“Ayo beli mas, enak nich mas.” Seru Bu Ilah (50) pedagang
otak-otak ikan saat menawarkan daganganya ke para penglalu-lalang di Pasar
Muara Angke. Dengan suara khas ibu-ibu yang agak cempreng, dia
menyerukan, “mari mampir dulu mas.”
Di malam yang diterangi lampu-lampu jalan dan kedai yang
temaram, penglalu-lalang terus mengabaikan tanpa sedikit toleh saat melewati Kedai
Surapraja miliknya. Kedainya berada di atas trotoar jalan yang berkondisi
sangat becek dikarenakan para pedagang ikan yang lain.
“Dagang ini mah untungnya dikit mas,” keluhnya sembari
menyapu keringat di keningnya. Dia berjualan dari jam 8 pagi sampai jam 12
malam, kadang hanya memeproleh utung bersih 50 ribu. Itu pun dikarenakan
diatidak sendirian, tapi masih banyak sekitar belasan kedai otak-otak ikan yang
menjadi saingannya.
Dia pun berterus terang, “dagang beginian emang harus bawel,
kalau saya diam nanti pembelinya keburu direbut kedai lain.” Lanjutnya
capek-capek datang ke sini becek-becek, basah-basahan, eh malah enggak
laku.
Seperti perkataan khas dari Cinta Laura, “udah ujan, becek, enggak ada
ojek pula.” Dia tak mau gampang menyerah begitu saja oleh yang para pedagang
muda lainnya. Katanya, “walau umur saya udah setengah abad, saya masih bisa kok
jualan dengan teriak-teriak.” Jawab serontakku, “ya iyalah, enyak-enyak
mau umur berapa aja juga suaranya tetap cempreng.”
“Paling kecil saya dapat untung 50 ribu, itu pun karena
di hari-hari orang kerja,” ungkap Ilah sembari mengibas otak-otak yang sedang
dibakarnya. “tapi apa itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarga ibu?”
tanyaku serontak. “Ya dicukup-cukupin aja,” jawabnya dengan suara alunan
santai.
Dia mengakui kalau penghasilannya sehari-hari memang
pas-pasan. Tapi yang mencengangkan ketika berjualan di hari-hari libur. Dia
bisa memperoleh keuntungan sampai berlipat-lipat dari hari-hari biasa.
“Apalagi
kalau di hari libur, saya dapat untung gede,” lanjutnya sambil
membolak-balikkan otak-otaknya di tungku areng.
Tapi dia merasa aneh untuk hari-hari libur sekarang,
apalagi mendekati tahun baru 2010. Seharusnya
para pengunjung pasarnya bejubel, sekarang malah lebih lowong. Terlebih
ketika terjadi kenaikan BBM, dampaknya cukup dirasakan Bu Ilah.
Komentarnya,
“kenaikkan BBM kemaren memang cukup berdampak terhadap pedagang otak-otak
seperti saya, walaupun tak begitu besar. Seharusnya saya bisa untung 100 ribu,
malah cuma dapat gocap doang,” keluh Ilah dengan perasaan yang tampak
memilukan.
Dengan membeli bahan bakunya ikan mata goyang yang
berharga 20 ribu per kilo, bisa memproduksi 500 biji otak-otak. “emang sih,
dagang beginian enggak perlu banyak modal, tapi karena modal yang sedikit
itulah saya pilih ini untuk mencari nafkah keluarga saya.”
Suami Ilah sudah lama meninggal dunia karena menderita
diare yang berkepanjangan. “Ke dokter pun tak punya duit, ya udah terpaksa
dirawat di rumah aja dengan ala kadarnya.” Kala suaminya tiada, dia menjadi
tulang punggung keluarganya. Dia pun memutuskan untuk berjualan otak-otak di
pasar ini. Warga asli Muara Angke memang terlakoninya.
Alasannya memilih
otak-otak dan Pasar Muara Angke sebagai alat pencari nafkah, tidak lain karena lokasinya
yang dekat dengan rumahnya. “Kalau jualannya jauh dari rumah saya, saya bisa
tekor, belum ngongkosnya, belum capeknya, saya kan udah tua,” celotehnya dengan
logat khas betawinya.
Tapi dia bersyukur, dengan penghasilan seperti ini bisa
menghidupi lima anaknya. Dua anak pertamanya pun telah menikah dan anak
ketiganya mampu dikuliahkan.
Iseng memposting tulisan terdahulu saat baru belajar nulis
Comments