Ada Apa dengan Kereta Cepat?


 
Sudah beberapa pekan terakhir, berita soal proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung selalu tersiar di media massa, lokal ataupun nasional, cetak ataupun elektronik. Jelas saja, proyek ini mendapat sorotan. Karena memang penuh intrik di dalam proses peluncurannya.

Sebelumnya, saya mau bilang bahwa tulisan ini adalah murni opini atau pengamatan saya. Terserah mau Anda percaya atau tidak. Toh, ini hanya pengamatan saya.

Jadi begini, mari kita lihat dan tarik ke belakang, siapa yang paling getol agar proyek kereta api cepat ini dibuat? Tentu, Rini Soemarno, namanya. Perempuan ini seorang menteri BUMN di era pemerintahan Jokowi periode 2014-2019.

Sejak dimunculkan ke media massa, wacana pembangunan proyek kereta cepat ini pun tergolong mendadak. Karena pada tahun-tahun sebelumnya, tidak ada pemerintahan di era sebelumnya yang berpikiran untuk membangun proyek itu. Tapi berbeda sekali dengan kondisi di era Jokowi. Semua serba disegerakan, semua serba cepat. Termasuk perizinan investasi.

Ketika muncul wacana ini, kontroversi pun bermunculan. Mulai dari yang pro dan kontra. Bahkan, Presiden Jokowi sempat menyatakan penolakannya pada September 2015 lalu, setelah wacana proyek kereta cepat ini bergulir.

Alasannya, proposal yang diajukan Jepang dan Cina sebagai calon pembuat kereta cepat, tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan kedua negara itu. Lebih jelasnya, pada di sini saja: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150904074341-92-76577/menko-darmin-jelaskan-alasan-jokowi-tolak-kereta-cepat/

Selain itu, Jokowi juga tidak setuju jika proyek tersebut menggunakan dana APBN. Karena dianggap akan menguras dana negara yang saat ini sedang dalam kesulitan. Bukan sedang kesulitan, tapi selalu kesulitan.

Nah, dari dua negara itu, Cina-lah yang berani maju. Cina tidak masalah dengan keinginan Jokowi tersebut. Sedangkan Jepang, tidak mampu. Cina memang menawarkan konsep bussiness to bussiness, sedangkan Jepang menawarkan konsep government to government.

Artinya, Jepang lebih ingin bekerja sama atau terlibat langsung, dari pemerintahnya ke pemerintah Indonesia. Di sini, jelas keputusan Jokowi sudah tepat.

Di sisi lain, konsep yang ditawarkan Cina lebih masuk akal, yakni lewat kerja sama antara BUMN yang dimiliki kedua negara itu: BUMN asal Cina dan BUMN asal Indonesia. Hingga akhirnya, Jokowi sepakat dengan konsep yang ditawarkan Cina.

Dalam konteks pembangunan proyek kereta cepat ini, pemerintah atau katakanlah Jokowi seolah berpikir begini, "Enggak apa-apalah, bangun saja, kan enggak pakai duit negara ini."

Sebagai gambaran, misalnya ketika Anda mempunyai lahan seluas 1 hektare, lalu ada orang yang ingin bangun usaha restoran di situ dengan menggunakan uangnya sendiri, dan Anda mendapatkan keuntungan nantinya. Bagaimana respon Anda? Sikatlaaah. "Engga pake duit gue ini."

Namun, bukan berarti tidak ada pihak dari Indonesia yang diuntungkan. Pasti ada yang mendapat keuntungan dari proyek itu. Ya, mereka adalah sebuah kelompok atau geng kelas kakap.

Rini Sumarno menjadi pemegang kendali proyek ini. Orang-orang yang berada dalam lingkarannya, adalah Ari Sumarno (kakak kandung Rini Sumarno). Siapakah Ari Sumarno?

Mungkin kita masih ingat bahwa Ari di era kepresidenan Megawati, ia menjadi direktur utama PT Pertamina. Di era SBY, ia diganti. Artinya, Ari dan Megawati cukup dekat. Mungkin inilah juga yang menjadi dasar Jokowi memilih Rini sebagai menteri, terlebih jadi menteri BUMN.

Ari Sumarno, orang yang tidak mendapat jatah proyek selama 10 tahun di era SBY. Karirnya meredup karena tergantikan oleh Karen Agustiawan. Ketika Jokowi jadi presiden, itu adalah kesempatan dia untuk beraksi kembali. Ada kemungkinan penghapusan Petral di Singapura terdapat campur tangan dia. Supaya Ari Sumarno bisa berkuasa lagi di bisnis migas.

Mafia minyak seperti Riza Chalid memang tersingkir, tapi tergantikan Ari Sumarno. Mungkin, kondisi ini juga yang membuat Riza Chalid ingin bermain di tambang Freeport. Karena, di minyak, dia sudah tersingkir.

Bagi Ari Sumarno dan kawan-kawan, termasuk Megawati, kesempatan ketika Jokowi berkarir sebagai presiden perlu dimanfaatkan. Salah satu proyek gokil yang sangat berpeluang untuk dibuat, memang adalah proyek kereta cepat.

Rini Sumarno sebagai eksekutor. Wajar saja, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan tidak terlalu terlibat aktif dalam proyek ini. Sebab, itu proyek kelas kakap, yang sudah pasti disetujui presiden. Jonan pun tidak bisa berbuat apa-apa, atau bahkan dicuekin oleh Rini dan kawan-kawan.

Karena konsep yang disetujui adalah bussiness to bussiness, maka BUMN-BUMN asal Indonesia pun dimanfaatkan. Sejumlah BUMN digabung untuk kemudian disatukan dengan BUMN asal Cina.

Modal yang dikeluarkan, kemungkinan besar, berasal dari masing-masing BUMN yang bergabung. Yaaaah walaupun kita tak tahu, dari mana sumber modal yang disertakan oleh BUMN itu? Minjem duit lagi atau memakai sebagian keuntungannya selama ini??? Pikir saja sendiri.

Selain itu, dampak dari pembangunan yang dibikin secara B to B, adalah keberpihakan kepada kaum kelas menengah ke atas. Jelas, warga tak mampu tidak akan bisa menaiki kereta cepat ini. Ini hanya untuk pebisnis kelas kakap.

Warga tak mampu palingan hanya sebagai pedagang di luar stasiun. Itupun, entah apakah mereka bisa menyewa tempat untuk berdagang apa tidak. Karena, toh tidak mungkin pedagang kaki lima dibiarkan beredar di stasiun kereta cepat. Pasti di luar stasiun dan ada tempat khususnya.

Padahal, menurut hemat saya, pembangunan kereta cepat ini belumlah tepat. Orang dari Jakarta pergi ke Bandung, mayoritas hanya untuk berwisata. Palingan ke Lembang. Ramainya, itu hanya di akhir pekan saja. Jadi mobilitasnya masih rendah. Justeru, jalur trase rel kereta harusnya dibangun cukup di Jabodetabek.

Cimahi, 21/2/2016

Comments