Lika-liku Janda yang Terlena (2)


 
Kelahiran anak kedua, ternyata tidak merubah sikap suaminya kala itu. Bahkan, perselingkuhan suaminya sampai kena pergok oleh ibu kandung Dian. Si suami yang saat itu jarang pulang, ternyata mengontrak rumah di kampung lain, dan tinggal bersama perempuan lain. "Selingkuhannya ganti-ganti," tutur dia.

Saat itu, Dian mengaku masih sabar dan tetap menjalani hubungan layaknya suami-istri. Hingga akhirnya, lima tahun yang lalu, 2010, anak ketiganya lahir. Meski sudah memiliki tiga anak, sikap suaminya tak kunjung berubah. "Pas anak ketiga, aku sudah enggak kuat, di situ sudah saja benar-benar minta (cerai)," tutur dia.

Setahun prosesnya untuk dikatakan resmi cerai dari suaminya itu. Dari 2011, ia pun mulai menghidupi tiga anak dan ibunya yang sudah lanjut usia. Tak ada pilihan lagi, dari pada terus-terusan sakit melihat perbuatan lakinya itu, lebih baik ia hidup sendiri tanpa suami. Lagi pula, ada tiga anak yang mesti mendapat perhatian. Lelah rasanya jika terus memikirkan perselingkuhan suaminya. "Kasihan anak terlantar, udah aja aku cari uang sendiri," tutur dia.

Tiga bulan setelah resmi bercerai, Dian memutuskan untuk bertolak ke Malaysia. Ya, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di sana  adalah satu-satunya pilihan yang tertanam di benak dia saat itu. Ia pun harus pontang-panting bekerja sebagai pembantu rumah  tangga di Malaysia, demi menghidupi tiga anak dan ibunya di Indonesia, tepatnya di Desa Kertajaya, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Gaji bulanannya saat bekerja di Malaysia cukup besar, Rp 2,5 juta.

Setahun ia bekerja sebagai PRT di Malaysia. Selama itu pula, ia tak bertemu tiga anaknya. Tiga anaknya diasuh oleh ibu kandung Dian. Mereka tinggal di rumah milik neneknya itu. Hingga akhirnya, rumah itu dijual.

Sepulangnya Dian kembali ke tanah Ngamprah, mereka berlima pun tinggal di sebuah kontrakan di Desa Kertajaya, Ngamprah. Sejak melepaskan pekerjaan PRT di Malaysia pada 2012 lalu, Dian mencari-cari pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan untuk tiga anak dan ibunya itu. Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk bisa memperoleh pekerjaan bagi perempuan yang hanya lulusan SMP ini. Lewat kabar dari teman, ia mengetahui ada lowongan di sebuah perusahaan di daerah Tagog.

Beruntung, Dian diterima di perusahaan itu. Ia menjadi sales di sebuah perusahaan kredit barang elektronik di Tagog. Hingga kini, ia masih bekerja di situ. Tidak ada gaji bulanan di perusahaan perkreditan ini. "Kalau dapat konsumen ya ada bayaran, kalau enggak ya enggak ada." Meski begitu, ada uang makan yang dikasih oleh perusahaan sekali dalam sepekan.

Kendati kehidupannya pas-pasan, Dian memiliki keyakinan bahwa ia tidak sendiri. Sang Khalik bersamanya. "Allah itu Maha Adil," tutur dia kepada saya. Jika memang ingin mengatakan Allah itu tidak adil, terang dia, lalu dari mana dia bisa mencukupi kebutuhan tiga anak dan ibunya itu.

Apalagi, Dian tidak punya gaji tetap dan dibayar hanya pada saat mendapat konsumen. Sekarang, kata dia, mencari konsumen di wilayah Bandung Barat itu sulit. Karena semua orang sama-sama sedang mengalami kesulitan ekonomi. "Tapi jujur, ada saja, mas, rezekinya. Saya sendiri kerja enggak digaji, tapi anak-ibu masih tetap sehat," ujar dia. Selain mengandalkan honor atas perolehan konsumen, untungnya, ibunya Dian masih menerima uang pensiunan sepeninggal suaminya. "Jadi sedikit-sedikit masih bisa bantu," kata perempuan kelahiran 1979 ini.

Tak hanya Dian yang merasakan sulitnya menanggung hidup sendiri. Tapi juga Sarah. Perempuan kelahiran Kecamatan Coblong Kota Bandung ini harus berdagang aneka minuman dingin di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Bandung Barat, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Di Cilame, ia tinggal bersama bibinya. Modal untuk berdagang itu, untungnya dibantu oleh pihak mertuanya.

