Sekilas,
gabah seperti tak memiliki fungsi apapun selain sebagai salah satu komoditas
pangan. Dapat dikatakan, kita mengenal gabah hanya sebagai barang pangan.
Namun, di satu negara ini, gabah tak hanya menjadi komoditas, tapi juga menjadi
salah satu alternatif yang bisa menghasilkan energi.
Gabah merupakan bulir padi yang telah dipisahkan dari
tangkainya, atau jeraminya. Dengan begitu, secara definitif teknis, gabah
adalah hasil tanaman padi yang sebelumnya sudah dipisahkan dari tangkainya,
dengan cara dirontokkan.
Di dalam perdagangan komoditas, gabah menjadi komoditas yang amat
penting keberadaannya. Sebab, perdagangan padi dalam kapasitas yang besar
tentunya ditransaksikan dalam bentuk gabah.
Gabah
berasal dari padi yang telah selesai dipanen. Menurut kadar air yang dikandung
oleh gabah, gabah dikategorikan menjadi beberapa hal. Di antaranya, gabah
basah, gabah pungut, gabah basah sedang, gabah kering, gabah basah pungut, dan
terakhir, gabah basah yang berasal dari hasil panen padi yang telah selesai
dipisahkan dari tangkai padinya.
Gabah basah pungut diperoleh dengan proses merontokan gabah dari tangkai padi.
Gabah tersebut memiliki kadar air berdasarkan musim tanam untuk musim tanam
berikutnya. Di musim kemarau, gabah basah pungut cenderung memiliki kadar air
yang lebih sedikit kurang lebih minimal 18 persen, sehingga untuk memperoleh
gabah kering giling akan mengalami susut dengan rasio sebesar 12 persen.
Sedangkan gabah basah, diperoleh setelah proses panen padi dan dijemur dengan
kandungan air antara antara 15 persen sampai 18 persen. Seperti gabah basah
pungut, gabah basah ini juga kadar air yang dikandungnya tergantung pada musim,
seperti musim hujan, yang berakibat pada kadar air antara 18 persen sampai 20
persen.
Gabah kering giling adalah gabah yang siap diolah di penggilingan padi untuk
memperoleh hasil akhir berupa beras. Musim kemarau, kadar air musim kemarau
untuk gabah kering giling kurang dari 15 persen. Dengan begitu, memang kadar
air gabah dipengaruhi oleh musim.
Akibatnya, harga gabah di antara kedua musim itu, sangat berbeda dengan harga
gabah baik basah pungut, basah maupun kering giling. Semua gabah ini memiliki
harga yang tinggi ketika musim kamarau dan harga yang lebih rendah ketika musim
penghujan.
Selain itu, musim juga berpengaruh terhadap kualitas gabah dan kualitas beras
yang dihasilkan. Beras yang dihasilkan pada musim penghujan mempunyai warna dan
kekuatan gabah berbeda dengan musim kemarau. Namun, di luar sana, gabah tak
hanya dipandang sebagai komoditas pangan saja. Memang, yang paling utama, gabah
adalah salah satu kebutuhan pangan pokok bagi masyarakat kita.
Tapi tampaknya ini berbeda untuk negara seperti Korea Selatan. Sebab, ada
sebuah penemuan baru terkait gabah ini di sana. Beberapa peneliti di sana,
menemukan sebuah terobosan terbesar pada gabah. Gabah, ternyata dapat dijadikan
sebagai energi untuk membuat baterai.
Gabah memiliki kandungan silika. Menurut para peneliti
yang dipimpin oleh Jan Wook Choi, dari Korea Advanced Institute of Science and
Technology di Daejeon, Korea Selatan, kandungan silikon dalam gabah itu dapat
menggantikan elektroda yang terbuat dari grafit.
Elektroda yang terbuat dari grafit, memang dikenal tidak efisien dan efektif.
Agar bisa menjadi elektroda yang dapat digunakan pada baterai, kandungan
silikon itu terlebih dahulu harus diubah menjadi silikon murni. Barulah,
silikon murni ini digunakan sebagai elektroda.
Saat melakukan penelitian itu, ternyata tidak ada penurunan kapasitas setelah
200 kali siklus charge-discharge. Proses ini berbeda dengan silikon sintetis
yang digunakan pada baterai selama ini, di mana pada kapasitas pengisian
awalnya lebih tinggi, tapi, malah terjadi penurunan setelah 10-15 kali siklus.
Tim peneliti itu yakin, gabah, yang selama ini dianggap hanya sebagai limbah
pertanian sawah, dan lazimnya hanya digunakan sebagai zat tambahan untuk
pemupukan, dapat menjadi alternatif terbaik dalam pembuatan baterai.
Apalagi, saat ini, teknologi telpon genggam yang kini bertambah maju,
smartphone, seperti menjadi kebutuhan primer saat ini. Semua orang yang sedang
berjalan, takkan terlepas dari barang smartphone-nya. Lambat laun, teknologi
ini juga bertambah tinggi spesifikasinya. Sehingga, mau tidak mau, kebutuhan
akan baterai memang tak bisa dielakkan.
Bahkan, kemajuan teknologi tak hanya dirasakan pada sektor telpon genggam, tapi
juga sektor lain yang menggunakan energi listrik atau sejenisnya, seperti
kendaraan listrik ataupun laptop yang juga sudah kian maju selama ini.
Barang-barang jenis inilah yang tentunya sangat mengandalkan baterai
lithium-ion. Baterai ini memiliki kerapatan energi yang tinggi dibanding jenis
baterai lainnya.
Namun, memang amat disayangkan. Keberadaan baterai lithium-ion itu masih
menggunakan sumber energi yang tidak efektif dan efisien, yaitu elektroda yang
terbuat dari grafit. Sebab itulah, para peneliti asal Korea Selatan itu mencari
alternatif lain.
Alhasil, mereka menemukan bahwa silikon sanggup bertahan pada charge-discharge
10 kali lebih banyak ketimbang grafit. Dalam penelitiannya, elektroda silikon
justru mengalami penurunan struktur material yang lebih cepat dibanding
elektroda grafit.
Kendati demikian, proses pengubahan dari silikon gabah ke silikon murni itu
memerlukan energi yang sangat besar. Lantaran, proses ini memang dilakukan pada
temperatur yang tinggi selama ini. (Dari berbagai sumber)
Comments