Penerjemahan memang patut dilakukan oleh setiap Negara. Demi meluaskan wawasan dan mencerdaskan masyarakat, perlu dilakukan kegiatan memindahkan pesan dari Bahasa Sumber (Bsu) ke Bahasa Sasaran (Bsa). Kegiatan ini disebut dengan penerjemahan.
Namun sebagian
manusia seringkali menganggap bahwa menerjemahkan itu hal yang mudah.
Akibatnya, timbul stigma bahwa wajar bila seseorang yang mampu menguasai Bsu
dan Bsa, maka boleh menawarkan jasa penerjemahan kepada masyarakat. Semua orang
pun berhak berbuat begitu jika hanya mengandalkan penguasaan Bsu dan Bsa.
Stigma tersebut hanya
didasarkan pada egoisme semata, dan mengesampingkan unsur kepentingan yang
harus ada dalam diri seorang penerjemah. Tentu pemahaman seperti itu sangat
berkaitan dengan kepentingan pribadinya sendiri dan mengabaikan pihak pembaca.
Pembaca akan dipusingkan karena amburadulnya
terjemahan yang ia hasilkan. Terbukti sekarang ini dengan banyaknya jasa
pembuatan terjemahan yang semakin ramai. Dengan mudah mereka menawarkan jasa
tersebut tanpa kita tahu kualitas penerjemahnya.
Dalam hal ini banyak
hal yang harus diperhatikan dalam menerjemah. Bahkan, salah satu kode etik
Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) menjelaskan mengenai penerjemah yang tidak
dibenarkan menerima pekerjaan penerjemahan yang tidak sesuai dengan
kemampuannya. Tidak etis bila seorang penerjemah yang ahli dalam bidang sastra
menerima dan menerjemahkan teks bidang kedokteran. Penerjemah seperti itu
terlalu mencari “keuntungan”, memaksakan diri, dan memudahkan pekerjaan itu,
padahal akibatnya bisa fatal bila ditemukan kesalahan.
Justru peraturan
tersebut memudahkan seorang penerjemah dalam menerjemahkan. Karena ia
diharuskan untuk fokus sesuai kemampuannya. Jika ada yang mudah, tapi besar
dampaknya, maka tak perlu mengerjakan yang sulit. Karenanya, dibutuhkan
wawasan yang luas dalam diri penerjemah dan arah bidang disiplin ilmu yang
menjadi gelutannya.
Wawasan yang luas, dalam arti penerjemah harus lebih
mengetahui segala aspek yang ada dalam teks sumber (Tsu). Dalam teks sumber,
penerjemah akan menemukan aspek budaya yang tidak ada dalam Bsa. Jelas bahwa
dengan adanya bahasa yang berbeda itu sudah menunjukkan adanya perbedaan
budaya. Dari itu, penerjemah akan kesulitan, dan harus mencari padanan yang pas
dalam Bsa demi tercapainya makna yang mudah dipahami oleh pembaca.
Dalam teks itu juga
terdapat istilah-istilah baru sebagai indikator jenis teks sumber. Apakah teks
sumber itu tentang kedokteran, politik, ekonomi atau yang lainnya? Ini pun
menunjukkan bahwa penerjemah tidak hanya membutuhkan kamus Bsu dan Bsa, tapi
juga kamus lain seperti kamus istilah.
Penerjemah
juga harus memperhatikan ciri khas kebahasaan pada diri pengarangnya. Tiap
pengarang memiliki gaya bahasa sendiri. Inilah tantangan yang harus diselesaikan
penerjemah. Ia harus berusaha mempertahankan gaya bahasa asli teks itu. Gaya
bahasa pengarang memiliki unsur emotif tersendiri, terutama dalam teks sastra.
Lalu semampu mungkin penerjemah menimbulkan kembali kesan emotif itu
agar para pembaca menikmati karya pengarang itu dengan utuh.
Itu dibuktikan
oleh A. W. Schlegel, Count Von Boudissin, Dorothea Tieck dan Ludwig Tieck dalam Sastera Bandingan karya
Newton dan Horst. Mereka telah mampu menerjemahkan dan menerbitkan tujuh belas
drama Shakespeare 1797-1810 ke dalam bahasa Jerman. Karya terjemahan mereka
yang sering disebut versi Schlegel-Tieck ini mendapat pujian kala itu, karena
mampu mempertahankan gaya bahasa Shakespeare melalui bahasa-bahasa puitis yang
bernilai rasa tinggi.
Penguasaan Bsu pun belum
cukup, karena penerjemah masih harus memindahkan pesan itu ke dalam bahasa
sasaran. Menjadi percuma jika penerjemah lebih menitikberatkan pada Bsu, dan
mengesampingkan struktur Bsa. Karena seringkali seorang penerjemah memakai
bahasa lisan dan kurang memerhatikan bahasa tulis ketika menerjemah.
Padahal, penerjemah
juga dituntut untuk memilah diksi yang pantas dan menggunakan struktur kalimat
yang efektif agar pembaca pun “enak” membaca terjemahan itu. Karenanya, perlu
diketahui lebih dalam mengenai tata bahasa dalam Bsa saat menerjemah.
Comments