Pengetahuan dan Keyakinan dalam Memandang Islam

Sempatkah dalam diri ini bertanya tentang keduanya? Manakah yang harus didahulukan? Pengetahuan mengenai apa yang kita raba, rasa, lihat, mampu kita ketahui. Namun, bagaimana dengan hal metafisik? Semuanya bergumam. Menganggap bahwa itu tak perlu diperbincangkan.

Memang rasanya jika menerawang sejarah para sahabat nabi, maka tentu dihadapkan dengan sikap langsung percaya. Abu Bakar Ash-Shiddieq, ia dianggap sebagai pembenar. Karena ketika sehabat lain tidak percaya dengan Isra Mi’raj-nya Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar langsung mempercayainya.


Tapi, apakah itu relevan sesuai konteks zaman kekinian?  Orang awam pun akan jadi korban pendoktrinan. Karena Kepercayaan sebenarnya didasarkan pada doktrinasi si penyebar, agar yang mendengarnya dapat mempercayainya. Kita tahu, agama di dunia ini begitu banyak, kalau kita hanya mengandalkan keyakinan semata, tentu akan bingung kepalang. Yang terjadi, doktrin-doktrin dari luar berdatangan, dan memaksa kita memutuskan pilihan karena secara tidak langsung dipaksa untuk yakin. Tanpa diberi peluang untuk berpikir.

Ketidaktahuan terhadap Islam akan lebih mudah terdoktrin. Orang-orang lebih mudah menjejali kita dengan apa yang mereka punya. Materi ataupun rohani. Tidak heran jika kita mendengar ada daerah yang terjangkit “virus” kristenisasi. Karena mereka mendahulukan keyakinan dari pada pengetahuan. Akibat lainnya, cara pandang kita menjadi taklid buta, juga tak bisa dirubah, bahwa kita beragama Islam karena orang tua.

Keyakinan yang berada di awal, yang kemudian disertai pengetahuan, tampaknya itu sudah tidak relevan bila ditaruh pada zaman ini. Jika kita melakukan seperti itu, kita akan mengikutinya tanpa mengetahui apa yang ada dibalik itu? kita hanya tahu depannya saja, tanpa tahu behind the scene-nya. Keraguan pun akan sirna kerena sifat yakin yang sudah terpendam. Sifat ingin tahu akan hilang. Maka apapun perintah yang disuruh, baik atau buruk, kita akan menjalaninya.

Akal yang telah anugerahi oleh Allah azza wa jal tentu memiliki manfaat. Ini bukan berarti kita terjun dalam dunia yang bebas dengan akal. Hanya saja, kita berpikir dengan maksimal tentang keistimewaan alam yang tidak mungkin tercipta oleh kekuatan yang biasa. Mencari sang Pencipta lebih baik melupakan sang Pencipta. Fenomena-fenomena alam yang kita rasakan sebagai akibat adanya kekuatan yang luar biasa, sudah termaktub dalam Alquran.

Ayat yang pertama yang diturunkan pun adalah kata perintah “bacalah“. Dalam arti yang luas, bukankah itu berarti suruhan untuk membaca segala yang diciptakan oleh Allah Swt? Dalam kata “baca“, terkandung makna, yaitu mencari sesuatu yang belum diketahui agar menjadi tahu. Begitu relevannya hal ini bila kita lebih mendahulukan pengetahuan dari pada keyakinan dalam pencarian agama pada zaman sekarang.

Comments