Goresan Seni dari Tanah Jelekong

Warga Jelekong melukis di halaman depan rumahnya.

Jelekong, salah satu desa di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, ternyata tidak seindah julukannya: Desa Wisata, atau Kampung Seni dan Budaya.

Banyak hal yang luput dari perhatian pemerintah setempat. Memang, Jelekong termasuk dalam 10 desa wisata yang diresmikan Pemerintah Kabupaten Bandung. Namun, pemberian gelar saja tidak cukup untuk menaikkan derajat warga Jelekong. Mayoritas warga di sana pelukis, meski ada beberapa yang mengaku dirinya hanya buruh lukis.

Mendatangi pemukiman warga Jelekong, kita akan dihadapkan pada jalan selebar kurang lebih tiga meter. Di kiri-kanan, banyak berdiri galeri-galeri lukisan. Terkadang terlihat beberapa lukisan yang sedang dijemur di pinggir jalan.

Para pelukis di sini belajar melukis sejak kecil. Mumu Muharam misalnya. Pria asli Jelekong ini belajar melukis sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Saat itu, tahun 1988. Gurunya, ayahnya sendiri, bernama Dadang Komarudin.

Ayahnya Mumu belajar melukis dari sesepuh Desa Jelekong, Odin Rohidin yang kini sudah tiada. "Pak Odin yang mulai melukis, punya murid bapak saya sekitar tahun 70-an," kata Mumu menceritakan.

Jika diibaratkan dengan silsilah di sebuah keluarga, Mumu generasi ketiga di bawah Odin, alias cucu. Sedangkan ayahnya generasi kedua. Ya, melukis menjadi pekerjaan turun-temurun di desa ini. Tidak melukis, tidak dapat uang. Begitulah kira-kira.

Mumu pun belajar melukis sedari kecil agar bisa memperoleh uang dan kebutuhan hidupnya terpenuhi. Dua tahun ia belajar hingga akhirnya lukisan yang dibikin laku di pasaran. Lukisan pertamanya dibayar dengan harga Rp 700.

Saat itu dalam sepekan, Mumu kecil bisa menghasilkan 15 sampai 20 lukisan. Total uang yang bisa dikumpulkan yakni Rp 20 ribu dalam sepekan. "Ini pas tahun 90-an, jadi pas masuk SMP sudah pakai biaya sendiri," tutur dia bangga.

Di masa sekarang, Mumu bisa menghasilkan delapan sampai 10 lembar lukisan dalam sehari, untuk ukuran 60×80 sentimeter. Sedangkan untuk ukuran yang besar, 135×85 sentimeter, ia bisa menciptakan lima sampai tujuh lembar lukisan dalam sehari.

Mumu memilih jalan hidupnya sebagai pelukis karena sudah turun-temurun dari sang ayah. Bukannya ia tidak mau memiliki pekerjaan yang lain, tapi karena mencari pekerjaan sekarang itu sulitnya bukan main. Makanya ia lebih memilih menjadi pelukis.

"Kerja enggak diterima, sudah saja ngelukis dari pada nganggur, karena kan kebutuhan hidup harus terus berjalan," tutur dia.

Mumu mengakui tidak begitu pandai melukis. Sebab ia tidak seperti pelukis-pelukis lain yang sudah terkenal, yang harga lukisannya bisa sampai puluhan bahkan ratusan juta. "Saya juga sebenarnya belum dikatakan bisa, ya cuma bisa untuk mencari nafkah saja," ujar dia.

Harga tertinggi yang pernah diterima Mumu melalui karyanya, Rp 3 juta. Lukisannya dibeli oleh orang Malaysia yang suka main ke Kabupaten Bandung untuk liburan. "Jadi pembelinya langsung yang beli," ucapnya.

Mumu jarang menyimpan lukisannya di tengkulak, pengepul, atau bandar. Karena jika lukisan itu terjual, uang yang diperoleh si pelukis amat sedikit. Harga jual yang dipatok pengepul pun terlalu rendah sebab lukisan dijual tidak secara satuan, tapi banyakan. Lukisan yang semestinya bisa laku Rp 2 hingga 3 juta, di tengkulak tidak lebih dari Rp 1 juta per lembar.

Kondisi itulah yang membuat Mumu lebih memilih menjual langsung ke pelanggan. Misalnya, lukisan dengan ukuran 60×80 itu bisa laku dengan harga Rp 50 ribu ke atas jika dijual langsung ke pelanggan. Tapi, kalau dibeli tengkulak, hanya di kisaran Rp 25 ribu sampai Rp 27.500. Tapi Mumu menyadari, keberadaan tengkulak bukan berarti merugikan selamanya. Sebab, ia juga kerap menyimpan lukisannya di tengkulak. "Ini kalau darurat saja, kalau lagi benar-benar sepi," imbuhnya.

Biasanya, jika lagi benar-benar sepi, Mumu menaruh lukisan di tengkulak sampai 10 lembar. Tiap lembar ukuran 60×80 ini, dibeli tengkulak dengan kisaran harga dari Rp 25 ribu sampai Rp 27.500. "Enaknya sih sebenarnya jual langsung sendiri aja," tutur dia.

Pelukis di Jelekong juga kerap kebanjiran pesanan dari luar daerah. Sehingga, sesama pelukis di Jelekong, sering menggunakan lukisan kawannya itu untuk memenuhi pesanan yang datang. Mumu pun pernah mengalaminya. Ketika sedang kebanjiran pesanan, ia biasanya meminta bantuan kepada teman-teman sesama pelukis di Jelekong.

