Kelahiran Aliran Muktazilah yang merupakan aliran teologi terbesar dan tertua telah sangat berperan dalam perkembangan pemikiran dunia Islam. Waktu kemunculannya pun diperdebatkan para ulama. Sebagian pendapat mengatakan bahwa golongan ini bermula sebagai pengikut Ali ra. Mereka tidak mau terlibat dengan persoalan politik, karena lebih memilih zuhud terhadap dunia. Walaupun sebagian orang di dalamnya ada pula yang dituduh melakukan perbuatan maksiat.
Golongan ini tidak ingin terlibat persoalan politik ketika Hasan dilengserkan, yang kemudian digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Abu Alhasan Atthara’ifi dalam bukunya Ahl Al-Ahwa wa Al-Bida’, menyatakan, “Mereka menamakan dirinya dengan muktazilah saat Hasan bin Ali membaiat Muawiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Akibatnya, mereka melakukan separasi dari kelompok lain.
Dalam kitab-kitab Muktazilah, para penulisnya berpendapat bahwa awal kemunculan pahamnya jauh lebih dulu dari kisah Washil bin Atha (699-748 M) –yang diduga oleh para ulama sebagai tokoh utama Muktazilah-, mereka juga berpendapat bahwa di antara penganut mazhab ini banyak yang berasal dari keluarga nabi dan salah satunya adalah Hasan Albasri (642-728 M).
Pada intinya terdapat dua teori mengenai awal mula kemunculan paham Muktazilah. Pertama, muncul saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan dan kedua, saat hengkangnya Wasil bin Atha dari pengajian Hasan Albasri.
Dalam buku Tarikh Atthabari yang dikutip oleh Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, dikemukakan bahwa nama Muktazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Albasri, tetapi dari kata i’tazala yang diperuntukkan kepada "orang-orang yang mengasingkan diri" dari polemika politik yang terjadi pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka lebih fokus terhadap ibadah dan ilmu pengetahuan.
Penganutnya antara lain cucu nabi Muhammad Abu Husain, Abdullah dan Alhasan bin Muhammad bin Alhanafi. Washil memiliki hubungan erat dengan Abu Husain. Beberapa sahabat yang juga tidak mau terlibat dalam pertikaian tersebut pada zaman setelah Utsman bin Affan wafat, di antaranya, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan, dan Zaid bin Tsabit.
Dari sinilah mereka dinamakan Muktazilah. Jika ditelisik dengan seksama, pengasingan diri yang dilakukan oleh para sahabat adalah bentuk netralitas terhadap polemika politik saat itu, bukan sebuah aliran teologi.
Pendapat ini senada dengan Yusran Asmuni dalam Ilmu Tauhid yang mengatakan, "Nampaknya tidak ada hubungan antara muktazilah yang muncul pada abad pertama hijriah dengan Muktazilah yang dipelopori Washil bin Atha. Yang pertama, lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua, muncul karena didorong oleh persoalan akidah atau keimanan."
Perkataan Al-Syahrastani yang dikutip Yusran menceritakan tentang kemunculan Muktazilah yang dibawa oleh Washil bin Atha. "Pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Hasan Albasri di majelis pengajiannya di Basrah sembari mengatakan, ‘pada zaman ini ada golongan yang mengafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka, dosa besar itu merusak Iman sehingga membawa kepada kekafiran (kaum Khawarij).
Di samping itu, ada pula golongan yang menangguhkan hukum orang yang berbuat dosa besar. Menurut golongan ini, dosa besar tidak merusak Iman selama muslim yang berdosa besar itu tetap mukmin, tidak kafir (kaum Murji'ah). Bagaimanakah Anda menetapkan itikad bagi kami dalam hal ini?,’” tanyanya.
Ketika Hasan Albasri masih merenung memikirkannya, Washil bin Atha, salah seorang peserta pengajian tersebut menandaskan, "Aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu mukmin secara mutlak, dan tidak pula kafir secara mutlak. Statusnya berada di antara mukmin dan kafir (al-manzilah baynal manzilatain). Melihat sikap Washil yang demikian, Hasan Albasri mengatakan, "I’tazala ‘anna, Washil" (Pergilah dari kami).
Sejak itulah Washil dan kawan-kawannya serta pengikutnya dinamakan Muktazilah. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa aliran teologi Muktazilah muncul karena reaksi terhadap dua aliran teologi saat itu yang sedang berseteru, Khawarij dan Murjiah.
Daftar Pustaka
Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994)
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995)
Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995)
Comments