Carut-marut
soal pendidikan dalam bangsa ini makin dipandang sebagai hal yang biasa.
Bayaran sekolah yang mahal, lalu keterlambatan Bantuan Dana Operasional (BOS)
tidak ada penanggulangannya. Dilihat dari konsep dan kondisi lapangan tampak
berbeda. Berdasarkan Undang-undang Dasar 45 pasal 31 ayat 4, bahwa anggaran
pendidikan yang ditujukan untuk penyelenggaraan pendidikan, itu dialokasikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Kata
‘penyelenggaraan ‘ mengacu pada makna proses demi terciptanya pendidikan.
Proses berarti memiliki unsur tindakan awal, tindakan saat melakukan, dan
tindakan akhir demi suatu tujuan. Dengan kata lain, segala aspek demi
terselenggaranya pendidikan masuk ke dalam angka 20 persen tersebut. Karena
itu, baik gaji guru dan dosen serta biaya pendidikan kedinasan termasuk di
dalamnya.
Namun,
mungkin kita masih ingat tentang rancangan sistem pendidikan pada 2003 lalu.
Ya, Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah dikeluarkan. Di dalamnya
diterangkan lebih detail bagaimana sistem pendidikan mesti berjalan. Salah
satunya, yang sering menjadi pusat perhatian hingga kini mengenai tidak
termasuknya gaji guru dan dosen ke dalam anggaran pendidikan 20 persen.
Anggaran
pendidikan yang mulanya termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan,
itu diubah. Undang-undang tentang Sisdiknas pasal 49 ayat 1, berisi yang pada
intinya anggaran pendidikan itu tidak termasuk gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan.
Realitanya,
pada 2006 banyak daerah yang memasukkan gaji pendidik ke dalam anggaran
pendidikan. Tentu ini melanggar konstitusi. Dalam masalah ini, mereka para
Pemda terkesan awam soal gaji pendidik. Karena UUD 45
mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasikan anggaran
pendidikan minimal 20 persen, maka ditengarai ada beberapa pihak yang berupaya dengan segala cara supaya anggaran pendidikan di daerahnya dapat
melampaui persentase itu mendekati 20 persen. Alhasil, mereka bertindak tidak
sesuai dengan UU Sisdiknas 2003.
Jika
melihat kondisi tersebut, angka 20 persen hanyalah menjadi alibi sekaligus
faktor yang bisa mencitrakan telah melaksanakan amanat konstitusi. Kemudian,
karena pola pikir yang seperti ini, sejumlah Pemda berlomba-lomba mencapai
angka 20 persen dengan cara memasukkan gaji guru dan dosen serta dana kedinasan
ke dalam anggaran pendidikan.
Sosialisasi
dalam bentuk apapun, jika itu hanya menjadi formalitas, maka konsep sebagus
apapun akan menjadi usang. Di sinilah letak ketidaksinkronan antara konsep dan
implementasi. Penyebaran informasi tidak menjadi aspek yang menentukan
keberhasilan suatu konsep karena ssi lain manusia yang cenderung menutupi
kekurangannya dengan “lumpur” yang sulit dibersihkan.
Konsep
dan aplikasi tidak relevan karena banyak orang yang berani “mandi lumpur”.
Ketidakrelevanan ini menimbulkan inkonsistensi dalam kubu pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pemerintah pusat, dalam hal ini, tidak melaksanakan
komitmennya untuk membangun pendidikan yang berkualitas. Sebuah komitmen akan
tampak dari kejauhan bila disertai manusia yang memaknai konsep tersebut dengan
baik sehingga memicu munculnya implementasi yang selama ini diidam-idamkan
masyarakat.
Namun,
masalah ketidaksinkronan antara Sisdiknas tahun 2003 dengan implementasinya,
ini mendorong upaya legalisasi dari pihak pemerintah. Pada tahun 2008, Mahkamah
Konstitusi yang saat itu dipimpin Jimmly As-Siddiq, memutuskan bahwa gaji
pendidik dimasukkan dalam anggaran pendidikan. Tapi, biaya pendidikan kedinasan
tidak termasuk di dalamnya. Keputusan ini dilakukan setelah melihat kondisi
pasar yang semakin memperlihatkan kebuntuannya.
Dari
hal-hal di atas, memang dapat disimpulkan, jika sistemnya sudah kacau-balau
seperti ini, berarti pemerintah tidak memiliki konsistensi untuk memajukan
pendidikan di Indonesia karena seringnya merubah pelbagai detail aturan
pendidikan. Dimulai dari UUD 1945 sebagai acuan dasar, kemudian mengalami
perubahan pada tahun 2003. Lalu berubah kembali seperti UU 1945 pada 2008
setelah putusan MK. Hanya saja, biaya pendidikan kedinasan dipisah dari
anggaran pendidikan.
