Layar
elektronik berwarna kini banyak menampilkan manusia yang sedang melantunkan
kemerduan suaranya. Mereka begitu untuk menghibur, dan mencari penghasilan. Siapapun
itu, dewasa, muda-mudi, atau bocah sekalipun bisa cari duit lewat menghibur.
Yang merasa “tak punya tampang” pun bisa jadi penghibur. Urusan menghibur,
siapapun bisa.
Pernah ketika saya dan teman menunggu jemputan pesawat yang ke arah Padang, bertemu Toro Morgen, seorang yang memiliki andil besar dalam sinema laga yang dulu kita kenal dengan Wiro Sableng. “Kamu kenapa nggak jadi artis saja,” kata Toro ketika melihat teman saya yang berambut gondrong. Ia mengatakan kepada kami, sekarang siapapun bisa jadi artis. Kata dia, tampang jadi nomor dua untuk bisa menghibur sekarang ini.
Layaknya suatu hiburan dari pelbagai hiburan, musik sebagai seni menjadi pilihan untuk menghibur hajat orang banyak. Musik, memiliki kekuatan tak pandang bulu, awalnya. Siapapun, dapat memperoleh ketenaran dengan bermusik, kapanpun.
Pernah ketika saya dan teman menunggu jemputan pesawat yang ke arah Padang, bertemu Toro Morgen, seorang yang memiliki andil besar dalam sinema laga yang dulu kita kenal dengan Wiro Sableng. “Kamu kenapa nggak jadi artis saja,” kata Toro ketika melihat teman saya yang berambut gondrong. Ia mengatakan kepada kami, sekarang siapapun bisa jadi artis. Kata dia, tampang jadi nomor dua untuk bisa menghibur sekarang ini.
Layaknya suatu hiburan dari pelbagai hiburan, musik sebagai seni menjadi pilihan untuk menghibur hajat orang banyak. Musik, memiliki kekuatan tak pandang bulu, awalnya. Siapapun, dapat memperoleh ketenaran dengan bermusik, kapanpun.
Hanya
saja, sekarang berbeda. Siapa mentenarkan? Ketenaran sarat akan keberadaan kaum
pebisnis.
Siapa
yang ditenarkan? Manusia berwajah yang bisa dibilang pas-pasan, jadi
tersingkir, dan menjadi bahan cemoohan saja, meski memang sebagian ada yang
menyukainya.
Musik
menjadi ajang menyingkirkan, dan mengangkat manusia. Yang muncul, bukan malah
eksistensi si pelaku musik, tapi pelaku di balik musik itu. Karena ia yang
memiliki ide, yang memaksa, yang mengintervensi, semua disokongnya. Orang yang
bermusik sekarang, bisa terperangkap oleh nireksistensi.
Ketika
hitam di atas putih telah jelas, maka paksaan pun bergentayangan. Musik menjadi
ajang mengeksploitasi kemampuan, pikiran, dan eksistensi itu sendiri. Bagi
sebagian orang, eksistensi dianggap sebagai pengakuan dari masyarakat. Memang dirinya
ada, dan berfungsi. Tapi ia menjadi diri tanpa esensi.
Eksistensi
bukan hanya soal ada atau tidak ada, tapi juga soal esensi yang dibawanya,
untuk disebarkan ke tanah yang tak subur.
Wajar saja
ketika melihat keadaan seseorang yang ingin menekuni dunia musik, kemudian ia membuat
lagu, menyanyi, sebagai ekspresi dari pikirannya. Musik, sebagai karya seni,
memiliki hal yang amat privasi. Kemurnian pikiran, tanpa dorongan apapun,
kecuali imajinasi. Seni sebagai buah pikiran manusia berawal dari ekspresi
semata.
Bermusik
dalam konteks sekarang?
Mereka
sedang terlempar dalam jurang eksistensi semu. Sebuah keadaan menghibur dan
dihibur, yang hanya membawa daya emosi, tanpa esensi. Penampilan menjadi murah,
ketika diberikan kepada mereka yang berdarah rupiah. Arti fashion, trend, mode,
atau apapun yang sejenis, pada akhirnya dimaknai sebagai penghancuran
kreativitas Tuhan dalam mencipta. Makna baik dan buruk menjadi buram. Begitu
juga dalam musik. Musik yang beresensi, dan musik yang penuh dengan
eksploitasi, terlihat buram di mata kita. Yang ada, hanyalah warna-warna yang
telah berhasil mencolokkan mata kita.
Ujung-ujungnya, mereka yang bermusik dalam waktu kekinian, menatapnya dengan tatapan biasa, karena sudah terbiasa dengan yang dibiasakan. Mereka, mau tak mau menyesuaikan konteks zaman, sebuah era yang mengharuskan semua lini untuk dibayar, disewa, dikontrak. Seorang musisi bisa saja menjadi pengusaha kecil-kecilan dengan karya seninya, karena karyanya itu secara tak langsung telah menjadi barang dagangan, dan manusia menjadi barang sewaan.
