Banyak permasalahan yang harus diperhatikan untuk memperpanjang
kelangsungan hidup manusia di bumi. Emisi gas rumah kaca terus meningkat,
lahan-lahan tandus merebak tanpa adanya vegetasi, kawasan hutan dan efek perubahan iklim global yang makin
hari kian sulit diprediksi.
Selain
hal tersebut, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu kunci untuk dapat
mencegah bencana di beberapa daerah. Pembenahan dan perlindungan DAS ini pun
mesti dilakukan secara terpadu, mengingat kondisinya kini makin tampak kritis
memprihatinkan.
Direktorat
Jenderal (Dirjen) Bina Pengelola (BP) DAS dan Perhutanan Sosial (PS) Kementerian
Kehutanan (Kemenhut) Harry Santoso menganggap bahwa memang DAS ini sangat rumit
karena berkaitan dengan batas wilayah masing-masing, yang tentunya tiap daerah
memiliki otonomi sendiri.
Tapi,
menurutnya, DAS di Indonesia lebih mudah dikoordinasikan karena hanya soal
administratif antardaerah yang terlibat, dibanding DAS di luar negeri yang
harus berkoordinasi dengan negara lain. Malah, katanya, satu DAS ada yang
dimiliki beberapa negara.
Untuk
itu, Harry beserta jajarannya juga telah melakukan koordinasi terkait
pengelolaan rencana DAS agar target yang menjadi prioritas pada 2010-2014
terpenuhi, seperti 118 DAS yang diharapkan banyak pihak dapat diselesaikan
dengan baik. Akhir 2011 lalu, Harry telah menyusun rencana pengelolaan 36 DAS
yang dianggap kritis.
Menurutnya,
pemerintah daerah juga harus menyepakati rencana tersebut. Untuk pengelolaan
dan rehabilitasi hutan, memang Pemda yang mengurusnya, tapi, lanjutnya, harus
berbasis pengelolaan DAS. Misalnya, Jakarta yang telah memiliki Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), masih sering terjadi banjir. Itu menurutnya,
disebabkan RTRWP tersebut tidak mengikuti DAS sebagai sistem alam. Pengelolaan
DAS di sana juga dapat dikatakan belum maksimal.
Karena
itu, dalam pandangannya, seharusnya rencana peraturan daerah (perda) terkait
pengelolaan DAS mesti diusahakan. Ia pun mengakui, masalah sekarang saat ini
karena adanya ego dari tiap sektor. Dengan kondisi DAS di negara ini yang sudah
semakin parah, semestinya Pemda sudah dapat mengerti apa yang akan
dilakukannya.
Bayangkan,
ketika hujan turun, airnya tidak bisa terserap oleh tanah dikarenakan banyaknya
punggung bukit dan gunung yang gundul. Kalau saja pengelolaan DAS ini tertata
dengan baik, lahan-lahan yang tadinya kritis pun akan dapat ditanami pohon
kembali, dan banjir pun akan mudah teratasi.
Memang
banyak pihak mengatakan bahwa pengelolaan DAS bersangkutan dengan aspek yang
lain. Untuk menghasilkan kelola yang baik, beberapa aspek seperti sosial,
ekonomi, biofisik, budaya, serta kelembagaan mesti diselesaikan terlebih
dahulu.
Sebagai
input dalam pengelolaan DAS, Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) harus segera
dilaksanakan. Harry merasa bahwa sumber daya alam di Indonesia tampak semakin
menunjukkan degradasinya, dan amat mengkhawatirkan.
Fluktuasi
debit maksimum dan minimum semakin menonjol. Selain itu, frekuensi terjadinya
banjir di tiap daerah meningkat tajam, dan tingkat terjadinya bencana longsor
cukup tinggi. “Kalau sering terjadi longsor, maka ketinggian tanah akan
merosot, tanahnya jadi dangkal, kesuburan tananya juga akan berkurang,”
ucapnya.
Untuk
mengatasinya, pihaknya mengupayakan RHL agar terus digalakkan. Tujuan RHL untuk
mewujudkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi lintas sektoral
dalam mengelola sumber daya hutan. Selain itu, ia juga mengatakan, melalui RHL
ini, maka diharapkan dapat mewujudkan kondisi hidrologi atau tata air DAS yang
optimal, dan adanya jaminan atas pemanfaatan hutan, tanah, dan air secara
berkesinambungan, yang tentunya disesuaikan dengan daya dukung dari kondisi
masing-masing daerah.
