Seorang kakek tua termenung di atas kursi goyangnya. Tatapannya kosong mengarah ke luar jendela. Atap-atap genteng merah membentang di balik jendela itu. Tangannya terkepal, gemetar.
Dari mulutnya keluar suara-suara gemeretak. Binar matanya terperanjat dalam masa lalu bangsanya.
Masa yang kelam, penuh intrik, keributan, protes sana-sini, tak jelas mana yang benar mana yang salah, semua abu-abu.
Ia teringat ketika orang-orang berpakaian putih meneriakan protes.
Ia teringat ketika manusia berseragam coklat berceloteh di mana-mana mengumbar benci sesama, menyemburkan api di tengah kering-kerontang.
Ia teringat dua pasang saling beradu di detik terakhir. Menonjolkan keunggulannya, menutupi kotorannya dengan daun pisang, menjajakan diri di kerumunan, menyuguhkan senyum di barisan luka.
Pikirnya saat itu, "Aku bukanlah berpengetahuan besar, aku bukanlah berkuasa di bumi dan langit."
"Tapi aku tahu, ujung dari politik adalah proyek. Pembangunan semu adalah yang mengutamakan fisik semata, berharap rido dari rakyat."
Ia percaya, hanya hawa nafsu yang menilai sebuah kecantikan saat memandangnya.
Ia teringat ketika orang-orang menganggap kesalahan sebagai kebenaran. Sedangkan kebenaran terus tertutupi lidah-lidah penjilat.
Ia teringat ketika orang berlarian mengejar ketamakan. Mengubah satu menjadi dua, mengubah empat menjadi seratus, berlipat-lipat, hingga kesenjangan pun terjadi.
Mereka simpan di semenanjung samudera,biar abadi hingga tujuh generasi. Tapi jutaan yang lain menatap sedi, merugi.
Biarkan masa sekarang hidup menyendiri, sehingga masa depan tak kena imbasnya. Biarkan air hulu mengalir, hingga hilir pun merasakan jernihnya.
Seseorang tiba-tiba memecah pikirannya. "Mereka sudah menanti, menanti kau sapa," kata orang itu.
Ia pun beranjak dari kursi. Berjalan gontai dengan kaki ketiganya. Menelan pil pahit masa lalu.
*Selasa, 11/4/17, dini hari, Kp. Gedong
Comments