Mereka bilang itu adalah atap Jawa Barat. Tertinggi se-Jawa Barat
dan jarang orang yang mau mendakinya. Penuh kemistikan, dan tak ada mata air di
sana. Kemiringan jalur pedakian mencapai 80 derajat. Merasakan syahdu
dan kemerduan nyanyian alam di sana, memang menyejukan hati.
Berangkat dari Ciputat, malam sekitar jam 10-an kami menuju
Terminal Lebak Bulus. Dari sana kami naik bus ke arah Desa Linggar Jati,
Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa barat. Ketika memasuki pintu masuk
bus, para penumpang agak terheran-heran dengan perangai dan bawaan kami.
Memang
tak salah, dari kami ada yang berambut gondrong, kribo, dan ada pula yang
sedang ribet menyusun keril (tas gunung) di bangku belakang bus. Yang kami ketahui, bus ini akan melewati
Linggar Jati.
Dalam perjalanan, Polem, salah satu rombongan pendaki Ceremai,
ngobrol dengan penumpang yang duduk di sebelahnya. Dalam obrolannya, lelaki
berambut gondrong ini mempertanyakan kembali arah bus ini. Wajah angkernya
Polem hilang seketika saat mengetahui bus ini tak menuju Linggar Jati.
Ternyata, kata penumpang itu, jika mau turun di Linggar Jati, mestinya naik bus
yang sama dari Terminal Pulo Gadung. Ya sudah, apa mau dikata, nasi sudah
menjadi bubur. Perjalanan pun dilanjutkan dengan diiringi musik klasik dari
dalam bus, meski salah tempat naik bus.
Tak terasa, bus ini sudah sepi penumpang, dan waktu menunjukkan
jam 2-an malam. Lama-kelamaan, tinggal kami penumpangnya. Selang kemudian,
dengan suara ala kenek, dia menyuruh kami berkemas-kemas, karena sebentar lagi
akan sampai di tempat yang direkomendasikannya.
Kami masih dalam keadaan
santai, selonjoran di kursi paling belakang. “Bang, udah sampe, turun di sini
aja ya, tar naik angkot yang warna putih,” katanya lagi sambil memegang besi
pegangan yang tertempel erat di langit-langit bus. Mendengar itu, kami turun
dari bus saat menjelang subuh.
Ternyata, ada yang aneh dengan jumlah rombongan. Semestinya ada
tujuh orang, tapi yang kelihatan cuma ada 5 orang. “Eh, si Acuy sama Afan
mana?” tanyaku kepada Tiar, yang juga menjadi peserta dalam pendakian. Lalu
Tiar malah nanya balik ke Polem. “Biarin, udah gua bilangin buat siap-siap,
malah tidur lagi,” ujar Polem, yang aktif di Kelompok Pecinta Alam Arkadia UIN Jakarta itu.
Tiba-tiba, muncul 2 sosok bayangan dari jauh, yang berjalan ke
arah kami. Ternyata itu Acuy dan Afan. Acuy, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, yang ikut dalam pendakian ini, terlelap dalam tidurnya sehingga tidak
mengetahui kami akan diturunkan. Satu lagi, Afan, Sekretaris LPM INSTITUT,
malah tidur lagi setelah diberitahu Polem untuk bersiap-siap turun.
Dari tempat itu, kami langsung menyarter angkot, sampai Desa
Linggar Jati. Jalan raya sangat sepi, dan dingin semakin mencekam ketika angin
berhembus kencang melewati pintu angkot. Di pagi buta itu, dua anak sekolah
berseragam abu-abu, naik ke angkot ini. Amat rajin mereka, pagi-pagi sudah
berangkat sekolah.
Tiba juga kami di Linggar Jati. Untuk sampai di pintu masuk Gunung
Ceremai, kami berjalan menuju Desa Linggasana. Dari kejauhan, kami melihat
kubah mungil yang menjulang ke langit. Subuh telah lewat sedikit, kami pun
istirahat dan salat di Musala itu. Ketika itu, keluar seorang bapak. “Mau nanjak,
Dik?” tanya bapak itu.
Bapak yang berperangai seperti ulama ini mendoakan kami agar
selamat. “Bapak doakan supaya selamat, sampai turun lagi. Kalau sudah nggak
kuat, nggak usah dipaksain, balik saja ke bawah lagi,” ucap bapak itu.
Tak
lama, kami berangkat lagi, menuju pintu masuk Gunung Ceremai. Di sekitar jalan,
banyak berdiri rumah warga. Dari sekian rumah, ada bangunan yang tampak lusuh,
temboknya kotor, dan jendelanya penuh debu.