Dalam
pelaksanaannya, upaya rehabilitasi dimulai dari dalam dan luar kawasan hutan,
melalui pola vegetatif dan sipil teknis. Untuk rehabilitasi di dalam hutan,
reboisasi menjadi pilihan yang diterapkan, terkecuali hutan yang telah menjadi
cagar alam dan taman nasional. Untuk rehabilitasi di luar hutan, Harry
menjelaskan, pihaknya membangun hutan rakyat demi terciptanya lingkungan yang
hijau. Kemudian, dengan pola sipil teknis, ia melaksanakan pembangunan dam
pengendali, dam penahan, sumur resapan, gully plug, teras siring, dan lainnya.
Hasil
pelaksanaan RHL pada 2008 lalu, mencapai 2.009.881 hektar. Capaian ini tersebar
ke DAS yang menjadi prioritas. Pada 2010-nya, ada kegiatan baru lainnya yang
juga mendukung kelancaran rehabilitasi, seperti kegiatan menanam pohon melalui
gerakan perempuan tanam dan pelihara pohon, gerakan penanaman serentak, serta
kegiatan lainnya seperti One Billion Indonesia Trees for The World (OBIT).
Seperti yang
diungkapkan Harry pada november 2011 lalu, melalui OBIT, Kementerian Kehutanan
berusaha mendongkrak ekonomi masyarakat dengan pembangunan Kebun Bibit Rakyat
(KBR). Ia menuturkan, pada 2 tahun lalu, 8.000 unit KBR telah dibentuk. Tahun
ini, Kemenhut merasa optimis dalam pembentukan 10.000 unit KBR di 23 propinsi.
Anggarannya pun tak tanggung-tanggung, mencapai Rp 600 milyar. Tiap KBR
dibentuk dengan dana Rp 60 juta, yang dapat memproduksi bibit hingga 50.000
batang.
Dengan terlaksananya
KBR dan RHL, emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer oleh kegiatan industri,
akan terpengaruh hingga pada akhirnya mengalami penurunan. Paling tidak,
menurut Harry, dua kegiatan tersebut dapat membantu menurunkan emisi sebesar 26
persen pada 2020 kelak.
Hingga 2030, total
luas kawasan yang perlu direhabilitasi mencapai 11,55 juta hektar. Karenanya,
Kemenhut tiap tahunnya harus melakukan rehabilitasi minimal 580.000 hektar. Asumsinya,
setiap 1 hektar ditanami 1.650 batang, dari jumlah tersebut, maka jumlah pohon
yang akan tertanam sampai dengan tahun 2030 mencapai 19,06 miliar batang.
Namun, berdasarkan
data yang diperoleh Profile, pada 2011 lalu target penanaman dalam
kegiatan RHL Hutan Konservasi atau lindung, dan Hutan Mangrove tidak tercapai.
Pasalnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak ada dana
yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan tersebut. Selain itu, meski anggaran
telah disiapkan, tapi belum dilaksanakan, sehingga BP DAS harus melakukan
fasilitasi secara aktif seperti konsiyasi penyusunan Rencana Pengelolaan (RP) RHL
dan Rencana Tahunan (RT) RHL.
Dalam tahap perbaikan
atau penilaian oleh BP DAS pun bermasalah karena relatif lamban. Terlebih, Sumber
Daya Manusia (SDM) di kabupaten atau kota juga kurang memadai, sehingga memang
perlu diadakan pelatihan.
RHL Tahun 2012
Pihak BP DASPS pada
tahun ini memiliki target-target tertentu terkait RHL. Mereka menargetkan RHL
pada DAS prioritas seluas 500.000 hektar. Luas hektar tersebut terbagi kembali
menjadi 3 bagian: Rehabilitasi kawasan hutan konservasi atau lindung mencapai
seluas 100.000 hektar; rehabilitasi lahan atau penanaman hasil KBR 2011, seluas
399.000 hektar, 10.000 hektarnya adalah rehabilitasi mangrove atau hutan
pantai; lalu yang terakhir adalah pembuatan hutan kota yang seluas 1.000
hektar.
Dalam penetapan lokasi
sasaran rehabilitasi hutan konservasi atau lindung, ada beberapa BP DAS yang
belum memiliki kepastian. Seperti BP DAS Krueng Aceh yang belum dipastikan luas
1.600 hektarnya, karena kesulitan mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan
sasaran rehabilitasi. Sehingga luas tersebut dialihkan ke hutan Lindung di
kabupaten Pidie dan kabupaten Aceh Besar. Selanjutnya, BP DAS Citarum Ciliwung
pun mengalami kekurangan lahan sampai 227 hektar. Rencananya, kekurangan ini
akan dipenuhi dari KBR di Hutan Lindung.