Contohnya seperti yang Mumu alami beberapa waktu lalu. Dia kebanjiran pesanan sampai 100 lembar lukisan dari Kalimantan. Saat itulah, ia menggunakan beberapa lukisan kawannya untuk dijual ke sana. Macam lukisan yang dikirimnya pun berbeda-beda. Ada yang bergambar abstrak, ikan koi, bunga, dan lainnya.

Selain itu, jika Mumu kekurangan stok lukisan, ia juga sering membeli lukisan dari tengkulak dengan harga per lembarnya Rp 25 ribu. Nanti ia jual lagi dengan harga Rp 50 ribu ke pembeli secara langsung. Kalau pembelinya sesama warga atau pelukis Jelekong, maka biasanya harga yang dilempar yaitu Rp 27.500 sampai Rp 30 ribu. "Kalau pembeli langsung, ya minimal Rp 50 ribu," kata dia.

Dalam satu bulan, omset yang diperoleh Mumu bisa sampai Rp 25 juta. Untung bersihnya, sekitar Rp 11 juta. Dalam kondisi sepi, minimal dalam sebulan ia bisa mendapatkan Rp 2,5 juta. Dengan keuntungan demikian, dia mengaku cukup dengan kondisi harga sejumlah bahan pokok yang mulai sering merangkak naik.

Mumu dan para pelukis lain di Jelekong sering terkendala permodalan. Akibatnya, tidak sedikit pelukis yang bangkrut dan malah menjadi buruh lukis. Bahkan, sering kali ketika Mumu mendapat pesanan lukisan yang banyak, ia terpaksa meminta uang mukanya dulu kepada pemesan.

Sebab, Mumu kesulitan menyediakan beragam kebutuhan untuk melukis, terutama cat. Jika melukis dengan kuas, masih bisa dihemat-hemat. Beda halnya ketika menggunakan palet yang membutuhkan cat lebih tebal sehingga lebih boros. "Cat sekarang juga mahal-mahal," ujar dia.

Kondisi yang dirasakan Mumu jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan keadaan yang dialami Enday Solihin, seorang buruh lukis di Desa Jelekong. Mumu memiliki galeri di rumahnya, sedangkan Enday tidak. Lukisan buatan Enday, selalu diberikan kembali ke tengkulak sebagai pemberi order. Sehari-hari, Enday terus saja melukis dari pagi hingga sore. Kalau lagi banyak, ia terpaksa melukis sampai malam.

Enday, pria asli Jelekong ini sudah belajar melukis sejak 1977 dari pamannya. Meski bisa melukis, ia sempat bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bandung. Saat itu ia hanya sebagai honorer. Namun, pekerjaan tersebut ditinggalkan dan ia memutuskan untuk kembali bergelut dengan kemampuan yang dimilikinya dari kecil itu.

Menjadi buruh lukis, bagi Enday, lebih nyaman ketimbang menjadi pekerja di sebuah instansi. Tidak ada yang menyuruh-nyuruh. Sementara, melukis merupakan hal yang digemarinya. Melukis membuat dia merasa teduh. Apalagi, ia bisa memperoleh banyak uang, asal rajin dan tekun di dunia lukis ini. “Senang dan hobi saja sih,” tutur dia.

Namun sebenarnya, bayaran seorang buruh lukis di Jelekong seperti dirinya, tidaklah seberapa. Enday melukis karena diorder oleh tengkulak. Dia terpaksa mengerjakan orderan tersebut agar kebutuhan istri dan anaknya bisa terpenuhi. Andai ia menolak orderan itu, pun tak masalah dan tak ada ruginya bagi tengkulak karena tinggal mencari pelukis lain di Jelekong yang bersedia melukis dengan upah ala kadarnya.

Alhasil, Enday selalu menerima orderan dari tengkulak meski bayarannya sedikit. Tengkulak ini hanya memfasilitasi kanvas. Selebihnya, urusan Enday. Jika sudah jadi, satu lukisan dibayar Rp 20 ribu. Itupun belum termasuk biaya cat yang kata Enday, bisa menghabiskan Rp 15 ribu untuk menyelesaikan satu lembar lukisan ukuran 60×80. Apalagi kalau melukis dengan palet, tentu butuh cat lebih banyak lagi.

"Sebetulnya bukan seni ini mah, ini mah kerja-kerja juga, teraniaya sebenarnya, tapi ya memang dasarnya suka, mau gimana lagi," tutur dia.

Dalam sehari, Enday bisa menyelesaikan tujuh lembar lukisan. Setelah sepekan, lukisan bikinannya kemudian diambil tengkulak. Terkadang, dalam sepekan, ia bisa menyelesaikan 60 lembar lukisan. Keuntungan bersih yang biasa diterima sekitar Rp 300 ribu. "Kalau dikatakan cukup ya relatif, tergantung syukurnya saja itu mah," tutur Enday yang tengah asyik melukis di teras rumahnya.

Lukisan-lukisan Enday sudah dikirim hingga ke mancanegara, termasuk negara di Eropa seperti Italia. Namun, ketekunan dan kelebihan Enday dalam melukis tidak seimbang antara pendapatan yang diperolehnya dan pengeluaran sehari-hari.

Gelar Desa Wisata yang melekat pada Jelekong, ternyata tidak melulu memberikan keberkahan bagi seluruh warganya. Ada yang untung, ada yang buntung. Bahkan, bagi beberapa pelukis Jelekong, sebenarnya desa tersebut belum pantas disebut Desa Wisata karena kesejahteraan belum sampai ke seluruh penghuni desa itu. Hanya segelintir orang yang merasakannya.

 Bandung, Juli 2015

Comments