Kebingungan
Inkonsistensi
ini disebabkan karena adanya faktor kebingungan dalam wajah pemerintah selama
ini. Kebingungan memilih prioritas, guru atau sekolah? Bila gaji guru dipisah
dari anggaran pendidikan, pendapatan guru pun mungkin menjadi kecil.
Kesejahteraan guru tidak tercapai. Dan, pemerintah disebut-sebut tidak
memikirkan nasib guru. Akhirnya, pemerintah pun disalahkan.
Sebaliknya, bila gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan, sekolah dan
anak-anak kita mungkin akan semakin terlantar. Pembangunan sekolah terlantar,
dan sekolah yang rusak pun tidak segera dibenahi. Kecerdasan anak-anak negeri
ini terkikis, dan pada akhirnya para pemuda bangsa ini akan dilanda kebodohan.
Selain itu, dana pendidikan yang harus ditanggung masyarakat juga akan
melambung tinggi. Meski begitu, pemerintah tidak berani mengambil jalan tengah
yang dapat menguntungkan kedua belah pihak (sektor pendidikan dan guru).
Berani
dan Berkaca
Jalan
tengah tidak kerap dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berani mengambil
risiko dari implikasi jalan tengah tersebut. Anggaran pendidikan yang harus
“menyunat“ anggaran urusan lain, atau anggaran urusan lain yang “menyunat“
anggaran pendidikan? Melihat UUD 1945 pasal 31, pendidikan begitu dianggap
pentingnya demi mendongkrak kesejahteraan bersama.
Karena
itu, tak ada alasan lagi dari pemerintah untuk menunda-nunda kemajuan dunia
pendidikan bangsa ini. Antara sektor pendidikan dan gaji guru tidak boleh ada
deskriminasi. Pembagian antara keduanya dituntut untuk balance dan harus
memenuhi prinsip keadilan. Penyunatan anggaran pendidikan mesti dicegah karena
pada hakekatnya 20 % itu adalah batas minimal.
Jika
kita merujuk kepada negara-negara yang sedang lepas landas untuk mengejar
ketertinggalannya, seperti India, maka mungkin kita akan sedikit meninggikan negara
tersebut. Betapa tidak, sektor pendidikan dan aspek lain yang mendukung
kualitas pendidikannya, disubsidi oleh Pemerintah India.
Harga
buku di sana, paling mahal jika dirupiahkan berharga Rp 10 ribu. Terkait soal
tersebut, pemerintah India telah mensubsidi harga kertas untuk produksi
buku-buku agar harga buku di sana menjadi murah. Dan masyarakat, lebih
khususnya mahasiswa dapat meraih harga buku itu. Bayangkan jika melihat kondisi
riil di negara ini. Buku masih menjadi sesuatu yang tampak istimewa karena
harganya begitu tinggi sehingga sulit dicapai oleh mahasiswa di negara ini
secara merata.
Selain
itu, biaya pendidikan untuk S-2 di India, hingga mencapai gelar master, hanya
membutuhkan dana USD 600, atau senilai Rp 6 juta. Nilai ini pun karena mahasiswa
itu dianggap orang asing. Untuk mahasiswa India sendiri, biaya S-2 mereka dalam
satu tahun senilai Rp 40 ribu. Tentu kita semua berpikir ini jauh lebih murah
jika dibandingkan dengan harga pendidikan S-2 yang sama di Indonesia, yang bisa
mencapai Rp 50 juta hanya dalam satu semester.
Selain
itu, untuk berlangganan 3 majalah, orang India tidak perlu merogoh kocek
dalam-dalam, karena biayanya hanya 110 rupee, atau sekitar Rp 22 ribu. Para
pelajar di India pun diberikan kartu abonemen yang harganya sekitar Rp 10 ribu.
Kartu itu, selain digunakan para pelajar, juga digunakan para pegawai negeri
sipil, tentara, manula, dan orang cacat. Kartu abonemen itu dapat menggratiskan
biaya naik bus pemerintah selama empat bulan, dan bebas ke mana saja.
Jadi,
sudah seharusnya anggaran pendidikan itu di atas 20 persen, agar dalam
pelaksanaannya tidak ada yang dipinggirkan, seperti yang telah terjadi pada
2010, di mana anggaran pendidikan habis “dilahap“ gaji guru dan dosen.
Ditulis kalau tak salah pada 2011 akhir. Anachaar
Comments