Lika-liku Janda yang Terlena (4-Selesai)


 
Pemerintah diminta serius untuk mengatasi persoalan perceraian yang kian meningkat tiga tahun belakangan ini. Jika tidak segera diatasi, kekuatan keluarga sebagai dasar untuk membangun negara bakal runtuh di kemudian hari. Kementerian Agama pun diminta untuk membuat suatu pembekalan bagi mereka yang hendak menikah.

Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan menuturkan, calon pengantin, baik itu suami dan istri, harus terlebih dahulu memiliki kemapanan mental. Kemapanan ini amat diperlukan agar kelak mereka bisa menghadapi segala macam persoalan setelah menikah. "Nah ini seharusnya disiapkan oleh Kemenag (Kementerian Agama) karena dia leading sector-nya," ujar dia.

Menurut dia, kemapanan mental lebih diperlukan ketimbang kemapanan finansial. Sebab, kemapanan finansial hanya berlaku pada jangka pendek. Sedangkan kemapanan mental, dan juga spiritual, itu berlaku untuk jangka panjang sehingga mereka pun siap dalam menghadapi berbagai persoalan setelah menikah.

Karena itu, menurut dia, semestinya pemerintah melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga swasta untuk membantu memberikan pembekalan kepada calon pengantin. Memang diakui dia, di beberapa kabupaten itu sudah terlaksana, yakni melalui kursus calon pengantin. Tapi, tidak seluruh kabupaten menerapkan ini. Apalagi, pembekalan itu hanya dilakukan selama satu-dua jam.

Padahal, di beberapa negara, ada yang menggelar pembekalan itu satu sampai seminggu dan bahkan sebulan. Ini dilakukan agar calon pengantin itu memahami tentang tata cara hidup berumah tangga dan bagaimana menghadapi berbagai macam persoalannya. "Jadi pemerintah dan lembaga yang bertangungjawab atas pembinaan keluarga dan pembentukan keluarga yang harmonis itu memang belum optimal dalam memerankan fungsinya," ujar dia.

Selain itu, menurut dia, faktor yang menyebabkan banyaknya perceraian yakni karena tidak adanya komitmen yang jelas antara pihak suami dan istri. Komitmen yang dimaksud, yaitu berupa lembar perjanjian pranikah. Perjanjian tersebut sebetulnya sangat diperlukan untuk menjaga dan menghindar segala macam bentuk persoalan yang akan dihadapi setelah menikah. Namun, Cahyadi mengakui, perjanjian seperti itu masih dianggap sepele.

Apalagi, ada anggapan, jika perjanjian tersebut dibuat, itu seolah-olah tidak ada rasa kepercayaan dari kedua belah pihak. "Rata-rata kalau di sini (Indonesia) itu menganggap perjanjian pranikah itu kayak orang yang tidak saling percaya. Padahal tidak seperti itu," kata dia.

Menurut dia, perjanjian pranikah itu diperlukan walaupun sudah ada rasa saling percaya, demi memberikan keteguhan komitmen di antara suami dan istri. Melalui perjanjian itu, suami-istri pun bakal mampu mengontrol dampak-dampak yang ditimbulkan dari persoalan yang bermunculan. "Makanya, banyaknya perceraian ini juga karena kurangnya komitmen landasan saat sebelum menikah," kata dia.

Perjanjian pranikah ini, kata dia, memang jarang digunakan di Indonesia. Padahal, itu bisa dibuat dengan memasukan berbagai kesepakatan yang diperlukan. Isi perjanjian itu pun akan menjadi satu bagian utuh agar suami-istri bisa menaati komitmen yang dibuat. Selama ini, perjanjian pranikah itu sering kali dibuat untuk mengatur pernikahan antarwarga negara yang berbeda. "Itu dibuat untuk mengatur kewarganegaraan anak atau agamanya nanti," jelas dia.

Atau, selain itu, perjanjian pranikah ini juga sering dijadikan alat untuk menjembatani beberapa keadaan yang terjadi sebelum menikah. Misalnya, ketika suami memiliki utang banyak sebelum menikah, dan itu baru diketahui istri setelah menikah, atau sebaliknya. "Ini bisa diatur di dalam perjanjian pranikah itu," tutur dia.