Di usianya yang sudah menginjak 22 tahun, Sarah sudah memiliki dua anak. Anak yang pertama, berusia 6 tahun, dan anak keduanya berusia 4 tahun. Dalam kesehariannya kini, dari pagi hingga malam, ia selalu berada di balik etalase warungnya. Menunggu ada yang membeli. Di warung itu pulalah, anak-anaknya bermain. Bercanda-tawa dengan ibunya.

Sarah menikah pada usia 15 tahun. Suaminya saat itu berusia 20 tahun. Baru setahun usia pernikahannya, mereka sudah pisah ranjang. Padahal, menurut Sarah, ia sendiri tidak melakukan segala hal apapun yang menyakiti suaminya kala itu. Dari situlah, suaminya jarang pulang ke rumah. Lalu, tiba-tiba, pada 2011 yang lalu, ia mendengar kabar dari sanak saudara bahwa suaminya telah menikah lagi. Sontak kabar tersebut mengagetkan Sarah. Apalagi, saat itu, Sarah sedang hamil anak kedua.

Sejak 2011 itulah, sampai sekarang, Sarah membesarkan dua anaknya seorang diri, dengan dibantu oleh sanak saudaranya. Gegara pengalaman itu, Sarah enggan menikah lagi. Ia trauma, khawatir jika menikah lagi, pengalaman serupa akan dirasakan. "Trauma enggak mau nikah lagi," ujar Sarah. Dan sampai sekarang, pengurusan cerai resmi pun belum dirampungkannya. "Udah aja begini, cari uang buat anak, yang penting sekarang mah anak," kata Sarah saat sedang sibuk membereskan dagangannya.

Di tempat berbeda, di Tegallega, ada seorang perempuan yang menghabiskan waktunya untuk mencari uang di sebuah panti pijat. Sani Aprilia, namanya. Warga kelahiran Astana Anyar Kota Bandung ini menjanda karena suaminya meninggal dalam kecelakaan motor, pada awal 2014 yang lalu.

Bagi Sani, bekerja di panti pijat ini karena tidak ada pilihan lain. Untuk ukuran Sani, mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan memang tergolong sulit, karena, ia hanya lulusan SMP. Karena itulah, berkat ajakan tetangga yang sudah lebih dulu bekerja di tempat panti pijat itu, ia pun mulai bekerja di sana sejak setahun yang lalu.

Perempuan berusia 23 tahun ini memiliki dua anak. Dua-duanya perempuan. Yang pertama berusia 4 tahun dan kedua 3 tahun. Sejak suaminya meninggal dalam kecelakaan itu, Sani harus berjuang keras menghidupi kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Kebutuhan akan materi menjadi alasannya bekerja sebagai pemijat di panti itu. "Saya sudah sendiri, mau mengandalkan siapa lagi?," ujar Sani menceritakan.

Kebutuhan keluarganya bisa tercukupi dengan melakoni pekerjaan tersebut. Dalam sebulan, Sani bisa mengantongi sedikitnya Rp 2 juta. Menurut dia, bekerja di panti pijat membuat dirinya nyaman. Sebab, lain halnya jika bekerja di pabrik, di panti tersebut, pekerjaannya tidak mengikat sehingga membuatnya merasa bebas. "Enggak terikat, kalau mau off ya off," ujar dia.

Lagi pula, pekerjaan seperti inilah yang bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. "Kalau pabrik kan enggak bisa." Sepeninggal suaminya itu, Sani tidak lantas langsung mencari sebuah pekerjaan. Butuh waktu sendiri selama setahun untuk menenangkan pikirannya. Satu tahun pertama ia masih menjadi ibu rumah tangga biasa, dengan mengurusi dua anaknya yang masih kecil itu.

Apalagi, saat ditinggal meninggal oleh suaminya, Sani masih berusia 21 tahun. Sangat muda. Ia sendiri dinikahi almarhum suaminya saat usia 17 tahun. Bukan dijodohkan, tapi berdasarkan suka sama suka. "Kalau orang kampung gitu kan, masih muda sudah pada nikah, mikirnya kan dari pada zina." Setelah dua tahun mengalami kesendirian, memang sempat terbersit pikiran untuk menikah lagi. Tapi untuk saat ini, ia enggan untuk memikirkannya. Anak-anaknya menjadi perhatian utamanya saat ini.

Soreang, 04 Oktober 2015

Tulisan ini dimuat di Republika Online/ROL (13 Desember 2015).
Tulisan ini merupakan versi asli buatan penulis.

Bersambung ke "Lika-liku Janda yang Terlena (3)"

Comments