Derita di Balik Waduk Saguling


Debu-debu berdesir ketika kendaraan melewati jalan ini. Kondisi jalannya tanpa aspal, rusak parah. Batu-batu terlihat menyembul dari permukaan tanah. Debu menjadi selimut bagi batu itu.

Jalan rusak ini berada di kawasan Desa/Kecamatan Saguling, Kabupaten Bandung Barat. Melewati jalan ini dari arah desa Saguling, maka bisa menembus hingga Kota Baru Parahyangan. Desa Saguling terletak di sekitaran Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling.

PLTA yang mulai beroperasi sejak 1980-an itu dibangun untuk memasok kebutuhan listrik di Jawa dan Bali. Namun, pemukiman di sekitarnya malah terbengkalai, karena masih belum menikmati listrik secara utuh meski dikelilingi area pembangkit listrik.

Desa Saguling ini terbilang pelosok karena letaknya yang dikelilingi pepohonan tua, di belakang PLTA Saguling. Sejauh mata memandang di kawasan desa tersebut, masih ada petakan-petakan kebun maupun sawah, baik itu yang ditanami padi ataupun tanaman palawija, seperti jagung dan kopi.

Setelah memasuki pintu masuk menuju Bendungan Saguling, perlu memakan waktu sekitar 45 menit untuk sampai di wilayah desa Saguling. Jalan masih mulus ketika di awal perjalanan. Ketika menelusuri jalan lebih dalam, kontur jalannya mulai jelek: Banyak bebatuan menyembul yang diselimuti debu pasir berwarna coklat kekuningan. Lebar jalan sekitar dua sampai tiga meter. Cukup untuk dilewati roda empat.

Saat itu matahari bakal tepat sejajar di atas kepala, sekitar pukul 11.00 WIB. Terik matahari cukup panas, meski tidak sepanas daerah di luar kawasan PLTA Saguling. Barang kali karena pepohonan yang lebat menutupi kawasan PLTA ini.

Permukaan tanah di Desa Saguling dan sekitarnya tidak beraturan. Kadang menanjak, kadang menurun. Ada rumah yang dibangun di permukaan tanah yang tinggi, ada pula rumah yang berdiri di permukaan tanah yang lebih rendah dari permukaan jalan.

Kondisi itulah, yang menyebabkan tiang-tiang listrik sulit didirikan. Kata Kasi Ekonomi dan Pembangunan Desa Saguling, Gunawan Wibisana, karena kontur permukaan tanah desa yang tidak beraturan ini, pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) kesulitan mendirikan tiang listrik yang berdekatan dengan rumah warga.

Ratusan keluarga di kecamatan Saguling, Kabupaten Bandung Barat, amat kesulitan mengakses listrik sejak bertahun-tahun yang lalu. Sedikitnya, di Desa Saguling saja, terdapat 195 rumah yang mengalami kesulitan mengakses listrik.

Gunawan menuturkan, ratusan rumah yang kesulitan mengakses listrik itu tersebar di enam kampung. Enam kampung ini yaitu Bangkenang, Cibusung, Cikondang, Cimenteng, Cimanggu, dan Citeureup. Pihak desa, kata dia, sudah sering mengirimkan pengajuan agar rumah-rumah di kampung tersebut bisa dimudahkan mengakses listrik.
"Kalau bantuan yang namanya desa pasti mengajukan. Tapi belum ada tanggapan sampai sekarang," ucap Gunawan, pada 29 Juli 2015.
Bantuan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) bakal mengirimkan jaringan listriknya jika terdapat lebih dari 20 rumah di satu titik lokasi yang belum menikmati jaringan listrik. Sedangkan, karena kontur permukaan tanah di beberapa kampung di Desa Saguling tidak rata, menanjak dan menurun, satu titik lahan landai kadang hanya bisa diisi sekitar 10 rumah.

"Alasannya tidak sesuai karena hanya sedikit rumah yang butuh, terus biaya tiang listriknya itu juga mahal, makanya mereka maunya di lokasi yang banyak rumahnya biar sekaligus," terang dia.
"Walaupun daerah itu dekat dengan pembangkit, listriknya kan enggak bisa langsung dari pembangkit, tapi kan harus ditransmisikan dan distribusikan dulu."
Pemukiman di Desa Saguling menyebar ke banyak titik lahan yang permukaannya landai. Pemukiman di sana tidak menumpuk di satu lokasi seperti di kawasan perkotaan. Di desa tersebut, pun dikelilingi lahan pertanian maupun perkebunan sehingga tidak mungkin warga membangun pemukiman di satu titik lokasi.

