Saat kebisingan pada malam minggu di Pelabuhan Sunda Kelapa (26/12) yang dipijari oleh lampu-lampu jalan, segerombolan pengguna sepeda Ontel berkeliling kala itu. Satu orang mengendarai, dan satu orang lagi diboncengi.
Ternyata setelah kutanyakan kepada temanku, itulah ojek sepeda yang sedang berkeliaran. Supriatna tukang ojek sepeda kawasan Sunda Kelapa dan sekitarnya sedang termenung menanti kedatangan penumpang.
Dia memiliki seorang istri yang dikaruniai tiga anak. Kehidupannya bagaikan kelelawar yang mencari makan di malam hari, dan menjadikan siang waktu tidur lelap sepanjang matahari menyinari setengah isi bumi. Kelaurganya itulah yang selalu menjadi motivasi bagi dirinya untuk selalu mengenjot sepeda tuanya.
Wajahnya tampak begitu kasihan. Saat orang lain sedang berfoya-foya pada malam itu, tapi dia terus berjuang mencari nafkah keluarganya. “Enakkan juga ngojek malam-malam, soalnya kalo siang macet,” jawabnya saat ditanyakan tentang kenapa ngojek malam hari.
Lanjutnya ngojek di malam atau di siang hari sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian. Kalau siang macet dan polusi, tapi banyak penumpang, malam hari enggak ada macet dan polusi, tapi penumpang agak dikit.
Tapi Supriatna lebih memilih menghindari macet dan polusi walau dapat penghasilan sedikit. “Saya sih enggak apa-apa dapat duit dikit, yang penting bisa nolong orang saat waktu yang jarang ada orangnya (malam),” paparnya.
Supriatna sering tidak dibayar saat sehabis mengantar penumpang ke tempat tujuannya. Katanya, “saya juga ngerti keadaan orang pas lagi enggak punya duit, jadi suka diutangin sama penumpang sendiri, wong dah kenal juga kok”.
Supriatna memiliki rasa pengertian dan hati nurani yang begitu dalam. Bapak berumur lebih dari kepala tiga ini sering membiarkan penumpangnya membayar ongkos ala kadarnya tanpa mengutang. Bahkan sesaat sebelum aku mendatanginya, lagi-lagi dia diutangi. Dia pun tak penah merasa takut dibegal. “Siapa yang mau begal saya, lha wong saya enggak punya apa-apa,” katanya.
Walau begitu dia masih bisa menafkahi keluarganya dengan sepeda yang dulu dibeli dari temannya itu. Terkadang dia hanya memperoleh 2 ribu semalaman. “Kalau begitu keluarga bapak makannya gimana?” tanyaku sambil terkejut. “Kalau sudah begitu saya harus ngutang,” jawabnya sembari menatap tajam mataku.
Supriatna memiliki banyak hutang di sana-sini karena memang penghasilannya yang sangat tidak menentu. Ongkos pun dibayar sesuai jarak yang ditempuh saat memboncengi penumpangnya. Dia lebih sering dibayar sedikit, karena memang hanya mengantar ke daerah situ-situ saja.
Tapi dia pernah dibayar 20 ribu saat mengantarkan penumpangnya dari Pelabuhan sampai Mangga Dua. “Sekalinya untung, untung banget, sekalinya rugi, rugi banget,” jelasnya dengan logat khas Jawanya.
“Pak, kalau orang Belanda liat sepeda ini juga bakal dibayarin sesuai yang bapak minta,” becandaku untuk melihat senyum Supriatna. “Hahaha... kamu ada-ada saja, ya enggak gitu lah.”
Tapi walau sudah malam, pelabuhan Sunda Kelapa ini memang masih banyak orang yang belum memejamkan matanya serta masih membutuhkan jasa ojek sepeda seperti Supriatna.
Lanjutnya menjelaskan ketidakinginannya untuk kredit motor. Bapak yang suka baca koran ini merasa takut menggunakan motor malam-malam di daerah ini karena banyak pembegalan terhadap para pengguna motor.
Selain itu dia juga sudah banyak memiliki hutang, “masa mau ditambahin kredit motor, bensinnya juga harus beli mulu, wah, kalo pake motor bakal banyak banget pengeluarannya,” ungkapnya dengan berposisi duduk bagaikan di warteg.
Ditulis kalau tak salah pada akhir 2009,
saat baru-barunya belajar nulis feature. Harap maklum.
saat baru-barunya belajar nulis feature. Harap maklum.
Comments