Di Balik 20% Anggaran Pendidikan (5-Selesai)


... lanjutan dari Di Balik 20% Anggaran Pendidikan (4)


Manajemen Berbasis Sekolah
Akhir Juni lalu, saya bersama teman menemui seorang guru besar ilmu pendidikan dari UIN Jakarta, di gedung Pascasarjana. Husni Rahim namanya. Dalam kesempatan itu, ia mengatakan mestinya 20 persen anggaran pendidikan untuk  kegiatan pendidikan.

"Jadi anggaran kita yang 20 persen itu adalah pada proses pendidikan untuk meningkatkan kualitas. Sekarang kan yang 20 persen itu ada semuanya, gajinya ada di situ, dan itu cukup besar," tandasnya.

Ia mengakui 20 persen itu sebenarnya sudah memadai. Hanya saja diakui memang belum cukup untuk bersaing dengan Malaysia, India. Terlebih, pengelolaan 20 persen ini, menurutnya kaku. Seperti misalnya, ada uang Rp 20 juta malah dibagikan ke sekolah secara merata. Bahkan, penggunaan uang itu dipaksa sesuai dengan yang diperintahkan pemerintah. Padahal, katanya, kebutuhan tiap sekolah berbeda-beda. 

"Jadi otonominya belum penuh. Kalau mau, 20 persen ini mungkin banyak perubahan yang bisa terjadi. Tapi tadi, otonomi diberikan," ucapnya.

Dana yang ada harus diefisienkan dengan memberikan otonomi kepada sekolah, dan tak perlu ditenderkan. Siapa yang mengawasi? Tentu saja ada pihak dari komite sekolah yang berperan untuk mengawasi penggunaan dana itu. "Efisienkan dulu dana 20 persen. Beri otonomi supaya mereka mengelola, tapi awasi dalam penggunaannya," tegasnya.

Peran pemerintah sebatas memberikan uang. Urusan penggunaannya, pihak sekolah yang mengatur, karena memang merekalah yang lebih mengetahui kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi. Dengan begini, menurutnya pihak sekolah akan lebih kreatif dalam mengembangkan sekolahnya.

"Mungkin gurunya les lagi. Bahan ajarnya ditambah lagi. Supaya peningkatan mutu itu menjadi kewenangan sekolah. Kalau sekarang kan nggak. Mau bawa anak SD ke taman mini (Taman Mini Indonesia Indah), untuk melihat design nggak bisa, karena di sini nggak ada anggarannya. Di sini hanya boleh untuk ini. Itu problemnya. Jadi 20 persen itu efektifkan saja, tapi dengan otonomikan, kan ada MBS (manajemen berbasis sekolah)," ujarnya.

MBS menuntut tiap sekolah untuk merancang kebutuhannya masing-masing. Sekolah akan diberikan otonomi tersendiri dalam pengembangan mutu dan kualitasnya. Dengan adanya otonomi sekolah ini, ia mengakui, memang harus diawasi sehingga uang itu betul-betul terpakai.

"Tapi MBS masih jadi perjuangan berat dari para sekolah. Memperjuangkan MBS itu kerja keras dari para guru. Terutama soal keuangan. Kalau banyak program tapi uangnya nggak bisa dipakai, nggak ada gunanya. MBS ini impor dari luar negeri. Jadi otonomi itu uangnya untuk apa yang dibutuhkan," lanjutnya.

Namun, masalahnya sekarang, dana BOS itu hanya cukup untuk sekolah biasa-biasa saja. Sekolah yang bagus, itu kebanyakan tidak mau menerima BOS. Jika menerima BOS, mereka tak bisa memungut uang dari murid untuk mengembangkan mutu sekolahnya. BOS ternyata masih saja tak bisa meningkatkan kualitas proses belajar di sekolah. Sekolah yang telah membuat tingkatan kemajuan sekolah, pun sebagian belum mendapatkan otonomi.

"Tapi yang di Palembang, pak Alex, sekolah yang boleh naik (menerima otonomi), syaratnya harus menjadi RSBI (Rencana Standar Berstandar Internasional). Resikonya, karena orang Indonesia suka formal, rubah RSBI semua. Jadi bukan pemetaan tadi, yang mana seharusnya sekolah yang boleh naik, yang mana belum. Itu peran pemerintahnya," ujarnya.

Ketika bangsa ini melihat posisi pendidikan harus segera maju, memang gaji pendidik perlu dikeluarkan dari anggaran pendidikan. Tapi, katanya, dengan memberikan otonomi kepada sekolah. "Itu kan perjuangannya DPR. Mereka dan pemerintah yang berdebat tentang anggaran tadi. Tapi kita belum lihat perdebatan pemerintah dan DPR soal anggaran yang kualitatif, karena masih bersifat kuantitatif," lanjutnya.

"Pendidikan itu tidak pernah lepas dari politik. Bukan berarti itu tak baik, tapi prioritasnya yang belum menganggap ini sudah sangat mendesak."

Ditulis kalau tak salah pada 2011

Comments