Kondisi jalan di Desa Saguling pun rusak parah. Banyak bebatuan yang terlihat menyembul dari permukaan tanahnya, sehingga, kendaraan roda empat bakal kesulitan saat melintasinya. "Karakter wilayah desa kita ini bebukitan, kadang ada rumah di atas, kadang ada juga rumah yg di bawah, makanya sulit juga didirikan tiang listrik," ujar dia.

Pendirian satu tiang listrik, kata Gunawan, itu membutuhkan biaya sampai Rp 3 juta. Saat tiang listrik misalnya dibangun di satu titik, PLN menyediakan kabel hanya sepanjang 35 meter untuk disambungkan ke rumah warga. Jika kabel tersebut belum sampai ke rumah, maka pemilik rumah harus merogoh koceknya sendiri untuk menambah kabel sambungannya.

Gunawan mengakui, seluruh warga di Desa Saguling memang sudah bisa memanfaatkan listrik di rumahnya masing-masing. Namun, persoalannya, masih banyak warga yang kesulitan untuk mengaksesnya karena pendirian tiang listrik masih sedikit. Bahkan, kata dia, tidak seluruh rumah di desa tersebut yang terpasang saklar listriknya.

Sebab, tiang-tiang listrik hanya dibangun di titik yang mudah dijangkau oleh PLN. Akibatnya, hanya segelintir rumah yang bisa dipasangkan saklar listrik. Apalagi, jika jarak rumah warga ini melebihi 35 meter dari tiang listrik, maka harus membeli kabel listrik lagi untuk disambungkan ke rumahnya. "Rumah-rumah yang di atas, yang jauh dari jalan, saklar listriknya itu enggak ada. Saklarnya malah dipasang di rumah orang lain yang berdekatan dengan tiang listrik," tutur Gunawan.

Namun, ada pula warga di Kecamatan Saguling yang menyambungkan kabel dari rumah tetangga yang terpasang instalasi listrik, ke rumahnya. Sehingga, harus membayar kepada warga yang rumahnya dipasangi listrik. "Ada yang per lampu itu dihargai Rp 5.000, jadi bayarnya ke warga yang dapat listrik. Jadi satu saklar untuk dua rumah," tutur dia.

Jika ada warga ingin menyalakan peralatan elektronik, seperti radio dan televisi, bayarannya jadi bertambah. "Ini sudah sejak 2002, ya ini karena kurang tiang listrik saja, katanya sih bakal ada penambahan listrik dari PLN, tapi sampai saat ini belum ada," papar dia.

Kepala Dusun 4 di Desa/Kecamatan Saguling, Ade Koswara menuturkan, Kampung Cibusung sangat membutuhkan jaringan listrik yang bisa masuk sampai ke wilayah pemukiman warga. "Memang kampung ini berada di ujung, tapi mereka butuh tiang-tiang listrik yang berdekatan dengan rumah," kata Ade.

Ade mengungkapkan, ada sekitar 67 rumah di Kampung Cibusung yang sampai saat ini sulit mengakses listrik. Tiang-tiang listrik dari PLN tidak banyak yang terpancang di lahan kampung tersebut. "Kami yang jelas meminta agar ada pelebaran pemasangan tiang-tiang listrik di Cibusung," kata dia.

Selama ini, kata dia, tiang-tiang listrik itu selalu dibangun di titik-titik lokasi tertentu saja. Akibatnya, hanya segelintir rumah yang menikmati listrik. Sementara, rumah-rumah warga yang berada di pelosok kampung, itu tidak dipasangkan tiang listrik. 

Akibatnya, sebagian warga yang rumah berjauhan dari tiang listrik, harus menambah kabel sambungan untuk kemudian disambungkan dari rumah warga yang mendapatkan listrik ke rumahnya. "Di Cibusung itu satu KWH (saklar listrik) banyak yang dipakai untuk dua rumah," jelas dia. 

Untuk ongkosnya, itu ditanggung oleh pemilik rumah. PLN tidak memberi bantuan apa-apa terkait kabel. Namun, PLN hanya memberi kabel sepanjang 35 meter bagi rumah yang berdekatan tiang listrik. Kalau ada rumah yang jarak ke tiang listriknya melebihi panjang kabel yang disediakan PLN itu, maka warga tersebut harus menanggungnya sendiri.
"Katanya di tahun kemarin itu bilangnya mau penambahan tiang di Cibusung, tapi belum ada sampai sekarang," tutur dia.
Kondisi ini tak hanya dirasakan di Kampung Cibusung Dusun 4 Desa/Kecamatan Saguling. Di Kampung Kubang Desa Jati Kecamatan Saguling, terdapat satu rumah yang tidak memiliki saklar listrik. Pemilik rumah tersebut, Diyat, mengaku sudah tiga tahun merasakan kondisi tersebut. "Dari tahun 2012-an, sejak bangun rumah di sini aja," tandasnya.