Seni dipandang sebagai emas, yang bisa menghasilkan mobil, rumah, bahkan para wanita. Pencipta, pemain, dan penguasa seni, mereka hidup dalam gelamor, dan pamor. Mereka bukan orang kumel, melarat, dan asing. Yang kumel, melarat, dan asing inilah yang terpinggirkan, dan dipandang sebagai orang “tak laku jual”. Mereka merasakan kekumelan dirinya sendiri atas realitas. Kemurnian seni hanya jadi guyonan.
Ujung-ujungnya, mereka yang bermusik dalam waktu kekinian, menatapnya dengan tatapan biasa, karena sudah terbiasa dengan yang dibiasakan. Mereka, mau tak mau menyesuaikan konteks zaman, sebuah era yang mengharuskan semua lini untuk dibayar, disewa, dikontrak. Seorang musisi bisa saja menjadi pengusaha kecil-kecilan dengan karya seninya, karena karyanya itu secara tak langsung telah menjadi barang dagangan, dan manusia menjadi barang sewaan.
Seni dipandang sebagai emas, yang bisa menghasilkan mobil, rumah, bahkan para wanita. Pencipta, pemain, dan penguasa seni, mereka hidup dalam gelamor, dan pamor. Mereka bukan orang kumel, melarat, dan asing. Yang kumel, melarat, dan asing inilah yang terpinggirkan, dan dipandang sebagai orang “tak laku jual”. Mereka merasakan kekumelan dirinya sendiri atas realitas. Kemurnian seni hanya jadi guyonan.
Dalam
diri manusia, kini terkandung patokan harga sebagai nilai, yang dibayar dengan
nilai buatan manusia sendiri. Manusia bisa disewa kapanpun, dalam hal apapun.
Kehormatan, kemampuan, penampilan, semua bisa dijadikan rupiah. Hasil dari
paksaan pun menjadi duit. Ada yang dipaksa joget, ada yang dipaksa ganteng
maupun cantik. Katanya, semua tergantung iman.
Keberadaan
manusia untuk bermusik secara murni tinggal kenangan. Tubuhnya berkeliaran ke
mana-mana, dipajang di layar-layar, berjoget di panggung mana pun, menyebarkan
sabda lagu umatnya. Tubuhnya, hanya sebagai nilai semata, tanpa kemurnian ekspresi,
sedangkan jiwanya, mati tergerus zaman.
Agaknya
kita lagi di dunia yang menganggap materi sebagai kesejatian, materialisme. Sikap
ini tampak berkeliaran di mana-mana. Argumen Aristoteles kepada gurunya Plato
tentang materi yang dianggapnya sebagai hal yang sejati, terus terbawa arus
hingga mengalami perkembangan. Apalagi ketika Descartes menguatkan pemikiran
itu, materi terpisah dari pikiran. Sepertinya itu terbetik dan terpendam dalam
orang-orang sekarang. Musik pun terkena rayuannya, hingga akhirnya seni itu
memiliki sifat materialisme.
Mungkin
karena konteks yang terjadi saat inilah, kaum perenialis menjauhi bentuk apapun
yang menjurus ke arah materialisme. Mereka tahu, sebenarnya yang perlu diincar
adalah ketenangan, dan kedalaman spiritual, bukan pengagungan materi yang
kemudian menjadi hiburan komersial. Pengagungan kepada materi bisa melupakan
nilai estetika yang terdapat dalam diri alam bumi, lalu melupakan keberadaan
Tuhan sebagai tempat bersimpuh bagi diri-diri yang berjiwa spiritual.
Dalam
ritual adat, di mana spiritualisme menjadi tonggak kehidupan, musik biasa
dipakai. Juga dalam hari raya. Dan ini menunjukkan derajatnya yang begitu
tinggi. Betapa mahalnya musik itu. Bahkan, dalam agama Islam, musik dulu hanya boleh
dimainkan dalam hari raya, dan hanya alat musik tertentu yang boleh dimainkan.
Tak jarang ada yang melarang orang untuk bermain alat musik ketika itu.
Kini, musik dapat dinikmati siapapun, dimainkan siapapun, dan berharga murah saat banyak yang mengerubunginya. Manusia menganggap dunia sebagai tanah yang kosong jika tanpa musik. Sebagian orang tahu bahwa musik kini menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Ketika mereka tahu, musik menjadi barang jual, dan barang sewaan.
Seni yang hakiki adalah yang menghargai diri dan realitas. Yang dihormati adalah diri, bukan eksistensi semu dan materi itu sendiri. Yang perlu digali adalah kedalaman nilai spiritual, dan kemurnian ekspresi, dalam mencari makna musik. []
Kini, musik dapat dinikmati siapapun, dimainkan siapapun, dan berharga murah saat banyak yang mengerubunginya. Manusia menganggap dunia sebagai tanah yang kosong jika tanpa musik. Sebagian orang tahu bahwa musik kini menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Ketika mereka tahu, musik menjadi barang jual, dan barang sewaan.
Seni yang hakiki adalah yang menghargai diri dan realitas. Yang dihormati adalah diri, bukan eksistensi semu dan materi itu sendiri. Yang perlu digali adalah kedalaman nilai spiritual, dan kemurnian ekspresi, dalam mencari makna musik. []
Comments