Selain untuk mengatur itu, perjanjian pranikah juga bisa mengatur prinsip monogami dan poligami. Di perjanjian tersebut, dapat dituangkan, jika suami pada saat sebelum menikah menyatakan ingin melakukan poligami, dan itu disetujui oleh calon istrinya, maka itu bisa menjadi landasan bagi suami untuk melakukan poligami. "Ini bisa diatur di perjanjian itu, dan tidak perlu jadi masalah jika sudah ada kesepakatan itu," ujar dia.

Namun, jika suami dari awal sudah menyatakan ingin monogami, maka ke depannya ia tidak bisa melakukan poligami. Atau pada saat menuangkan keinginan poligami di dalam perjanjian pranikah itu tidak disetujui calon istri, maka calon suaminya pun kelak tidak bisa melakukan poligami.

Perjanjian pranikah bisa mengatur berbagai hal, termasuk dalam pengelolaan keuangan. Misalnya, suami-istri itu sama-sama memiliki perusahaan. Di dalam perjanjian pranikah itu, bisa dituangkan tentang prinsip-prinsip pengelolaan keuangannya. "Itu juga penting untuk dikokohkan dalam perjanjian pranikah," kata dia.

Tak hanya itu, perjanjian pranikah juga sampai bisa mengatur persoalan sikap saat menghadapi jenis konflik apapun. Umpamanya, ketika ada pihak ketiga yang memasuki hubungan suami-istri, maka sikap seperti apa yang harus diambil saat itu terjadi. "Isi perjanjian pranikah ini luas. Banyak yang bisa dituangkan di situ," ujar dia.


Penyebab Perceraian

Menurut Cahyadi, berkembangnya teknologi informasi saat ini memengaruhi secara signifikan terhadap kehidupan berumah tangga. Dulu, memang kebanyakan perceraian itu disebabkan oleh faktor ekonomi. Tapi sekarang, kebanyakan karena pengaruh kultur perkembangan teknologi informasi, seperti ponsel misalnya. Ponsel menjadi pemicu keretakan rumah tangga. "Teknologi yang membuat mereka, suami atau istri, mendapatkan orang ketiga," tutur dia.

Penyebab yang amat terlihat pada kondisi seperti sekarang ini, sebetulnya bukan pada faktor kekurangan uang atau jumlah uang yang dimiliki, melainkan karena meningkatnya standar gaya hidup sehingga ini menentukan sikap dalam menjalani kehidupan. Boleh dibilang, orang-orang yang termasuk dalam kategori demikian, itu tidak bisa bersikap secara tepat ketika menghadapi masalah ekonominya.

Bisa saja, lanjut Cahyadi, sebenarnya kehidupan suatu keluarga itu amat berkecukupan. Tapi, karena gaya hidup suami-istri yang berbeda, malah menyulitkan pihak suami sebagai pemberi nafkah, dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Namun, ia tidak memungkiri adanya faktor perceraian yang disebabkan benar-benar karena ketidakmampuan finansial.

"Jadi kalau misalnya istri minta cerai, karena enggak bisa terpenuhi kebutuhan hidupnya, itu jadi fenomena masyarakat modern, masyarakat perkotaan," tutur dia.

Apalagi, dalam konteks kehidupan di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, itu tidak terlalu bersifat kekotaan, tapi sebetulnya masyarakat di sana sudah terkontaminasi oleh gaya hidup perkotaan. Sisi positifnya, mereka menjadi melek teknologi. Namun, sisi negatifnya, masyarakat di tiga wilayah itu menjadi latah untuk mengikuti kultur perkotaan. Padahal, sebetulnya mereka tidak betul-betul mampu mengikutinya. "Kalau di masyarakat perkotaan, problem kekurangan dari sisi ekonominya kan tidak terlalu dominan," kata dia.

Dengan berkembangnya teknologi, banyak masyarakat yang sudah mengenal berbagai hal, termasuk gaya hidupnya ikut berubah. Apalagi, alat komunikasi yang kian modern makin memperluas interaksi seseorang satu dengan yang lainnya. Apalagi, kebanyakan yang mengajukan cerai itu adalah pihak istri. "Jadi perceraian seperti sekarang ini memang disebabkan karena adanya perubahan-perubahan itu," ujar dia.