Meski demikian, Diyat dan keluarganya masih bisa merasakan keberadaan listrik melalui pemasangan saklar listriknya di rumah ketua RW setempat. "Masang KWH-nya (saklar listrik) di rumah RW," tukas dia. Ini dilakukan karena tiang listrik terpancang jauh sekitar satu kilometer dari rumahnya. Dari rumah RW tersebut, kemudian disambungkan lagi kabel dari tempat RW tersebut sampai ke rumah Diyat. 

Kabel tambahan ini dibeli sendiri oleh Diyat. Per meter, kata dia, kabelnya Rp 3.000. "Ya beli kabelnya pakai uang sendiri, ada-lah panjangnya sampai satu kilometer," bebernya. Menurut Diyat, tidak hanya dia yang merasakan sulitnya mengakses listrik. Di kampungnya saja, hanya tiga rumah yang sudah terpasang saklar listrik, termasuk rumah RW. 

Sementara, warga lainnya, pun harus melakukan hal yang sama seperti Diyat. Tapi tak sedikit juga warga di sana yang tidak memiliki saklar listrik. Sehingga, agar rumahnya terang-benderang, mereka harus membayar biaya penggunaan listriknya ke warga yang memiliki saklar listrik. Satu lampu, ada yang dihargai Rp 5.000. Mirisnya lagi, kabel sambungan yang terpasang dari rumah Diyat ke rumah RW itu sudah usang. Banyak tambalan-tambalan dari solatip yang dipasang di kabel itu.

Kepala Bagian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air, dan Pertambangan Kabupaten Bandung Barat, Dani Prianto Hadi menuturkan, ada sebanyak 112 ribu rumah di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang masih belum teraliri listrik. Lokasi pumukiman yang berada di pelosok, menjadi kendala tersendiri bagi PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero) untuk mengaliri listrik ke beberapa pemukiman di Bandung Barat.

Total rumah yang belum menikmati listrik itu tersebar di seluruh kecamatan di wilayah Bandung Barat. Jumlah ini diperkirakan bertambah seiring banyaknya angka pernikahan dan pendirian rumah di tiap desa. "Ya seperti itulah," tutur Dani.

Ketika ada penambahan jumlah rumah yang membutuhkan akses listrik, Dani dan jajarannya mengaku selalu mendatanya lalu diajukan ke PLN. Soal apakah sudah ada respon dari PLN, Dani tidak mengetahuinya. "Yang jelas faktanya ada sekian ratus ribu rumah yang belum teraliri listrik, dan itu PLN sudah tahu," ungkapnya.

Menurut dia, persoalan listrik ini tentu menjadi ranah PLN sebagai perusahaan negara yang bergerak di bidang kelistrikan. Apalagi, ironisnya, kata Dani, pemukiman yang belum teraliri listrik itu berada di sekitar pembangkit listrik. Seperti di Waduk Saguling misalnya. Di sekitar waduk tersebut, masih ada ratusan keluarga yang masih kesulitan mengakses jaringan listrik. 

"Itu kan wilayah PLN. Dari mana pun sumbernya bantu dulu wilayah sekitar. Syukur-syukur 112 ribu KK ini bisa teraliri semua. Kita kan sebetulnya kasih pelanggan ke PLN," kata dia.

Selama ini, Pemkab Bandung Barat telah menganggarkan dana sekitar Rp 3,5 miliar untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah pemukiman warga. Di tahun ini, jelas Dani, anggaran tersebut digunakan untuk memberikan pasokan listrik pada 2.500 rumah di KBB. Menurut dia bahkan seharusnya Pemkab KBB tidak perlu mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan listrik di pedesaan jika seandainya PLN bisa memenuhi pasokan listrik di KBB.

Bagi Dani, KBB harus menjadi prioritas PLN karena menjadi daerah penyuplai energi untuk Jawa-Bali. Terlebih, tentu PLN memperoleh keuntungan yang cukup besar dengan menjadikan KBB, di antaranya kecamatan Saguling, sebagai tempat dibangunnya pembangkit listrik tenaga air. "Ya bentuk CSR-nya itu kan bisa dipenuhi dulu. Takutnya nanti ada anggapan KBB karena menjadi penyuplai listrik makanya di sana itu terang benderang. padahal tidak demikian," jelasnya.

Dani juga mengakui, kondisi pemukiman di sekitar PLTA Saguling itu memang memprihatinkan dan sungguh ironis. Sebab, PLTA Saguling yang untuk disalurkan ke Jawa-Bali ini sudah terpenuhi. "Itu kan sudah terpenuhi dari Saguling itu. Sementara daerah sekitarnya malah kekurangan listrik. Itu yang ironis," tambah dia.

