... lanjutan dari "Di Balik 20% Anggaran Pendidikan (2)"
Seorang sumber yang juga hadir dalam sidang di MK itu, mengatakan kecurigaannya terhadap dua guru itu. "Kok ada guru bisa membiayai transport makasar-jakarta pulang-pergi. Dan membayar pengacara yang mahal, yang sekarang jadi pengacara nazarudin, Elza syarief," ujarnya kepada saya.
Lama mengobrol dengannya, ia berkata kepada saya, tentang kecurigaannya terhadap Jusuf Kalla, wakil presiden kala 2008 itu. Untuk urusan pendidikan, yang paling mengootorisasi adalah wapres. Sebelum 2009, sebagai tahun di mana anggaran pendidikan mencapai 20 persen, dibentuk “sistem pemoloran dan penggagalan” 20 persen untuk pendidikan.
Pada bagian penjelasan pasal 49 ayat 1, itu tertulis, "Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap". Melalui kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, pentahapan ini berlangsung selama 5 tahun.
Tahun 2004 sebesar 6,6 persen, 2005 sebesar 9,3 persen, 2006 sebesar 12,0 persen, 2007 sebesar 14,7 persen, 2008 sebesar 17,4 persen, dan, pada 2009 akan sebesar 20,1 persen. Berarti, baru pada 2009 pemerintah bisa memenuhi amanat konstitusi, tanpa embel-embel gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Nyatanya, pada 2006 banyak daerah yang mengklaim wilayahnya telah mengalokasikan anggaran pendidikan mencapai 20 persen. Heri Akmadi, wakil ketua komisi pendidikan, dalam sebuah berita di majalah Tempo edisi 27 Maret-2 April 2006 lalu, mengatakan, setelah ditelisik, anggaran itu bercampur dengan gaji guru atau pegawai negeri negeri sipil yang dititipkan dari pusat melalui Dana Alokasi Umum. Klaim itu tak hanya datang dari pemerintah daerah (pemda), tapi juga dari seorang menteri.
Menteri Pendidikan waktu itu, Bambang Sudibyo, menyatakan dalam persidangan pemerintah, anggaran pendidikan pada 2006 menjadi 19,3, sekitar Rp 125 trilyun. Sama seperti pemda, Bambang juga menggabungkan gaji guru yang sebesar Rp 66 trilyun, dan anggaran pendidikan per departemen sebesar Rp 11 trilyun. Padahal, sebelum putusan MK pada 2008, sudah tentu yang menjadi acuan adalah uu sisdiknas pasal 49 ayat 1.
Omongannya Bambang saat itu mendapat kritikan dari orang DPR komisi pendidikan. Kata Bambang, ia hanya berniat membela DPR karena uu itu produk pemerintah dan DPR. Bambang malah balik mempertanyakan kesungguhan DPR yang awalnya menyepakati anggaran pendidikan menjadi 20 persen, tapi, pada akhirnya 20 persen itu malah dilakukan secara bertahap.
"Saya sakit hati dan merasa ditinggalkan juga oleh DPR," kata Bambang dalam Tempo, 2006 lalu. Dari kondisi ini, pemerintah memang tampak keberatan dalam menanggung anggaran pendidikan.
Puncak penggagalan ini, berujung pada 2 guru asal Makassar yang mengajukan gugatan itu. Sebelum datang tahun 2009, 2 pendidik asal Makassar ini, yang juga menjadi daerah asal Jusuf Kalla, dikirim ke Jakarta. Dua pendidik itu dibantu dari semua jenis pembiayaan, termasuk akomodasi, tarif pengacara, dan lainnya.
Seorang sumber yang juga hadir dalam sidang di MK itu, mengatakan kecurigaannya terhadap dua guru itu. "Kok ada guru bisa membiayai transport makasar-jakarta pulang-pergi. Dan membayar pengacara yang mahal, yang sekarang jadi pengacara nazarudin, Elza syarief," ujarnya kepada saya.
Lama mengobrol dengannya, ia berkata kepada saya, tentang kecurigaannya terhadap Jusuf Kalla, wakil presiden kala 2008 itu. Untuk urusan pendidikan, yang paling mengootorisasi adalah wapres. Sebelum 2009, sebagai tahun di mana anggaran pendidikan mencapai 20 persen, dibentuk “sistem pemoloran dan penggagalan” 20 persen untuk pendidikan.
Pada bagian penjelasan pasal 49 ayat 1, itu tertulis, "Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap". Melalui kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, pentahapan ini berlangsung selama 5 tahun.
Tahun 2004 sebesar 6,6 persen, 2005 sebesar 9,3 persen, 2006 sebesar 12,0 persen, 2007 sebesar 14,7 persen, 2008 sebesar 17,4 persen, dan, pada 2009 akan sebesar 20,1 persen. Berarti, baru pada 2009 pemerintah bisa memenuhi amanat konstitusi, tanpa embel-embel gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.
Nyatanya, pada 2006 banyak daerah yang mengklaim wilayahnya telah mengalokasikan anggaran pendidikan mencapai 20 persen. Heri Akmadi, wakil ketua komisi pendidikan, dalam sebuah berita di majalah Tempo edisi 27 Maret-2 April 2006 lalu, mengatakan, setelah ditelisik, anggaran itu bercampur dengan gaji guru atau pegawai negeri negeri sipil yang dititipkan dari pusat melalui Dana Alokasi Umum. Klaim itu tak hanya datang dari pemerintah daerah (pemda), tapi juga dari seorang menteri.
Menteri Pendidikan waktu itu, Bambang Sudibyo, menyatakan dalam persidangan pemerintah, anggaran pendidikan pada 2006 menjadi 19,3, sekitar Rp 125 trilyun. Sama seperti pemda, Bambang juga menggabungkan gaji guru yang sebesar Rp 66 trilyun, dan anggaran pendidikan per departemen sebesar Rp 11 trilyun. Padahal, sebelum putusan MK pada 2008, sudah tentu yang menjadi acuan adalah uu sisdiknas pasal 49 ayat 1.
Omongannya Bambang saat itu mendapat kritikan dari orang DPR komisi pendidikan. Kata Bambang, ia hanya berniat membela DPR karena uu itu produk pemerintah dan DPR. Bambang malah balik mempertanyakan kesungguhan DPR yang awalnya menyepakati anggaran pendidikan menjadi 20 persen, tapi, pada akhirnya 20 persen itu malah dilakukan secara bertahap.
"Saya sakit hati dan merasa ditinggalkan juga oleh DPR," kata Bambang dalam Tempo, 2006 lalu. Dari kondisi ini, pemerintah memang tampak keberatan dalam menanggung anggaran pendidikan.
Puncak penggagalan ini, berujung pada 2 guru asal Makassar yang mengajukan gugatan itu. Sebelum datang tahun 2009, 2 pendidik asal Makassar ini, yang juga menjadi daerah asal Jusuf Kalla, dikirim ke Jakarta. Dua pendidik itu dibantu dari semua jenis pembiayaan, termasuk akomodasi, tarif pengacara, dan lainnya.
Bersambung ke "Di Balik 20% Anggaran Pendidikan (4)"
Comments