by Umar Mukhtar
Mulanya, Total E&P Indonesie (TEPI) tidak menyangka pihaknya menemukan lapangan gas raksasa Tunu. Karena, yang menjadi perhatian awalnya saat itu, adalah lapangan gas Tambora, yang menjadi cikal-bakal ditemukannya lapangan gas Tunu.
Lapangan Tambora ditemukan pertama kali pada 1974, dan dari situlah, lapangan gas Tunu mulai tampak. Ya, lapangan Tambora merupakan katalis bagi penemuan lapangan raksasa Tunu pada 1977.
Kedua lapangan yang dikelola TEPI ini, memiliki luas 400 km persegi, yang membentang sepanjang 80 km dari utara ke selatan di sepanjang garis pantai Delta Sungai Mahakam. Produksi gabungan keduanya saat ini mencapai sekitar 1.300 mmscfd.
Lapangan gas Tunu mulai berproduksi pada 1990. Hidrokarbon dari lapangan Tunu dikirim ke platform pengumpul dan penguji produksi (Gathering and Testing Satelites/GTS), lalu dikirim ke Central Processing Unit (CPU-1) yang terdiri dari unit separasi gas, unit dehidrasi gas, unit pengolahan air terproduksi (Oily Water Treatment/OWT), pompa kondensat, dan 2 generator turbin gas elektrik. Kapasitas pemrosesan CPU-1 ini sebesar 350 mmscfd.
Pada tahap pengembangan kedua pada 1994, dibangun 2 unit GTS tambahan, pipa pengiriman dan fasilitas pemrosesan kedua (CPU-2). Dengan demikian, akan ada tambahan kapasitas sebesar 900 mmsscfd. Pada 1995, dipasang lagi 2 unit GTS.
Produksi dan perluasan di bagian utara lapangan Tunu dimulai pada akhir 1998, setelah proyek pemasangan 4 GTS yang dihubungkan ke pusat pengolahan baru di bagian utara (Northern Processing Unit/NPU). Tahap ini diselesaikan dengan berdirinya jalur pipa ekspor gas dan kondensat, serta pusat pengukuran baru yang dibangun di dekat Badak yang dikenal dengan nama Tambora-Tunu Receiving Facilities (TRF).
Dikarenakan semakin turunnya tekanan reservoir, fasilitas kompresi didirikan di lapangan tersebut. Tahap pertama meliputi pemasangan Medium Pressure Compression Platform di sebelah CPU-2 (dikenal sebagai Tunu Compression Platform/TCP) dengan kapasitas 900 mmscfd, jaringan pipa Medium Pressure (MP), beberapa jenis manifold, penampung tikusan, dan air cooler surface platform.
Proyek ini mulai beroperasi pada 2000 dan beberapa tahun kemudian dilanjutkan dengan proyek sejenis di Tunu Utara yang disebut Northern Compression Platform (NCP). Bersamaan dengan dibangunnya fasilitas kompresi, kepala sumur GTS tambahan, dipasang. Terlebih, ada perluasan batas lapangan ke arah utara dan selatan.
Untuk mendapatkan perolehan sumur yang maksimal pada tekanan yang lebih rendah, maka dibangunlah proyek Tunu fase 11. Proyek Tunu fase 11 terdiri dari instalasi fasilitas kompresi LP di Tunu Selatan dan Tunu Utara dengan kapasitas maksimal 605 mmscfd untuk Tunu Selatan, dan 445 mmscfd untuk Tunu Utara. Produksi Tunu 11 dimulai pada akhir 2009 dengan modus produksi pada tekanan rendah (LP) dan medium (MP) yang dilakukan secara bersamaan.
Saat itu, Total juga meresmikan sejumlah proyek pengembangan lapangan gas di Kutai, Kalimantan Timur. Langkah ini dilakukan untuk menjaga kestabilan produksi perseroan. Proyek pengembangan lapangan gas yang diresmikan, yakni Tunu tahap 11, 12, dan 13A, Peciko tahap enam dan fasilitas akomodasi lapangan SPU (South Proccessing Unit). Roy W. Wangsaputra, BSP Site Manager Field Total E&P Indonesie, mengatakan pengembangan proyek lapangan gas ini sebagai upaya untuk menjaga kestabilan produksi perseroan.
Apalagi, kondisi produksi gas terus berkurang, terlebih gas memang merupakan komoditas yang tidak terbarukan. Untuk itulah, pihaknya harus melakukan pengembangan demi menjaga target produksi tetap tercapai.
Jika tidak dilakukan pengembangan, target produksi tidak akan tercapai. Ditambah lagi dengan keadaan produksi yang terus menurun dari beberapa sumber gas yang sudah ada. Saat ini, produksi gas terus menurun, yakni sebesar 30 MMscf per minggu.
Sementara itu, Tunu fase 12 terdiri dari konstruksi 3 GTS dan well head platform yang terhubung secara moduler ke fasilitas produksi dan test header. Ketiga GTS siap dibor pada 2009. Pada proyek ini semua proses (termasuk engineering dasar) dilakukan di Indonesia. Selanjutnya, akan dikembangkan proyek Tunu 13 yang merupakan penambahan 2 GTS dengan desain serupa proyek Tunu 12.
Pada November 2013 kemarin, tersiar kabar lapangan gas Tunu berhenti operasi karena ada semburan gas ringan yang terjadi di sana. Semburan gas ringan yang terjadi di Sumur TN-C414, itu berdampak pada penurunan produksi gas dari Lapangan Tunu yang ada di Blok Mahakam.
Kristanto Hartadi, Kepala Departemen Hubungan Media Total, mengatakan perusahaan harus menutup beberapa sumur yang berdekatan dengan Sumur TNC-414. Hal itu dilakukan sebagai langkah keamanan, untuk mencegah munculnya api.
“Saya belum dapat menyampaikan berapa besar penurunannya, tetapi tidak signifikan karena tidak lebih dari 10% dari total produksi harian Lapangan Tunu yang mencapai 800 MMscfd,” ujarnya.
Penurunan produksi gas dari Lapangan Tunu itu tidak berdampak pada total produksi migas dari Blok Mahakam. Sebab, hingga akhir 2013, produksi dari Blok Mahakam telah mencapai 1.700 MMscfd, atau melampaui target yang disepakati dalam rencana kerja dan anggaran tahun ini yang sebesar 1.600 MMscfd.
Semburan gas ringan yang terjadi sejak 8 November 2013 di Delta Mahakam, itu berasal dari reservoir dangkal, dan tidak terindikasi adanya likuid. Gas yang keluar itu bukan gas hidrokarbon, tapi gas metana dan terindikasi dari adanya gelembung-gelembung di permukaan air.
Berdasarkan catatan yang diterima, sumur itu dibor dengan menggunakan rig Raissa. Terlebih, ketika itu, tidak ada korban cedera dan semua pekerja telah dievakuasi ke fasilitas akomodasi terdekat.
Total E&P Indonesie kini tengah mengerahkan semua sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan mitigasi terhadap insiden tersebut. Untuk diketahui, Total E&P Indonésie saat ini memproduksi 800 MMSCFD dari lapangan Tunu, dari keseluruhan produksi sebesar 1700 MMSCFD di PSC Mahakam.
Comments