Belum sampai pintu masuk pun, nafas sudah ngos-ngosan. Akhirnya,
sampai juga di pintu masuk gunung Ceremai. Ada tiang penanda pintu masuk gunung
bertuliskan “Selamat datang di gunung Ceremai”. Tak lengkap kalau naik gunung
tanpa ada sesi potret. Kami langsung berfoto-foto, dengan latar tiang penanda
pintu masuk tersebut.
Gunung ini memiliki tiga jalur untuk menggapai puncak: Jalur
Paluntungan, Linggarjati, dan Majalengka, atau biasa disebut jalur Apuy. Jalur
yang paling sulit, Linggarjati. Tapi, kami memilih jalur ini, karena ingin
merasakan The Real Adventure, dan cepat sampai ke puncak. Memang, ketimbang dua jalur
lainnya, jalur Linggarjati memiliki jarak yang cukup dekat dengan puncak.
Dengan
meng-gemblok keril yang begitu berat, dan penghematan air yang intens, membuat kami cepat lelah,
dan sering berhenti untuk istirahat. Kami bertumpu pada akar-akar yang besar
karena permukaan tanahnya miring hingga 80 derajat, dan licin. Kadang saya
terpeleset karena tanah yang licin, dan tersandung akar-akar pohon yang besar. The Real Adventure inilah yang membuat kami tidak cepat sampai di puncak.
Memperoleh
air di gunung ini sangat sulit. Mata air hanya terletak di kaki gunung. Jika
kita mendakinya lebih jauh, tak akan ditemukan mata air lagi. Karena masih
berada di kaki gunung, mata air cukup banyak, dan kami sangat memanfaatkannya.
Ketika terdengar suara air yang jatuh ke tanah, kami langsung buru-buru
meneguknya, dan mengisi penuh botol-botol plastik. Baru jalan sebentar saja,
kami sudah berhenti untuk minum.
Di
tempat mata air terakhir, kami harus siap untuk membawa beban lebih berat.
Sekitar 8 derijen berukuran 5 liter harus diisi penuh, dan memenuhi keril yang
dibawa. Air inilah yang juga mesti digunakan untuk waktu beberapa hari saat
berada di dalam gunung hingga turun kembali. Demi menghemat persediaan air,
saya bahkan meminum kubangan air bekas hujan di tanah.
Kami beristirahat di pinggir jurang, sambil menikmati
pemandangan kota yang dinaungi kabut-kabut yang bergerak lamban. Sekitar 15
menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan, melewati persawahan, dan menembus
rumput ilalang tinggi yang menutupi jalan di pinggir rawa-rawa. Terus berjalan,
hingga terlihat sebuah bangunan rumah terbuka di tengah hutan itu. Banyak
coret-coretan di tiang maupun dindingnya.
Kawah di puncak Gunung Ceremai |
Langit mulai
menghitam, kami memutuskan untuk bermalam di Condong Amis. Malam itu,
kunang-kunang berkeliaran bersama cahayanya, menghiasi kesunyian kami yang
sedang main poker dan mendengarkan lagu Iwan Fals, "Sarjana Muda".
Api unggun mulai redup, lalu kami putuskan melelapkan diri dalam mimpi.
Esoknya kami memulai perjalanan kembali, menuju puncak Ceremai. Kami mengalami
kesulitan saat menaiki trek yang mungkin tingkat kemiringannya hampir 90
derajat. Terlebih, permukaan tanahnya licin, dan untungnya, akar-akar pohon
masih bersedia digenggam erat tangan kami.
Kala itu, saya sudah
tak kuat mengangkut keril. Saya bertukar bawaan dengan Sultani, pendaki
dari Universitas Pamulang. Sultani bawa keril yang berat itu, saya bawa tas deppek.
Yang bawaannya terbilang ringan, Ery, yang baru pertama kali mendaki gunung,
dan Tiar, yang pernah menaklukkan puncak Kenteng Songo Gunung Merbabu di Jawa Tengah.
Ketika kabut semakin
mengaburkan pandangan, tiba-tiba hujan turun. Dengan segera di antara kami ada
yang mengeluarkan jas hujan model ponco, dan polybag sebagai pengganti jas
hujan. Sedangkan si Polem tidak menambah atributnya, hanya ikatan kepala
berwarna oranye yang baru dipasang olehnya. Kami bergegas dan berlari mencari
tempat landai.
Akhirnya ditemukan
sebuah landai yang cukup luas untuk berkemah di situ. Ada papan kecil yang
ditempelkan pada salah satu pohon di sekitar area itu, bertuliskan
“Batulingga”. Saya jadi teringat perkataan bapak yang berada di pos bawah.
