Ajaran utama yang dibawa oleh Wasil bin Atha sebagai pendiri dan pemuka aliran ini adalah sebagai berikut:
1. At-Tauhid, kemahaesaan Allah Swt. Tiada yang serupa dengan Dia. Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi, seperti adanya sifat, antropomorfisme, beativic vision, adanya yang qadim selain Tuhan, dan sebagainya mereka tolak dengan kuat.
2. Al-Adl, yaitu keadilan Tuhan. Paham ini mengandung keunikan Tuhan dalam hal perbuatan. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil. Segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak akan bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan Tuhan inilah yang menjadi titik tolak bagi pemikiran rasional aliran muktazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.
Dari ajaran dasar keadilan inilah timbul paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Antara lain, bahwa manusia wajib bertanggungjawab atas perbuatannya, paham al-shalih wal ashlah, dan wajib bagi Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia.
Selain itu, bahwa wajib bagi Tuhan untuk mengirimkan nabi-nabi kepada manusia untuk menjelaskan kepada manusia mengenai sesuatu yang tak dapat diketahui akal. Dan juga, bahwa Tuhan tidak memberikan kepada manusia beban yang tak terpikul, serta terikatnya Tuhan kepada janji-janji-Nya, dan sebagainya.
3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id. Tuhan tidak akan disebut adil jika Dia tidak memberikan pahala kepada manusia yang berbuat baik, dan juga jika Dia tidak menghukum manusia yang berbuat jahat. Tuhan wajib memberikan upah kepada mereka yang melaksanakan kebaikan dan wajib menghukum orang yang berbuat kejahatan di akhirat kelak berdasarkan yang tertera dalam Alquran mengenai demikian.
4. Al-Manzilah bayn Al-Manzilatain, yakni posisi di antara dua posisi bagi pembuat dosa besar. Bukan mukmin, bukan pula kafir, tapi muslim yang berada di antara keduanya. Bukan posisi surga, bukan pula posisi sikasa berat di neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak di antara keduanya.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy ‘an Al-Munkar, yakni perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Hal ini sangat berhubungan dengan pembinaan moral.
Kaum muktazilah yang mementingkan pembinaan moral dapat dilihat dari pemahaman mereka tentang iman. Kata mereka, iman bukan hanya dengan pengakuan sebagaimana dipahami kaum Murjiah, tapi juga harus disertai dengan perbuatan-perbuatan baik.
Ada orang beriman, tapi ia berbuat jahat, maka ia tidak luput dari api neraka. Orang yang akan masuk surga ialah yang imannya tercermin dalam segala aktivitasnya. Untuk membimbing moral umat, mereka berpednapat bahwa paham yang kelima ini adalah sebagai bentuk dari kontrol sosial, wajib dijalankan. Jika cukup, maka dengan seruan. Jika terpaksa, maka dengan kekerasan.
Daftar Pustaka
Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994)
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995)
Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995)
1. At-Tauhid, kemahaesaan Allah Swt. Tiada yang serupa dengan Dia. Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi, seperti adanya sifat, antropomorfisme, beativic vision, adanya yang qadim selain Tuhan, dan sebagainya mereka tolak dengan kuat.
2. Al-Adl, yaitu keadilan Tuhan. Paham ini mengandung keunikan Tuhan dalam hal perbuatan. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil. Segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak akan bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan Tuhan inilah yang menjadi titik tolak bagi pemikiran rasional aliran muktazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.
Dari ajaran dasar keadilan inilah timbul paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Antara lain, bahwa manusia wajib bertanggungjawab atas perbuatannya, paham al-shalih wal ashlah, dan wajib bagi Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia.
Selain itu, bahwa wajib bagi Tuhan untuk mengirimkan nabi-nabi kepada manusia untuk menjelaskan kepada manusia mengenai sesuatu yang tak dapat diketahui akal. Dan juga, bahwa Tuhan tidak memberikan kepada manusia beban yang tak terpikul, serta terikatnya Tuhan kepada janji-janji-Nya, dan sebagainya.
3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id. Tuhan tidak akan disebut adil jika Dia tidak memberikan pahala kepada manusia yang berbuat baik, dan juga jika Dia tidak menghukum manusia yang berbuat jahat. Tuhan wajib memberikan upah kepada mereka yang melaksanakan kebaikan dan wajib menghukum orang yang berbuat kejahatan di akhirat kelak berdasarkan yang tertera dalam Alquran mengenai demikian.
4. Al-Manzilah bayn Al-Manzilatain, yakni posisi di antara dua posisi bagi pembuat dosa besar. Bukan mukmin, bukan pula kafir, tapi muslim yang berada di antara keduanya. Bukan posisi surga, bukan pula posisi sikasa berat di neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak di antara keduanya.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy ‘an Al-Munkar, yakni perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Hal ini sangat berhubungan dengan pembinaan moral.
Kaum muktazilah yang mementingkan pembinaan moral dapat dilihat dari pemahaman mereka tentang iman. Kata mereka, iman bukan hanya dengan pengakuan sebagaimana dipahami kaum Murjiah, tapi juga harus disertai dengan perbuatan-perbuatan baik.
Ada orang beriman, tapi ia berbuat jahat, maka ia tidak luput dari api neraka. Orang yang akan masuk surga ialah yang imannya tercermin dalam segala aktivitasnya. Untuk membimbing moral umat, mereka berpednapat bahwa paham yang kelima ini adalah sebagai bentuk dari kontrol sosial, wajib dijalankan. Jika cukup, maka dengan seruan. Jika terpaksa, maka dengan kekerasan.
Daftar Pustaka
Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)
Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994)
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995)
Nasution, Harun. Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995)
Comments