Negeri orang lain

University of California, Berkeley, USA.

Sudah lama kita dengar soal kemandirian. Apalagi untuk negeri ini, yang diidam-idamkan untuk merasakan kemandirian. Di saat bangsa ini mandiri, berharga diri, bermartabat, kita malah sengsara. Di saat bangsa ini tak lagi mandiri, tergantung dengan negerinya orang lain, kita malah senang, tenang, dan bangga.

Kalau bapak-bapak angkatan 60-90an ditanya, "Lebih enak mana, sekarang atau dulu?" Kebanyakan dari mereka itu menjawab, "Kalau dulu mah enak, nyari kerja gampang, nggak ada yang ribut-ribut, harga-harga juga pada murah." Kata 'dulu' itu jelas merujuk pada orde baru, di mana saat itu memang galak soal pembangunan.

Perekonomian bangsa ini, jika dilihat sekilas terlihat maju. Tapi kalau saja mereka, kaum bapak itu, tahu dengan cara apa orde baru itu berbuat untuk memajukan ekonomi, pastilah mereka juga tidak akan senang. Imbasnya di angkatan saya ini. Kurang sejahtera.

Sejahtera, dalam kaca mata orde lama, cenderung ke arah kemandirian, sangat menjaga harga diri. Di balik itu, rakyat malah 'menghargai' dirinya sendiri, murahan. Negeri yang mandiri, akan sejahtera, katanya. Nyatanya gagal oleh suatu kekuatan politik. Orde baru dimulai.

Dalam orde ini memang lebih menekankan pembangunan, tapi dengan cara yang berlawanan dengan orde lama. Amat tergantung dengan negeri asing, dan hutang pun jadi bejubel. Pembangunan memang banyak, tapi itu bukan untuk Indonesia. Itu untuk Paman Sam. 

Begini mulanya. Suatu ketika, seseorang datang ke Indonesia untuk memantau kekayaan alam kita. John Perkins namanya. Ia sedang mencari hal menarik yang ada di Indonesia? Jelas, tentu ada. Potensi alamnya menjadi barang berharga bagi masa depan dunia. Konsultan ini, mengatakan kepada Paman Sam, "Paman, Indonesia adalah surganya dunia." "Benar begitu?" tanya paman.

Paman yang menjadi pengusaha kelas dunia ini, tak tanggung-tanggung, ia langsung banyak memberikan bantuan yang dibutuhkan bagi Indonesia. Salah satunya beasiswa ke University of California, Berkeley. Banyak pemuda Indonesia kala itu yang dikirim ke sana, pada tahun 1956-65-an. Bukannya pulang malah pintar, mereka ternyata jadi tampak seperti orang bodoh. Pintar, tapi tak manusiawi. Begitulah mereka, Mafia Berkeley.

Mafia itu menyebarkan penyakit menahun ke pelosok negeri ini, hingga menjadi miskin, kering kerontang. Mereka, setelah mendapatkan posisi yang enak di pemerintahan, malah membuat kesepakatan yang merugikan negeri, masyarakat, maupun pengusaha asal pribumi. Perusahaan asing banyak yang masuk ke Indonesia, di antaranya Bechtel dan Hulliburton. Selanjutnya mereka mencoba menguasai harta alami Indonesia.

Paman Sam, memang mulanya baik, tapi pada akhirnya dia menarik kembali kebaikan yang pernah ia kasih. (Zaman begini mana ada yang tulus. Semua pamrih, seperti cinta) Semua jenis bantuan darinya, dianggap hutang yang harus dibayar. 

John pun di sini menunjukkan keahliannya dalam bidang konsultan perusahaan, dan penipuan. Ia sering menggelembungkan jumlah angka yang dipinjam Indonesia, sampai tinggi. Hutang Indonesia, makin gede. Terakhir saya dengar, untuk melunasi hutang itu, satu kepala yang baru lahir sebagai WNI, sudah terbebani hutang Rp 30 juta. Tak tahu kalau sekarang.

Puncaknya, di akhir 1990-an itu. Ketika itu, Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk mengatasi krisis moneter. Hasilnya, malah makin parah. Krisis menjadi berkepanjangan. Sebenarnya, tanpa IMF bantu pun, Indonesia sudah rugi, tapi masih dalam skala kecil. IMF, hanya memperluas skala krisis Indonesia saat itu. Efek ruginya, sampai saat ini.

Kondisi itu membuat manusia pribumi jadi pesuruh di tanahnya sendiri. Pemerintah, meski berperan sebagai penguasa Indonesia, sebenarnya Paman Sam-lah yang menguasai. Indonesia, mau tak mau akan terus menjadi bonekanya jika hutang yang menjadi hantu Indonesia masih bergentayangan. Terutama sejak munculnya Mafia Berkeley.

Bangsa ini terlalu sok-sokan dalam mengikuti lembaga-lembaga dunia, terlebih lembaga itu ada sangkut-pautnya dengan perekonomian negeri, seperti GATT, yang kemudian dilanjutkan dengan WTO, World Trade Organization, pada 1995. 

Cina saja, negeri yang ekonominya bisa dibilang sudah mumpuni untuk masuk ke WTO, masih menahan diri, dan memilih untuk memperkuat domestiknya dahulu. Tapi kita dengan percaya diri terus lanjut saja, masuk ke WTO, dengan dorongan IMF, hingga masa krisis itu dimulai, dan kita, tak bisa berbuat apa-apa.

Kadang, kita berharap negeri ini seperti negeri orang lain, tapi sebenarnya, tak ada negeri yang rela Indonesia berkembang, lalu maju. Yang menjadi acuan bagus-tidaknya suatu negeri, luar negeri. 

Sadar atau tidak, bila film hollywood yang kita tonton menyuguhkan setting bernuansa kota yang rapi, teratur, kemudian, kalimat ini akan muncul, “Coba Indonesia kayak gitu”. Ya tentu bisa. Siapa tau aja, bule-bule Bali itu juga bilang hal yang sama, "Coba negara saya memiliki alam seperti Indonesia ya, pasti saya nggak bakal ke sini nih."

Dari awal merdeka, Indonesia memang sudah dirancang untuk maju, tapi, di perjalanan, bangsa ini diajak menuju ke arah yang lain, yang kita pun sebagai pemilik negeri tak tahu ke mana arah Indonesia saat ini. Kita kaya menurut siapa? Menurut kita? Toh, kemiskinan masih menggumpal. Dan, daerah yang punya kekayaan alam, itu realitanya diisi perusahaan asing.

Semua negeri, menginginkan Indonesia. Terang saja, Richard Nixon, saat jadi presiden Amerika, ketika pidatonya di Bandung, ia sangat mengelu-elukan Indonesia yang kata dia seperti surga. Rasanya ia berhasil memonopoli harta Indonesia. []

Comments

Unknown said…
HAhaa Mantaapp! Real Adventure teruss biarr makin rajinn nulisss!
Unknown said…
Naek gunungg teruss mar, biar ga stop nuliss adventure!
Unknown said…
Naek gunung terus mar, biar ga stop nulis advventure!
Unknown said…
nice post. ijin share ya^^