Katanya, jika sampai di Batulingga, nanti ada semacam 2 batu yang saling
berhadapan. Batu itu, ujar si bapak, jangan diinjak, dilangkahi, ataupun
dikotori.
Hujan mulai reda, lalu
kami mendirikan tenda, dan di sekitar tenda itu kami buat pengairan agar air
tidak masuk ke dalam tenda. Lagi-lagi, kami harus bermalam di gunung ini. Cuaca
tak mendukung perjalanan kami.
Tapi, yang sebenarnya
menentukan berlanjut atau tidaknya perjalanan kami ke puncak, adalah kekuatan
fisik kami. Saya katakan kepada Polem, kalau naik ke puncak dengan keril,
mendingan tak usah sampai puncak. “Gila, nggak kuat gua, jalurnya parah
banget,” kata saya kepada Polem.
Karena itu, esok paginya
kami menuju puncak tanpa membawa caril, dan meninggalkan tenda di Pos
Batulingga itu. Yang kami bawa hanya tas depek berisi botol air, kompor,
snak-snak kecil, dan agar-agaran, untuk berpesta di puncak sana. Tapi, meski
mendaki tanpa caril, lelah juga. Kelelahan itu mulai sirna ketika di sebelah
kiri kami terlihat hamparan daratan luas dengan naungan awan-awan kecil di
atasnya yang bergerak lamban.
Tak lama, kami berjalan lagi, melewati Pos Pangasinan. Trek-nya kini hanya tanah merah yang miring menuju puncak, di tengahnya terdapat belahan yang cukup dalam. Ada ranting-ranting yang menutupi jalan, saya sedikit kesulitan melangkahinya, hingga akhirnya, kami semua sampai di puncak tertinggi Jawa Barat.
Tak lama, kami berjalan lagi, melewati Pos Pangasinan. Trek-nya kini hanya tanah merah yang miring menuju puncak, di tengahnya terdapat belahan yang cukup dalam. Ada ranting-ranting yang menutupi jalan, saya sedikit kesulitan melangkahinya, hingga akhirnya, kami semua sampai di puncak tertinggi Jawa Barat.
Di puncak itu, ada kawah di bagian tengahnya, airnya warna hijau. Konon, airnya bisa berganti warna, dan yang paling indah ketika airnya berwarna hijau. Kami berfoto-foto ria, memasak puding, main kartu, ngopi, ngerokok, sambil ditemani hamparan daratan, dan tampak lautan Pantura.
Mitos di Ceremai
Gunung Ceremai
terkenal dengan mitos dan keangkerannya. Ada yang mengatakan bila hendak naik
ke puncak gunung ini tak boleh menengok ke belakang. Tapi untung saja, saya tak
mengalami keanehan ketika sering menengok ke belakang.
Di dalam gunung ini,
ada pos bernama Pangalap. Pos ini sebagai tanda pendakian telah sampai
setengahnya ke puncak. Pangalap, berarti jemputan. Di pos itu, kata warga
setempat, tiap pendaki akan ditemani Jalak Hitam dan Tawon Hitam, hingga
Tanjakan Seruni. Saya memang merasa ada tawon yang selalu menyertai kami. Tapi,
saya pikir tawon itu mengikuti kami karena rambut saya yang mirip sarangnya,
kribo.
Di tempat kami nge-camp
pun, Pos Batulingga, ada mitosnya. Masyarakat sekitar gunung Ceremai percaya,
setelah Sunan Gunung Jati tak lagi bertapa di Batulingga, ada yang mendatangi
tempat ini, Nyi Linggi namanya.
Ditemani dua binatang kesayangannya, macan
kumbang, Nyi Linggi bermaksud mendapatkan ilmu kedigdayaan. Sayangnya gagal. Ia
meninggal dunia di Batulingga, dan dua binatangnya tak jelas ke mana. Kejadian
aneh pun sering terjadi di tempat ini. Sosok Nyi Linggi dan dua macan kumbang
itu sering menampakkan dirinya. Untung saja, tak terjadi apa-apa saat kami di
pos itu.
Sebelum sampai puncak,
kita akan melewati Pos Pangasinan, yang memiliki arti asin. Bagi
masyarakat Linggarjati, siapa saja yang ingin mencapai puncaknya dengan cepat,
dan selamat sampai di rumah, harus membawa ikan asin. Meski begitu, dari kami
tidak ada yang membawa ikan asin, yang kami bawa malah agar-agar nutrijelly untuk
dilahap di puncak Ceremai.
Comments