Blok East Natuna,
selalu menjadi incaran bagi perusahaan-perusahaan migas. Tak hanya oleh
Pertamina, tapi juga perusahaan migas internasional. Cadangannya yang besar,
membuat para investor tertarik untuk menggarapnya. Blok yang dulunya bernama
Natuna D-Alpha ini, memiliki cadangan gas sangat besar. Blok ini memiliki cadangan
gas sebesar 46 Trillion Cubic Feet (TCF).
Lapangan gas Natuna
ditemukan pertama kali oleh perusahaan minyak asal Italia, Agip SpA, pada 1973.
Melalui konsep PSC, perusahaan ini menggarap wilayah kerja Blok A Natuna.
Mereka sampai menghabiskan US$ 62 juta untuk pengeboran. Namun, pengelolaan
Natuna oleh Agip tidak berlangsung lama, karena menilai gas ketika itu memang
kurang banyak diminati. Akhirnya perusahaan tersebut mengembalikan Natuna dan
menjual seluruh asetnya kepada Pertamina.
Kemudian, pada
1980, dengan usaha patungan antara Pertamina dan ESSO dari USA, di mana masing-masing
memperoleh saham 50-50 dengan sistem PSC, dibentuklah wilayah kerja Blok Natuna
D-Alpha. Dari situlah, mulai didapatkan data sementara yang kemudian dapat dikembangkan
lagi, yaitu total cadangan gas di Natuna mencapai 222 TCF.
Hanya saja, karena
kandungan CO2-nya cukup tinggi, hingga mencapai 71 persen, maka hanya sekitar 46
TCF yang potensial bisa dimanfaatkan. Kadar CO2 itu sebenarnya dapat diatasi
dengan teknik cryogenic dan menginjeksikannya ke
lapisan aquifer di reserved area, sehingga gas yang lebih bersih dapat
dimanfaatkan.
Secara geografis
sumber gas alam ini terletak di laut Natuna kira-kira 225 km sebelah timur laut
dari Pulau Natuna pada kedalaman laut 145 meter. Letak sumber cadangan gas alam
ini begitu unik yaitu berada dipaling ujung utara Indonesia. Indonesia sebagai pemilik
cadangan gas justru lokasinya berada paling jauh dari sumber cadangan.
Di kawasan ASEAN
terdekat adalah Vietnam, berikutnya Malaysia, Singapura dan Thailand. Pengembangan
East Natuna membutuhkan waktu 6 hingga 10 tahun. Di
sebelah barat Natuna ada Malaysia dan Thailand. Sebelah utaranya ada Vietnam
dan China. Lalu di sebelah timurnya ada Filipina.
Blok East Natuna yang terletak di
perairan Laut Natuna ini sudah berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Di dalam ZEE ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam memanfaatkan
sumber daya yang terdapat di laut dan di bawahnya.
Selain itu, sangat tingginya kadar
CO2 yang terkandung dalam gas East Natuna, yakni mencapai 70 persen, mengharuskan
adanya peralatan dengan teknologi tinggi yang mampu mendaur ulang sekaligus
memanfaatkan buangan CO2 untuk keperluan komersial. Jika diambil dengan metode
konvensional, gas CO2 akan langsung lepas ke atmosfer.
Kandungan gas CO2 di Blok East Natuna
merupakan kumpulan CO2 terbesar di dunia. Jika gas ini terlepas ke udara, emisi
CO2 tahunan Indonesia akan meningkat 50 persen. Dalam 30 tahun, total CO2 dari
ladang ini dapat menaikkan konsentrasi CO2 dunia sebesar 4,3 ppm (part per
million) atau lebih dari satu persen.
Gas CO2 akan bersifat korosif
apabila di dalam gas alam mengandung uap air (H2O) yang dapat mengasamkan CO2
menjadi H2CO3. Tentunya material yang digunakan untuk pemboran dan fasilitas
pengembangan lapangan harus dibuat dari material khusus yang tahan korosi.
Hal lain terkait tantangan teknologi
adalah lokasi East Natuna yang terletak di Laut Natuna. Kalau kita melihat
Batimetri (Peta Kedalaman Laut) Kepulauan Indonesia, Laut Natuna termasuk
perairan laut dangkal dengan kedalalaman kurang dari 500 meter bahkan ada area
laut yang dalamnya tidak sampai 200 meter.
Untuk membangun fasilitas produksi
Lapangan East Natuna diperlukan teknologi rancang bangun lepas pantai yang
canggih dan mampu menahan ektrimisme perubahan cuaca.
Biaya pemboran
dan penyelesaian satu sumur di Lapangan East Natuna bisa mencapai US$ 70 juta.
Sedangkan total biaya yang diperlukan untuk pengembangan East Natuna
diperkirakan sampai US$ 52 miliar.
Wajar saja, jika proyek pengembangan
lapangan East Natuna sangat padat modal, padat teknologi dan padat risiko.
Karena itulah, pemerintah mengharuskan Pertamina untuk menjalin mitra dengan
perusahaan migas lainnya. Terbukti, kini pengelolaan blok East Natuna dilakukan
lewat bentuk konsorsium.
Bahkan, pada pertengahan April lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) mewacanakan pada tahun ini akan meneken kontrak kerja sama (KKS) lagi
untuk pengembangan Blok East Natuna. Beberapa aspek terkait pengembangan blok
tersebut pun telah dibahas oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen
Migas).
Dalam pembahasan
itu, menurut Dirjen Migas Edy Hermantoro, ada beberapa persoalan yang hingga
kini masih mengundang masalah, yakni soal insentif yang masih belum ditentukan.
Bahkan, selain soal insentif, pembagian antara pemerintah dan kontraktor pun
masih dalam pembahasan.
Meski begitu, kata
Edy, hal itu sudah menunjukkan adanya kemajuan. Kata Edy, pengembangan blok
tersebut memerlukan waktu 10 tahun. “Jika kontraknya pada 2014, ya 10 tahun
lagi baru bisa produksi,” ujarnya.
Analis Energy
Security, Dirgo Purbo, menyatakan, jika gas di blok East Natuna sudah
berproduksi, tidak boleh diekspor ke luar negeri. Di matanya, blok tersebut
tidak boleh dirancang untuk memenuhi pasokan gas negara lain. “Penuhi dulu
pasokan gas dalam negeri,” ujar dia.
Blok East Natuna
saat ini dikelola oleh Pertamina bersama dengan mitranya, Exxon Mobil Ltd,
Total E&P, dan PTT EP Thailand. Dan, Blok East Natuna digadang-gadang akan
membantu Blok Masela untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri yang kini tengah
kekurangan. Namun, di sisi lain, banyak pihak yang berpendapat Blok East Natuna
di-setting untuk memenuhi pasokan gas di luar negeri.
Comments