... lanjutan dari "Di Balik 20% Anggaran Pendidikan (3)"
Setelah 2008
Putusan MK ini berefek pada tahun-tahun berikutnya. Dua tahun
setelahnya, anggaran pendidikan sebanyak 70 persen habis digerogoti untuk
membayar gaji dan tunjangan para guru dan dosen. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhammad Nuh ketika itu juga mengakui, pemerintah tidak memiliki
kemampuan untuk memperbaiki sekolah yang rusak. Karena, anggarannya hanya
tersisa 15 persen, setelah dipotong untuk dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan Beasiswa.
Kata Bambang, tadinya pemerintah berharap pada SPP perguruan
tinggi, yang termasuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tapi
ternyata juga tidak mampu menutupi kekurangan itu, karena jumlahnya hanya Rp 8
trilyun.
Menjelang siang, 24 Juni 2012, rumah putih itu sepi ketika saya
kunjungi. Rumah itu milik guru besar ilmu pendidikan dari Universitas Negeri
Jakarta. Sudjiarto namanya. Saat berada di ruang tamu rumahnya, ia mengatakan
kepada saya, pemerintah selama ini belum memenuhi amanat uu dasar 1945. Katanya
lagi, 20 persen itu sebenarnya untuk melaksanakan amanat pasal 31 ayat 2 dalam
uu dasar 1945: "Setiap Warga negara berhak mendapat pendidikan dasar, dan
pemerintah wajib membiayainya".
"Jadi bukan BOS, bukan bantuan, ini biaya harusnya. Tapi
tidak satu pun peraturan pemerintah yang menetapkan pemerintah membiayai, bukan
membantu," pungkas mantan ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI)
ini.
Ia mengutip data dari Bappenas pada 2004 silam, katanya, untuk pendidikan dasar saja, berdasarkan data itu harusnya dialokasikan Rp 58 trilyun. “Supaya betul-betul wajib belajar. Sekarang Kemendiknas hanya mengelola 50 sekian trilyun untuk semua sekolah. Dari TK sampai perguruan tinggi.” ucapnya.
Dalam APBN 2011 lalu, bangsa ini hanya menyumbangkan sekitar Rp 22,4 trilyun untuk pendidikan dasar. Sedangkan pendidikan menengah mendapat kucuran sebesar Rp 9,7 trilyun, dan Rp 39,9 trilyun untuk pendidikan tinggi. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Sudjiarto, Rp 58 trilyun hanya untuk pendidikan dasar.
Kemudian, di tahun 2012 ini, pendidikan dasar dalam APBN 2012 mendapat sumbangan dana sebesar Rp 27,4 trilyun, dan Rp 6,6 trilyun untuk pendidikan menengah yang jelas kucurannya berkurang. Sedangkan dana untuk pendidikan tinggi juga berkurang, karena hanya Rp 32,5 trilyun yang diberikan pemerintah.
Dalam konteks demikian, Indonesia sama sekali tidak menganggap pendidikan sebagai mesin pembangunan bangsa. Lagi pula, uang masuk dari pajak pun rendah. Alhasil, anggaran untuk pendidikan, sedikit, alias tidak ada.
"Malaysia itu, pajaknya sampai 26 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Indonesia itu nggak sampai 15 persen. Kenyataannya pemerintah memang tidak memperhatikan. Terpikir atau tidak? Ingin bersaing atau tidak dengan negara seperti Malaysia atau Singapura, Jerman, Korsel (Korea Selatan), Amerika Serikat," lanjutnya.
Sudjiarto juga menyinggung soal Rencana Undang-undang Perguruan Tinggi, yang menurutnya, itu memiliki tendensi pemerintah tidak berkomitmen untuk membiayai perguruan tinggi. Katanya, itu hanya membantu, dan bukan membiayai, seperti dalam uu dasar 1945 pasal 31.
"Tidak ada negara di dunia yang menekankan pendidikan dalam undang-undang
dasar, kecuali Indonesia. Pemerintah harus mengacu pada undang-undang dasar.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan, masak tidak membiayai,"
ungkap Sudjiarto kepada saya.
Anggaran pendidikan bangsa ini memang diakui banyak pihak belum bisa memenuhi
kebutuhannya. Pengamat pendidikan dan penulis buku Pendidikan Rusak-rusakan
Darmaningtyas pun mengakui begitu. Keputusan MK yang memasukkan gaji guru dan dosen
ke dalam anggaran pendidikan, itu menyebabkan kebutuhan pendidikan Indonesia
sulit terpenuhi.
"Tunjangan profesional itu tiap tahun makin meningkat, maka anggaran pendidikan itu lebih banyak terserap untuk gaji guru dan dosen. Sehingga meskipun dinaikkan berapa trilyun, itu tidak akan memberikan peningkatan untuk biaya operasional pendidikan secara signifikan, karena akan diserap oleh guru dan dosen," ucapnya ketika diwawancarai di rumahnya, di kawasan Kalibata.
Darmaningtyas mengungkapkan, seumpama ada 2,7 juta guru yang tersertifikasi,
maka butuh dana sebesar Rp 98 trilyun. Kalau sudah begitu, meski anggaran
pendidikan dinaikkan, bahkan sampai Rp 50 trilyun, tetap saja tidak akan mampu
meningkatkan jumlah anggaran untuk operasional pendidikan. “Dia (anggaran
pendidikan) hanya akan menutup kekurangan untuk gaji guru dan tunjangan
profesionalnya,” katanya lagi.
Menurut pria asal Yogyakarta ini, pemerintah mesti berkompromi, meninjau
kembali persentase 20 persen anggaran pendidikan. Dalam peninjauan persentase
itu, gaji pendidik termasuk tunjangannya tak boleh berada dalam anggaran
pendidikan. “Kalau misalnya kebijakan itu bisa diterapkan lagi, itu mungkin
baru bisa menaikkan anggaran pendidikan,” kata Darmaningtyas.
Bersambung
ke "Di Balik 20% Anggaran Pendidikan (5)"
Comments