DAS Prioritas seluas
399.000 hektar yang dijadikan lokasi sasaran rehabilitasi akan ditanam bibit
KBR. Terkait rehabilitasi hutan kota seluas 1000 hektar, sudah tersedia sasaran
lokasi yang dapat dijadikan sebagai tempat kegiatan RHL. Proses pencarian
lokasinya, agar lebih mudah, tidak harus berupa hamparan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) P.71/Menhut-II/2009, bentuk hutan kota terdiri
atas jalur, mengelompok, dan menyebar.
Penyelenggaraan
kegiatan bidang RHL pada tahun ini juga mengharuskan Direktorat Bina RHL agar
penyusunan rancangan kegiatan dilaksanakan secara swakelola. Penetapan sasaran
lokasinya juga harus didasarkan RTk-RHL DAS atau RTk Mangrove, atau RP-RHL, dan
berbasis spatial, serta PPK kegiatan dapat di BP DASPS.
Selain itu, untuk RHL
kawasan hutan konservasi atau lindung, kebijakan Dirjen BP DASPS, harus
diimplementasikan minimal seluas 60.000 hektar di dalam kawasan konservasi,
dari target total 100.000 hektar. Sasaran lokasi berikutnya yang harus
diperhatikan adalah Hutan Lindung. Proses pelaksanaannya, mengharuskan adanya
kerja sama dengan pihak TNI, dan minimal 60.000 hektar. Sasaran lokasinya pun
tidak diperbolehkan berada di zona inti TN.
Terkait rehabilitasi
Mangrove atau hutan pantai, sasaran lokasinya berada di dalam dan luar kawasan.
Bibitnya pun dialokasikan dari KBR. Sementara itu, untuk pembuatan hutan kota,
sasaran lokasinya harus sudah mendapat persetujuan bupati atau walikota
setempat. Sasaran lokasinya pun berada di luar kawasan, dan rancangan teknisnya
dibuat secara fleksibel.
Dalam upaya
melancarkan kegiatan RHL tahun 2012, pihak BP DASPS dan jajarannya juga mengalami
beberapa kendala, seperti lamanya proses penerbitan Surat Keputusan (SK) Hutan
Kota. Hambatan lain juga terjadi pada rehabilitasi hutan mangrove atau pantai,
karena tidak ada ketersediaan anggaran untuk penanaman rehabilitasi hutan
mangrove pada DIPA BA. 29 tahun 2012. Selain tidak tersedianya anggaran, KBR
tanaman mangrove tahun 2011 juga kurang tersedia.
Kendati begitu, peta
solusi telah dirancang. Beberapa di antaranya melalui surat penunjukkan areal
hutan kota oleh bupati atau walikota setempat, merevisi anggaran untuk biaya
tanam mangrove, dan menggunakan kelompok atau LSM peduli lingkungan untuk
penanaman mangrove.
Terkait reklamasi
hutan, pelaksanaannya telah mengalami progres. Direktorat Bina RHL telah
melaksanakan pemantauan dan pembinaan teknis reklamasi hutan ke 60 perusahaan
pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Luas IPPKH tersebut ialah
312.700,42 hektar, luas areal yang dibuka adalah 64.244,33 hektar, dan luas
areal yang direklamasi adalah 27.719,84 hektar.
Dari data yang didapat,
perusahaan pemegang IPPKH yang telah dinilai keberhasilan reklamasinya adalah
PT. Newmont Minahasa Raya di Propinsi Sulawesi Utara. Perusahaan ini dinyatakan
berhasil dan pengembalian IPPKH-nya dapat diterima.
Reklamasi hutan
selanjutnya direncanakan akan ada peningkatan pengawasan dan penilaian
keberhasilan reklamasi hutan. Selain itu, juga ada akan ditingkatkan pemantauan
dan pembinaan teknis reklamasi hutan kepada pemegang IPPKH, sebanyak 376
perusahaan. Kemudian, akan dilaksanakan penanaman oleh pemegang IPPKH dalam
rangka rehabilitasi DAS.
Direktorat Bina RHL
juga telah menyiapkan calon lokasi indikatif penanaman dalam rangka
rehabilitasi DAS pada 23 BP DAS, 320 pemegang IPPKH, dengan total luas calon
lokasi indikatif seluas 838.000,26 hektar, yang terbagi ke beberapa lokasi
hutan. Seperti hutan lindung yang seluas 594.927,16 hektar, hutan konservasi
seluas 39.269,65 hektar, hutan produksi seluas 5.496,19 hektar, APL fungsi
lindung seluas 34.373,43 hektar, dan kawasan budidaya seluas 13.957,21 hektar.
Meski demikian, harus dilakukan ground check sebelum penetapan lokasi penanaman
oleh Dirjen BP DAS PS.
Umar Mukhtar
Comments