(dok. harnas.co) |
Sumber internal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, merasa ironis terhadap kondisi energi di Indonesia, terutama BBM bersubsidi. Pasalnya, pemerintah harus menanggung biaya yang sangat besar, karena harus membiayai BBM impor itu, dan juga menanggung biaya BBM yang disubsidi. "Jadi kita ini seperti memberi sedekah kepada negara pengekspor itu," kata dia.
Berdasarkan data yang dihimpun, ada tiga
jenis BBM yang disubsidi pada tahun ini, yakni bensin, solar, dan minyak tanah.
Untuk bensin, total yang disubsidi sebesar 29,4 juta kiloliter, dengan
menghabiskan dana sebesar Rp 119,85 triliun.
Sementara, untuk solar, total yang disubsidi yakni 15,7 juta kiloliter, dengan dana sebesar Rp 64 triliun. Sedangkan untuk besaran minyak tanah yang disubsidi, yakni 0,9 juta kiloliter, dengan total dana senilai Rp 3,6 triliun.
Sementara, untuk solar, total yang disubsidi yakni 15,7 juta kiloliter, dengan dana sebesar Rp 64 triliun. Sedangkan untuk besaran minyak tanah yang disubsidi, yakni 0,9 juta kiloliter, dengan total dana senilai Rp 3,6 triliun.
Di sisi lain, energi yang disubsidi pemerintah tak hanya
minyak, tapi juga listrik, LPG (Liquid Petroleum Gas), dan gas bumi.
Berdasarkan catatan yang diperoleh, listrik yang disubsidi pada tahun ini
sebesar 51,13 gigawatt, dengan dana senilai Rp 86,84 triliun. Sedangkan untuk
LPG, yang disubsidi itu sebesar 5 juta metrik ton, dengan total dana mencapai
Rp 36,7 triliun. Sementara, total gas bumi yang disubsidi sebesar 1,22 juta barel
oil ekuivalen.
Sumber ini juga menjelaskan, ekspor gas pada tahun kemarin
itu mencapai 3,529 juta kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet
per day/MMSCFD). Dengan total produksi gas tahun kemarin yang mencapai 7,101
MMSCFD, pemerintah telah mengekspor 49,7 persen, hampir setengahnya dari total
produksi gas.
Terkait pengembangan lapangan migas di Indonesia, lanjut
dia, sebenarnya pemerintah sudah mendorong para kontraktor. Namun, kata dia,
kontraktor yang paling sulit untuk beroperasi adalah yang berasal dari dalam
negeri. "Dari semua kontraktor yang berasal dari dalam negeri, yang beroperasi
cuma Medco, yang lain itu nggak ada, makanya wajar saja jika pemerintah lebih
mengutamakan investor asing ketimbang domestik," ujar dia.
Karena menurut dia, prinsip yang dipegang oleh pemerintah
selama ini adalah siapa yang paling banyak memberikan pendapatan ke negara,
maka dia yang harus diprioritaskan. Ia membeberkan, perusahaan dari domestik
kesulitan untuk beroperasi karena terhambat di pendanaan. Perusahaan migas
domestik itu kebanyakan adalah Badan Usaha Milik Daerah.
Comments