Bencong

Lampu-lampu jalanan seperti titik-titik yang sedang tulus memijarkan malam manusia, dari atas. Titik itu mengelilingi para manusia yang sedang melakukan kegiatan di pinggir perempatan jalan. Di sana lampu bulat merah kuning hijau sedang menyala bergantian. Dari atas jembatan layang ini, gerumulan manusia mirip semut, yang pintar, dan yang mengetahui arah hidup.

Sebagian mereka sedang berjualan, dan sebagian lagi, para pengendara, sedang menanti lampu hijau. Sedangkan di jembatan layang ini, kendaraan melaju kencang tanpa henti. Lalu di pinggirnya ada sederet manusia dengan tunggangannya, yang asik memandang lampu malam dari pinggir jalan layang ini. Jalan layang ini bagaikan arena balap, yang lengkap dengan pembalap, dan para pendukungnya.

Rupanya tak hanya itu, arena balap itu juga bertengger pedagang asongan yang siap menjamu para penonton itu. Jalan layang itu menjadi perkumpulan manusia kelas bawah, yang tidak memiliki kocek untuk nongkrong di tempat kaum berdasi. Untuk bertahan hidup, tempat apapun jadi, asalkan ada modal. Bahkan modal nekat untuk melawan kodrat pun jadi.

Kala itu, seorang bencong berjalan melenggak-lenggok, menyapa manusia yang sedang santai bergumul dengan sesamanya di jalan layang ini. Katanya bencong ini dilarang agama. Karena melawan kodrat. Begitu hebatnya kodrat, hingga mampu melarang manusia untuk berusaha mempertahankan hidup. Kodrat bukanlah kekuasaan, ataupun sistem yang bisa mencegah manusia berbuat seharusnya.

Beberapa di antara kita, selain bencong, tak mengerti keadaan yang dialami si bencong, hingga ia bsia sampai menjadi bencong. Betapapun, manusia yang menjadi bencong punya modal untuk hidup, meski itu tak dimengerti oleh kita. Modalnya, berani. Ia berani memberontak terhadap dirinya.

Untuk menghiasi pemberontakannya, ia memakai baju ala khas wanita. Kita mungkin jijik melihatnya. Justru rasa ini jijik inilah yang semakin menyemangati bencong, untuk bertahan hidup. Anak-anak kecil menghinanya, dan dewasa acuh dengannya. Bencong, malah gencar mengumbar otot-ototnya. Pagi, siang, malam, ia keliling mencari dermawan. Yang datang, malah hermawan yang selalu mencerca. Itu sudah tak asing bagi bencong. Cercaan, hanya menjadi air liur, yang mudah dibuang. Tapi di situ batin bermain, dan menjadi tekanan bagi si bencong. Yang lebih parah, tekanan dari keluarga.

Kalau hanya orang lain, toh itu sudah biasa. Bagaimana dengan keluarga? Itu yang susah untuk dibuang, dan berujung menjadi gumpalan batu. Bencong, manusia pekerja keras, pemberontak, penista agama, penerima cerca, dan pembuang hina. Itu profesinya, yang tak kita hormati. Bencong tak ada yang cantik. Kalau cantik, bukan bencong namanya.

Katuy, istilah bencong di Thailand, hanya menjadi usaha menurunkan derajat bencong. Bencong bukanlah hal yang patut difestivalkan. Daya tariknya, justru terletak pada dua kelamin yang bersatu, alias tak jelas. jika sudah difestivalkan, dan para bencong berusaha dandan secantik-cantiknya, seperti di Thailand, itu tak unik lagi. Memang itu menjadi sebuah penghargaan bagi si bencong. Itu, malah bukan menjadi perlawanan atas kodrat, tapi menjadi penukaran kodrat.

Ada saja sebagian dari kita yang memerlukan hadirnya sosok bencong. Rasa tak suka kita kepada bencong, secara tak sadar hanya untuk menunjukkan gengsi di depannya. Di balik itu, bencong ada karena sebagian kita juga perlu bencong. Kelas-kelas manusia seperti inilah yang tidak kita sadari. Tak seluruhnya manusia normal. Ada saja yang tak normal. Dan, mereka yang perlu bencong, mungkin dapat dianggap abnormal.

Pelarangan bukan solusi memberantas abnormalitas itu. Abnormalitas, pasti ada. Kita selayaknya menghormatinya. Menjadi seorang bencong, adalah sebuah pilihan, dan sistem mana pun tak layak mereduksi abnormalitas. Pemberdayaan terhadap dua insan, pembutuh bencong dan bencong, justru menjadi perhiasan di alam. Perlawanan kodrat yang dilakukan bencong adalah upaya terakhir untuk menanggung beban hidup, yang orang lain tak terpikirkan, malah tak berani. Kalau tak berani, tak perlu menghina.

Hakekatnya, pilihan seorang bencong, bukan atas dirinya, melainkan keadaan. Manusia hanya segumpal darah yang penuh dengan keinginan. Namun, jika dibenturkan dengan realita, dia pasrah dan harus mengakui. Anda bertanya tentang orang yang bukan bencong, dan orang yang sudah terbilang sukses?

Keadaan mereka saat ini, dirangsang oleh keinginan, tekad. Tekad itulah yang membuat alam juga mendukung tekad kuat mereka, sehingga menjadikan mereka dihormati manusia sekitar. Lalu, saat keinginan tercapai, pencercaan terhadap kaum lemah dan tak bertekad, apakah menjadi etis? Kita mesti menyadari, kenapa mereka lemah, dan tak bertekad?

Bencong bukanlah hal yang negatif bagi realita, tapi realita-lah yang menegatifkan bencong. Realita, dengan semaunya menarik suatu makna dari tindakan bencong, lalu mengatakan, “dih, menjijikan..” Kemudian, makna itu menjadi stigma: Bencong adalah jijik. Meski demikian, itu hanya terjadi dalam konsep mayoritas. Bagi kaum minoritas, mereka menghargai arti bencong, dan memperlakukannya dengan manusiawi.

Semua adalah ciptaan Tuhan, Tuhan tahu apa yang kita tak tahu, dan Dia juga yang telah mengubah makna dunia. Lalu ketahuilah, realita itulah yang membeda-bedakan. Ingin tidak dibeda-bedakan? maka bertekadlah. Maka alam sebagai ciptaan Tuhan akan merangsangnya, menjadi sebuah hasil. apapun itu. Dan Bencong, bisa menjadi "Presiden" di dunia dan akhirat.

Comments