepadanya karena terlalu sibuk
bekerja, pagi hingga malam. Sampai-sampai, istri pun dilupakan.
Dalam proses pencarian kepuasan itu, Renuka
menemukan sosok yang ia rasa mampu memenuhi hasratnya. Citra Raka, namanya.
Pria ini dianggapnya sebagai sosok yang bisa menggantikan peran suaminya. Dari
situlah, mulai tumbuh hasrat di antara keduanya. Namun, hubungan mereka pada akhirnya diketahui
khalayak, termasuk suami dan anaknya. Sehingga, mau tak mau, mereka harus
diadili, oleh Bargawa yang tak lain adalah anak Renuka.
Pada hakekatnya, tidak ada yang salah dalam
diri mereka. Peristiwa semacam ini hanyalah hukum alam yang biasa kita sebut
sebagai hukum sebab-akibat. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada apinya. Jika
dikembalikan pada sikap Jamadagni yang mungkin dinilai telah membuat istrinya
terlena, di satu sisi, memang ia bersalah. Di sisi lain, ia begitu karena untuk
mencari nafkah, untuk keluarganya. Jelas, pentas tersebut ingin menyampaikan
bahwa manusia perlu melihat sesuatu dari semua sisi.
Penghukuman atas perbuatan Renuka tentu
dilematis bagi Bargawa. Renuka adalah ibu yang membesarkannya. Di
sisi lain, ibunya telah membuat dosa karena sifatnya yang selalu ingin mencari
kepuasan di luar sana. Tapi tetap, Bargawa memberikan ganjaran tanpa
tebang-pilih, meski dalam hatinya sungguh berat. Betapa tidak, ia dihadapkan pada
kasus yang mengharuskannya menghukum ibu kandungnya sendiri. Tapi hukum adalah hukum. Dan
hukuman yang jatuh kepada Renuka, penggal.
Sebelum dihukum penggal sebagai akibat
dari perbuatannya, Jamadagni sebagai seorang yang hanyut dalam pertapaan, menawarkan empat permintaan kepada Bargawa.
Kesempatan ini dimanfaatkan Bargawa dengan mengajukan permintaan strategis demi masa depan yang lebih baik. Dua di antara permintaannya yaitu menghapus semua memori
orang-orang di masa depan tentang perselingkuhan Renuka. Satu lagi,
ia meminta agar sang ibu dihidupkan kembali. Memang, Bargawa sudah mengetahui
rekonsiliasi apa yang harus ia buat.
Sri Widodo, dalang di pentas tersebut mengatakan, lewat pentas ini ia dan timnya ingin menyampaikan bahwa selingkuh memiliki arti luas. Tidak hanya berkutat pada lelaki dan perempuan. "Anak tidak sekolah, dibiarkan orang tuanya, itu selingkuh. Anak yang tidak belajar, padahal orang tuanya sudah membiayai, itu juga selingkuh," tutur pria yang mengenakan blangkon ini.
Sri Widodo, dalang di pentas tersebut mengatakan, lewat pentas ini ia dan timnya ingin menyampaikan bahwa selingkuh memiliki arti luas. Tidak hanya berkutat pada lelaki dan perempuan. "Anak tidak sekolah, dibiarkan orang tuanya, itu selingkuh. Anak yang tidak belajar, padahal orang tuanya sudah membiayai, itu juga selingkuh," tutur pria yang mengenakan blangkon ini.
Sri Widodo (Dalang) |
Dari sisi politik, sebuah partai yang bekerja
sama dengan partai lain, untuk melakukan hal buruk, misal untuk berkorupsi
berjamaah, itu juga termasuk selingkuh. Karena itu, jika seseorang sudah
berada di atas angin, maka dia memperoleh beban yang lebih besar di pundaknya.
Namun, itulah tantangannya. Sebab, ia diharuskan untuk menjaga keadilan agar
terus diberlakukan. "Dan Bargawa sudah melakukan tugasnya dengan
benar," imbuhnya.
Sementara, Renuka sendiri, bukan berarti ia
murni telah berbuat dosa. Karena, ia pun sudah merawat Bargawa, dari kecil
hingga dewasa, untuk menjadi orang yang adil. "Melakukan hal yang enggak
benar itu selingkuh. Ini untuk siapa saja, wartawan juga," tutupnya.
Dimuat
di Harian Republika 29 Mei 2015
Comments