the Bangrengs (1)

 

Dambung, tepatnya kabupaten Dambung, wilayah liputan pertama saya di daerah selain Takarja. Ya, ini pengalaman yang sangat menantang. Mau tak mau, saya harus beradaptasi dalam hal apapun di sana.

Pagi hari, saya mengendarai motor menuju Soriyang, dari Kota Dambung. Di tengah perjalanan, saya membeli koran andalan di Dambung, Otak Rakyat, di pinggir jalan.

Niatnya koran itu saya gunakan untuk bahan liputan. Saya tertarik melakukan liputan ketika membaca berita soal DPRD Kabupaten Dambung yang ingin menyertifikasi semua tanah yang sudah dibebaskan mereka, dengan mengatasnamakan Pemkab Dambung.

Dinas Pertanahan menjadi yang pertama saya masuki untuk menemui narasumber yang tepat membicarakan persoalan itu. Langkah pertama bertemu dengan satpam berpakaian biru.

Mendengar saya dari media, ia pun mempersilakan untuk masuk membuka sebuah pintu. Kata dia, saya harus ke bagian tata usaha terlebih dahulu. Saya di ke sebuah pintu. Setelah terbuka, pintu ini ternyata mengarahkan saya ke sebuah lorong.  Di sisi lorong ini, banyak pintu yang diatasnya digantungkan nama-nama petunjuk ruangan.

Saat itu, ada seorang bapak berkumis, baju kaos putih polos, dan celana hitam. Jaraknya sekitar tiga meter dari saya. Bapak ini seperti tukang sate madura, pikir saya, karena kumisnya yang begitu tebal.

Satpam tadi meminta bapak tersebut mengantarkan saya ke ruang tata usaha. Saat mengantar, bapak itu tidak bicara banyak. Tapi, gayanya belagu. Gaya petantang-petenteng, seolah dia anaknya Jokowow. Ya meskipun tidak prestis juga seandainya dia benar anaknya Jokowow.

Sampailah saya di ruang tata usaha. Bapak yang seperti tukang sate madura itu pun pergi meninggalkan saya. Di ruang tata usaha itu, banyak meja yang berjejer di ruangan yang bentuknya memanjang itu.

Di tiap meja, diisi oleh para pria tua, alias bapak-bapak yang kebanyakan berkumis, dekil kecoklatan, dengan seragam baju putih dan celana hitam.

Ya, saya ingat apa yang dikatakan satpam tadi, saya harus menghadap bapak ini. Maksud kedatangan saya sampaikan secara jelas. Ketika saya bicara, bapak ini tetap tampak sibuk membuka-buka lembaran kertas di mejanya.

Setelah saya selesai bicara, ia menimpali, "Kalau soal sertifikasi tanah, bapak ke lantai dua, karena yang punya data itu bukan saya, tapi lantai dua, ke pak ini," ujar bapak yang juga mirip tukang sate madura ini, karena kumisnya juga tebal.

Tak pikir panjang, saya tinggal ruang itu dan menuju lantai dua. Hingga akhirnya, bertemulah saya dengan orang yang tepat untuk ditanyai. Dia mengajak saya ke ruangannya. Di dalam, saya tanyai beberapa pertanyaan mendetail, "Di mana saja letak-letak daerah yang harus segera dibuatkan sertifikasi?," tanya saya.

Jawabannya tidak memuaskan saya. Ia bilang, hingga kini belum ada data-data terbaru tentang titik-titik yang akan disertifikasi. Kalau sudah ada yang disertifikasi, pastinya ia sudah menerima laporannya. Tapi nyatanya ia mengaku belum menerima.

Di situ saya percaya saja. Bapak itu pun melanjutkan keterangannya. Kata dia, keinginan DPRD untuk membuat sertifikasi atas lahan yang dibebaskan Pemkab Dambung, itu agar pemkab tidak kehilangan asetnya.

Pernyataan DPRD itu disampaikan dalam rapat dengan dinas pertanahan Pemkab Dambung, di gedung DPRD yang bersebelahan dengan kantor Pemkab Dambung. Tapi, kata bapak itu, undangan rapat itu dadakan. Bahkan, ia ikut rapat karena diajak atasannya. Jadi, saat rapat, pihak dinas pertanahan tidak membawa data lengkap. Ya sudahlah, di situ saya merasa tak puas (bukan merasa sedih yah).

Saya pun keluar dari ruangan itu. Baru saja keluar, bapak tukang sate madura yang pertama tadi, yang pakai kaos oblong putih, itu memanggil saya. "Mas.. Mas, sini mas."

Wajahnya songong, belagu, seakan-akan ia memiliki kekuasaan. Padahal mah, kacrut. Saya pun duduk di hadapannya, dengan dibatasi sebuah meja abu-abu.

"Kamu baru kan di sini," tanya dia.

"Iya pak, saya baru," jawab saya.

"Kalau mau ke sini, harus bilang-bilang yah sama saya, saya ini dari LSM," kata dia dengan nada tegas.

"Oo gitu pak."

"Iya, saya ini dari Batak," lanjut dia.

"Oo.. Maap nama bapak sapa?," kata saya penasaran.

"Nama saya Maman, Maman Soriyang, semua orang di Soriyang tahu nama saya," ujar dia, songong.

Saya hanya bisa bilang dalam hati, "Masih ada saja orang kayak gini, ish gila."

Di situ, saya "dibebaskan".

Sorenya, saya tanya kepada seorang ibu yang bekerja di bagian humas Pemkab Dambung. "Bu, tahu Maman Soriyang?," tanya saya.

"Maman Soriyang? ENGGAK TAHU," jawab si ibu yang berwajah manis ini, seperti seorang perempuan asal Jawa Barat umumnya.

*Soriyang, Kabupaten Dambung, (3/3/15).
Kisah dalam tulisan ini fiktif tapi terinspirasi kenyataan

Comments