Namun persoalannya, dana yang dimiliki pemkab itu terbatas dan ada urusan lain yang harus diprioritaskan seperti infrastruktur misalnya. "Ada banyak yang harus diurusin sama pemkab, jadi anggaran itu untuk segala urusan. Karena anggaran yang terbatas itu makanya pemda memilah mana yang jadi prioritas," tandasnya.

Dani menjelaskan, dalam pembelanjaan listrik itu terdapat dua hal yang dibutuhkan, yakni saluran dan instalasi rumah dan jaringan, baik itu jaringan yang tegangan menengah maupun ringan. "Jaringan ini masuknya belanja modal yang hrus dihibahkan kepada PLN. Kalau yg instalasi rumah itu kan belanja hibah untuk masyarakat," tutur dia.

Urusan pemancangan tiang itu, masuk ke dalam persoalan jaringan, di mana hal ini menjadi kewenangannya PLN dan nanti Pemkab Bandung Barat akan menyediakan saluran dan instalasi rumahnya. Saluran dan instalasi rumah yang disediakan oleh Pemkab yakni berupa pemasangan kabel dan lampu. "Pokoknya sampai menyala saja," sebut Dani.

Sementara itu, pihak PLN wilayah Jawa Barat mengakui ada beberapa daerah di Jawa Barat yang terisolir dari akses listrik. Namun, mereka tidak mengetahui banyak warga Saguling yang terkendala akses listrik. "Memang ada daerah yang terisolir, daerah ini yang memang sulit terjangkau listrik," kata Supervisor Humas PLN Distribusi Jabar-Banten, Agus Yuswanta.

Ketika ditanya terkait sejumlah warga Saguling yang kesulitan mengakses listrik, Agus mengaku tidak mengetahuinya. Jika memang di daerah tersebut masih ada yang terisolir dari listrik, pihaknya bakal mengecek daerah tersebut. "Belum tahu yang mana daerahnya. Karena belum cek. Nanti kita data," ungkap dia.

Agus menyebutkan, selama ini pihaknya telah menginventarisasi daerah-daerah mana saja yang belum teraliri listrik, terutama bagi warga yang rumahnya di bawah tingkat sederhana. Selain itu, juga ada program listrik pedesaan di daerah-daerah. "Ini program pemprov, kita berutgas untuk pelaksana dan pematangannya, ini sudah dari tahun lalu," tutur dia.

Dari total rumah yang diinvestarisasi itu, memang terdapat sejumlah rumah di KBB yang masih belum teraliri listrik. Meski begitu, ia mengklaim bahwa PLN selalu memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses listrik di daerahnya. "Semuanya, enggak hanya KBB, ketika ada permintaan dari masyarakat, itu kita layani," paparnya.

Pengaliran listrik ke pemukiman warga itu tidaklah mudah dilakukan karena ada prosesnya. Bahkan, meski pemukiman itu berada di sekitar pembangkit listrik, bukan berarti rumah-rumah di sana akan mudah teraliri listrik. Agar listrik itu sampai ke rumah, tentu harus ada pembangkitnya terlebih dulu, kemudian ditransmisikan, lalu didistribusikan dengan jaringan distribusi 20 kilovolt.
"Walaupun daerah itu dekat dengan pembangkit, listriknya kan enggak bisa langsung dari pembangkit, tapi kan harus ditransmisikan dan distribusikan dulu," tutur Agus.
Di dalam proses ini, ada kajian kelayakan teknis di mana pihak PLN harus terlebih dulu mengidentifikasi mudah-tidaknya daerah pemukiman itu dipasangkan jaringan listrik dengan cepat. Namun, hingga berita ini diturunkan, pihaknya belum mengetahui hasil uji kelayakan di Desa/Kecamatan Saguling. "Hasil uji kelayakan di desa ini belum tahu," imbuhnya.

Menurut Agus, memang ada beberapa kendala teknis ketika ada suatu daerah yang sulit dijangkau jaringan listrik. Untuk daerah pemukiman yang seperti ini, PLN akan membantu mencarikan potensi energi lokal yang tersedia di wilayah pemukiman tersebut. "Misalnya di sana punya sungai kecil, kita bikinkan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro," ungkapnya.

Apalagi, jika memang di pemukiman tersebut hanya diisi 10 sampai 20 rumah, secara ekonomi teknis, lanjut Agus, itu tidak memungkinkan. "Makanya kita identifikasi dulu. Pasti ada. Pakai tenaga surya bisa. Tapi ini tentu akan kita kerjasamakan dengan pemda terkait melalui program CSR kita," tuturnya.


Berdasarkan situasi dan kondisi pada Juli 2015. Dimuat di Harian 
Umum Republika/Republika.co.id di bulan yang sama.

Comments