Limbah, Majalaya, Pabrik, dan IPAL


Sejumlah warga Kampung Leuwidulang Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung mengeluhkan bau tak sedap  dari aliran sungai Citarum yang melintasi kampung tersebut. Kondisi demikian sudah dirasakannya sejak awal tahun 2000.

Salah seorang warga Kampung Leuwidulang, Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Santi menuturkan, bau tak sedap tersebut sering dirasakan warga saat di sore hari jelang malam. "Kalau sudah sore sampai malam bau airnya. Warna air sungainya juga kadang merah kadang hijau," tutur dia, pada 17 September 2015.

Perempuan yang pernah bekerja selama enam tahun di salah satu perusahaan tekstil di Majalaya ini juga menjelaskan, pabrik-pabrik di Majalaya kebanyakan memang tidak menetralisir limbah yang dikeluarkan.

Akibatnya, buangan limbah pabrik selalu mengaliri sungai yang berada dekat dengan rumahnya. "Di sini kan banyak pabrik tekstil, kalau enggak dibuangnya sore, ya subuh-subuh," ujar dia.

Warna air sungai yang melintasi Kampung Leuwidulang berwarna hitam pekat. Saat siang hari, bau tak sedap yang ditimbulkan tidak terasa. Di bantaran sungai tersebut, pun banyak sampahnya. Kata Santi, sebagian warga setempat, ada yang membakar sampahnya, tapi ada pula yang membuangnya langsung ke sungai.
"Ya kalau yang sadar ya dibakar, ya kalau yang enggak ya main asal lempar saja ke sungai," tutur Santi.
Selain Santi, warga desa Sukamaju lainnya, Lia, juga mengakui banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari keberadaan pabrik terhadap lingkungan sekitar. Kata dia, pabrik-pabrik sekitar juga sering mengeluarkan hembusan asap hingga ke pemukiman warga sekitar. "Debunya suka kebawa-bawa," tutur dia.

Bahkan, jika warga terkena asap itu, ujar Lia, sering mengakibatkan gatal-gatal. Memang, rasa gatal itu tidak parah. Namun, persoalannya, pabrik-pabrik di situ harus memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (Ipal) sehingga tidak merugikan warga sekitar. "Pas kena asap suka gatal. Sore atau subuh asapnya masih sering keluar," jelas dia.

Lia menambahkan, dulu, sekitar 1990-an, aliran sungai di sana masih jernih sehingga banyak para ibu rumah tangga yang memanfaatkan air sungai untuk mencuci pakaian. Namun, di awal 2000, ketika mulai banyak pabrik yang didirikan di Desa Sukamaju, air sungai mulai tercemar. "Dulu pas awal 90-an masih bersih. Pas masuk ke (tahun) 2000 mulai banyak pabrik dan menimbulkan bau," tutur perempuan asli Sukamaju ini.

Dampak lain dari keberadaan pabrik ini, sebenarnya tak hanya mencemari air sungai dan udara. Tapi juga menyebabkan air di pemukiman warga berwarna kuning dan berpasir. "Air di sini mah kuning. Di sini airnya kuning. Hampir keseluruhan (rumah)," ungkap dia.

Karena kondisi demikian, lanjut Lia, banyak warga setempat yang menggunakan sitrun, untuk menjernihkan air. Air yang disedot dari tanah, ditampung terlebih dahulu di sebuah drum, diberikan sitrun, barulah kemudian dialirkan ke rumah warga. "Pakai sitrun sedikit biar jernih. Karena dari dulu airnya memang kayak begitu," kata dia.

Perusahaan di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung masih banyak yang belum mengoptimalkan penggunaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (Ipal) sebagai penyaring limbah buangan industri. Akibatnya, beberapa anak sungai Citarum yang berada di Majalaya, terus tercemar.

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kabupaten Bandung, Endang Widayati menuturkan, dari total 66 perusahaan di Majalaya yang dipantau dan diinventarisir oleh BPLHD Kabupaten Bandung, sebanyak 62 perusahaan memang sudah memiliki Ipal.

Namun, dari total tersebut, hanya 46 perusahaan yang memanfaatkan Ipal secara optimal. Artinya, limbah yang dibuang melalui proses Ipal oleh perusahaan telah memenuhi standar baku mutu, baik itu dari aspek administrasi ataupun teknis. "Sisanya ini, ada perusahaan yang punya Ipal, tapi enggak bisa menggunakannya," tutur dia pada September 2015.

Banyak faktor yang membuat perusahaan kesulitan mengoptimalkan Ipal. Mulai dari kekuatan finansial, tidak adanya komitmen, sampai hambatan teknis. Misalnya, ada perusahaan yang memiliki Ipal dan bahan kimianya sebagai penetralisir limbah industri, tapi tidak mempunyai operator yang bisa menjalankan Ipal tersebut.

Bagi perusahaan kelas menengah dan besar, dibutuhkan sedikitnya dana Rp 100 juta untuk sekali menjalankan Ipal selama satu bulan. Besarnya biaya ini menjadi salah satu faktor perusahaan enggan mengoptimalkan penggunaan Ipal. "Alasannya macam-macam, salah satunya finansial," jelas dia.

Endang menjelaskan, jumlah barang yang diproduksi perusahaan itu selalu berubah. Ketika situasi perekonomian sedang membaik dan memang diperlukan peningkatan jumlah produksi, tentu potensi limbah yang dihasilkan pun bakal meningkat. Karena kondisi itulah, pihaknya kerap kesulitan memantau perusahaan.

Sebab, saat produksi meningkat, sedangkan kapasitas Ipal tidak sanggup menampung, maka proses penyaringan limbah dengan Ipal pun tidak akan optimal. "Biasanya teknis, misalnya, ketika petugas datang ke perusahaan, sebelumnya ada hujan deras sehingga merobohkan alat penyaring limbah," ungkapnya.

Ada tiga anak sungai yang berada dalam kondisi mengkhawatirkan, yakni Cikembang, Cipadangulun, dan Kali Sasakbenjol. "Warna airnya hitam pekat dan debit airnya sedikit. Apalagi, sekarang lagi musim kemarau. Jelek semua airnya," bebernya.


Keadaan yang tergambar dalam artikel ini 
berdasarkan penelisikan pada September 2015.
Dimuat di Harian Republika di bulan yang sama.

Comments