Bulan ini, Ai Rokayah (58) memperoleh jatah beras raskin sekarung.
Beratnya sekitar 15 kg. Raskin seberat itu ia beli dengan harga Rp 30
ribu. Kualitas raskin yang ia terima tergolong jelek. Rupa berasnya
kecil-kecil. "Benyer-benyer berasnya," kata dia saat rumahnya
disambangi.
Kualitas raskin di bulan ini berbeda
dengan bulan lalu. Bulan lalu, raskin yang ia peroleh masih bisa
dikonsumsi. Bentuk berasnya layak konsumsi, tidak pecah-pecah. Walaupun memang
agak kekuning-kuningan. Tapi raskin tersebut tetap dikonsumsi karena
tidak benyer.
Di bulan ini, raskin yang ia terima
tidak sebaik bulan lalu. Raskin seberat 15 kg itu terlihat
pecah-pecah, kecil-kecil, atau benyer-benyer. Jika kita menyaring beras untuk
diambil yang bagusnya, tentu ada sisa pecahan beras yang terbuang.
Ya, raskin yang Ai terima, seperti pecahan beras yang terbuang
itu.
Karena itulah, raskin tersebut tidak
dikonsumsi Ai. "Kalau bagus mah dimakan," ujar dia.
Akhirnya, raskin jelek itu dikasih ke ayam ternaknya
sebagai pakan. Baru kali ini Ai menggunakan raskin sebagai pakan
ternak ayamnya.
Bukan karena tak ingin mencicipi nasi
dari raskin, tapi justru ingin memanfaatkannya ketimbang mubazir tak
terpakai. "Makanya dikasih ke ayam tapi direbus dulu ya," tukas dia.
Ai seorang warga asli Kampung Awiligar Desa
Cibeunying Kecamatan Cimenyan. Sejak 2011 lalu ia sudah menerima
jatah raskin. Dan sudah bertahun-tahun pula, ia beternak ayam di
halaman belakangnya. "Banyak ayamnya. Ayam kampung. Bukan buat
dijual, tapi emang hobi saja. Ada sekitar 20 ekor, ayam jantan dan ayam kampung," tutur dia.
Sejak empat tahun lalu, meski sudah memiliki
jatah raskin, ia tidak pernah menggunakannya untuk pakan ternak ayamnya.
Ia pun heran ketika mengecek raskin dari karung. "Kenapa begini
berasnya. Bulan lalu mah enggak benyeur, tapi hitam. Butek," pungkasnya.
Terlebih, sebelumnya, kualitas raskin yang
tak layak konsumsi juga diterima sejumlah warga Desa Cikadu Kecamatan
Sindangkerta. Akibatnya, warga secara tegas menolak
kiriman raskin dari Bulog. Lantaran, terdapat kutu di beras tersebut
dan warnanya pun agak kekuning-kuningan. Raskin yang ditolak warga
ini pun disimpan di kantor desa.
Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Desa Cikadu
Kecamatan Sindangkerta, Rahmat menuturkan, ada 503 karung raskin yang
tidak layak konsumsi. Menurut dia, raskin yang diterima desanya,
selalu saja dalam kondisi demikian. "Kualitas raskinnya selalu gini tiap
bulan," ucap dia.
Rahmat melanjutkan, sebetulnya tak hanya soal
kualitas raskin yang dikeluhkan warga, tapi juga jumlah berat tiap
karungnya. Sebab, menurut dia, sudah dua bulan terakhir ini,
berat raskin per karungnya kian menyusut.
Biasanya, per karung itu seberat 15 kg.
Tapi kini, yang diterima itu sekitar 13 kg. "Berkurang dua sampai
tiga kilogram. Catatan sama di lapangan itu beda," imbuhnya.
Seharusnya, kata dia, jika berdasarkan catatan
yang diterimanya, dengan 503 karung raskin itu, total
berat raskin yang diterima itu 7.545 kg. Namun ternyata,
setelah dihitung, berat raskin yang diterima sekitar 6.000 kg.
"Kalau ditotal, ya berkurang sampai sekitar 1.500 kg," katanya.
Di sisi lain, persoalan raskin tak
hanya pada tataran kualitas, tapi juga kuantitas. Di gudang Bulog Cimahi,
jumlah pasokan raskin diakui kurang. Gudang bulog yang mencakup
beberapa wilayah, yakni Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi dan
Bandung, ini hanya memiliki 1.600 ton raskin untuk November 2015.
Padahal, total kebutuhannya mencapai lebih dari
3.000 ton raskin untuk bulan ini. Kepala Gudang Bulog Cimahi Harson
menuturkan, raskin yang ada saat ini hanya
untuk raskin reguler. Sedangkan, lanjut dia,
untuk raskin 14, itu belum dapat terpenuhi.
Pihaknya pun tengah mencari
pasokan raskin dari wilayah lain. Seperti dari Indramayu dan Cirebon.
Namun, jika dua daerah tersebut juga kekurangan setok, maka pilihannya akan
mencari pasokan beras dari daerah Jawa Timur. "Di sana pasokannya cukup
melimpah," jelasnya.
Ditulis pada November 2015 dan dimuat
di Harian Republika pada bulan yang sama
Comments