Saat ini, banyak pola hidup yang mengarah pada gaya hidup hedonis. Orang ingin mendapatkan sesuatu dengan mudah dan cepat. Berbeda dengan zaman dahulu di mana pada zaman kakek-buyut itu lebih tahan mental. Sebab, mereka pun tidak melek secara informasi dan komunikasi.

Kalau dalam konteks zaman sekarang, jika suami atau istri melihat ada kehidupan di perkotaan yang lebih glamor, maka batinnya terpancing untuk merasakan keglamoran itu. Pola-pola konsumtif seperti ini kerap lebih dulu dirasakan pihak istri. Terlebih, ada perasaan tidak sabar dan tidak tahan untuk segera menikmati kesenangan tersebut. Padahal, kondisi perekonomiannya tidak memungkinkan untuk bisa menikmatinya.

Akibatnya, timbul rasa penyesalan dan kekecewaan sehingga malah menyalahkan kondisinya sekarang ini, atau malah pasangannya. Keadaan inilah yang banyak dijumpai pada pernikahan yang suami-istrinya masih berusia muda. "Ini ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan diri. Harusnya mereka bisa menyesuaikan diri pada awal-awal kehidupan berumah tangga itu," ujar dia.

Apalagi, jika ada perbedaan dalam standar hidup, gaya hidup dan pola konsumtif pada diri suami ataupun istri. Karena salah satu pihak merasa tidak tercukupi kebutuhannya, dan tidak sabar menghadapi kesulitan ekonominya, akhirnya perceraian menjadi jalan pintas untuk mengatasi persoalannya itu.

Suami ataupun istri, sama-sama memiliki rasa tidak sabar dan tidak tahan saat menghadapi kesulitan ekonomi. Misalnya, katakanlah, istri banyak menuntut berbagai hal kepada suami, dan itu malah bisa menyebabkan suami ikut-ikutan tidak sabar atas tuntutan istrinya. Saat itu, timbullah pemikiran praktis untuk menyudahi pernikahan. Bahkan, jadi tidak punya keinginan untuk mempertahankan keluarga. "Jadi ketika istri nuntut cerai, suami mengiyakan saja," kata dia.

Terlebih, saat ini, dirasakan atau tidak, ada kultur persaingan yang terbangun dalam suatu pemukiman, biasanya di kompleks perumahan. Misalnya, ketika istri melihat ada mobil baru yang digunakan tetangganya, muncul rasa ingin memilikinya juga. "Tetangga beli motor baru atau mobil baru, ada perasaan kok di sini enggak punya," jelas dia.

Kondisi tersebut bisa memicu istri tidak puas dengan apa yang dimilikinya saat ini, dan apa yang diberikan oleh suami. Kemudian, istri menuntut lebih dari apa yang dimiliki suaminya itu. Sementara, pada kasus perceraian yang lain, terkadang ada suami yang menalak istrinya, tapi tidak ingin menceraikan istrinya.

Dalam kondisi tersebut, istri tentu tidak akan menerima keadaan seperti itu. Sebab, ia tidak ingin statusnya digantungkan. Bukti resmi perceraian dari pengadilan, pun harus dimilikinya. Walhasil, karena tidak ingin persoalan dengan suaminya berlarut-larut, ia memutuskan untuk mengurusi perceraian ke pengadilan sendirian.

Pada kasus demikian, lanjut dia, pihak istri sebetulnya menderita. Sebab, nasib istri sudah terkatung-katung, ditinggalkan begitu saja tanpa kejelasan. Situasi ini membuat istri mengajukan cerai ke pengadilan dalam kondisi sudah tertalak oleh suaminya. "Fenomena seperti ini juga sering dijumpai sekarang," kata Cahyadi.

Menurut dia, suami enggan menceraikan suaminya karena khawatir akan beban yang ditanggungnya setelah cerai. Suami harus menanggung urusan perekonomian istri dan juga anaknya kelak. "Berbagai macam urusan ekonomi, gono-gini dan semacamnya. Sementara kalau istrinya (yang mengajukan cerai) itu enggak ada kewajiban seperti itu bagi suami," kata dia. []

Soreang, 6 Oktober 2015

Tulisan ini dimuat di Republika Online/ROL (13 Desember 2015).

Tulisan ini merupakan versi asli buatan penulis.

Comments