Sebagai jembatan ilmu, penerjemahan dalam suatu negara tentu amat diperlukan. Dengan melaksanakan hal tersebut, khususnya dari bahasa asing ke bahasa yang diperolehnya sejak lahir, suatu negara akan membuka cakrawala yang lebih luas melalui ilmu yang berada di luar negara tersebut.
Dan, tentu saja kita pun tidak mengharapkan terjadinya keterbelakangan wawasan seperti yang dialami jepang sebelum restorasi Meiji, ataupun negara-negara barat sebelum masa renaissance. Karenanya, selayaknya negara yang ingin maju juga memajukan aspek penerjemahan untuk menciptakan keluasan cakrawala dan keluwesan dalam berpikir pada masyarakat.
Akan tetapi, dalam konteks kekinian, penerjemahan seperti dianggap remeh-temeh. Banyak orang yang mengira bahwa menerjemah itu hal yang mudah, asal sudah mengerti tentang bahasa sumber dan bahasa sasaran. Padahal, ketika seseorang menerjemah, tidak hanya mengalihkan pesan saja, tapi juga menjadikan terjemahan sebagai karya seni yang mudah dibaca dan dipahami. Dari sinilah biasanya penerjemah melakukan kesalahan.
Perlu ditekankan, dalam proses penerjemahan, yang menjadi krusial dan fatal adalah makna. Jika makna tidak tersampaikan dengan baik, maka rusaklah bahasa sumbernya, dan pesannya pun tidak akan tersampaikan. Bahkan, bila salah memahami makna, tentu hasil terjemahannya menjadi sesat. Di sinilah diperlukan pertanggungjawaban penerjemah sebagai orang yang mengantarkan makna ke tempat tujuan, dengan melewati “jembatan penerjemahan”.
Struktur, Morfologis, Kontekstual
Penerjemah sering kali melakukan kesalahan dalam menerjemah ketika menemukan keragaman makna dalam sebuah kosa kata. Ia bingung untuk memilih mana makna yang benar dan berpadanan dengan kosa kata yang memiliki pluralitas makna ini. Karena itu, ia juga harus memperhatikan aspek struktur, leksikal, dan kontekstual dalam teks sumber.
Dalam penerjemahan, tidak hanya menerjemah kata satu per satu, tapi juga menyampaikan konteks yang terjadi di dalam teks. Untuk itu, sesuai yang telah disinggung di atas, seorang penerjemah mesti melakukan analisis struktur, leksikal, dan kontekstual.
Terkait analisis struktur, penerjemah dituntut untuk memahami dua bahasa, yakni bahasa yang akan diterjemah, dan bahasa yang menjadi sasaran dalam penerjemahan tersebut. Analisis ini melakukan tugasnya yang berhubungan aspek morfologis dan sintaktis.
Kata, memiliki makna morfologis yang nantinya akan terbagi atas klasifikasi seperti nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Klasifikasi ini dimanifestasikan secara berbeda dalam tiap bahasa. Misal dalam bahasa Arab yang menandakan nomina salah satunya dengan diawali alif dan lam. Namun, dalam bahasa Indonesia, segi penulisan tidak menjadi masalah. Yang penting, memiliki unsur kebendaan dan tidak mengandung unsur pekerjaan.
Makna morfologis tercipta karena adanya penempatan kata dalam struktur kalimat. Entah itu subjek, predikat, ataupun objek. Oleh konstruksi kalimat, sebuah kata akan berubah maknanya secara fungsional. Karenanya, penerjemah dituntut kemampuannya untuk dapat menentukan struktur atau bangunan kalimat yang tepat agar keterbacaan terjemahannya mudah dipahami pembaca.
Kemudian, dalam analisis sintaktis, penerjemah juga memiliki andil untuk menangkap makna yang tertuang dalam sebuah kalimat. Dari hal demikian, akan lebih mudah bagi penerjemah untuk menyampaikannya kembali dalam bahasa sasaran.
Dalam pemilihan diksi, penerjemah kadang mengalami kesulitan. Memang sebuah kata memiliki makna leksikal, tapi makna tersebut beragam. Dalam kamus pun, untuk menjelaskan makna dari satu entri, dipaparkan pula makna-makna yang berkaitan dengan entri tersebut. Di sinilah letak pentingnya makna kontekstual pada tiap kata. Dengan mengetahui hal di balik kata tersebut, akan didapat padanan yang tepat, dari pelbagai makna yang dipaparkan dalam kamus.
Dan, tentu saja kita pun tidak mengharapkan terjadinya keterbelakangan wawasan seperti yang dialami jepang sebelum restorasi Meiji, ataupun negara-negara barat sebelum masa renaissance. Karenanya, selayaknya negara yang ingin maju juga memajukan aspek penerjemahan untuk menciptakan keluasan cakrawala dan keluwesan dalam berpikir pada masyarakat.
Akan tetapi, dalam konteks kekinian, penerjemahan seperti dianggap remeh-temeh. Banyak orang yang mengira bahwa menerjemah itu hal yang mudah, asal sudah mengerti tentang bahasa sumber dan bahasa sasaran. Padahal, ketika seseorang menerjemah, tidak hanya mengalihkan pesan saja, tapi juga menjadikan terjemahan sebagai karya seni yang mudah dibaca dan dipahami. Dari sinilah biasanya penerjemah melakukan kesalahan.
Perlu ditekankan, dalam proses penerjemahan, yang menjadi krusial dan fatal adalah makna. Jika makna tidak tersampaikan dengan baik, maka rusaklah bahasa sumbernya, dan pesannya pun tidak akan tersampaikan. Bahkan, bila salah memahami makna, tentu hasil terjemahannya menjadi sesat. Di sinilah diperlukan pertanggungjawaban penerjemah sebagai orang yang mengantarkan makna ke tempat tujuan, dengan melewati “jembatan penerjemahan”.
Struktur, Morfologis, Kontekstual
Penerjemah sering kali melakukan kesalahan dalam menerjemah ketika menemukan keragaman makna dalam sebuah kosa kata. Ia bingung untuk memilih mana makna yang benar dan berpadanan dengan kosa kata yang memiliki pluralitas makna ini. Karena itu, ia juga harus memperhatikan aspek struktur, leksikal, dan kontekstual dalam teks sumber.
Dalam penerjemahan, tidak hanya menerjemah kata satu per satu, tapi juga menyampaikan konteks yang terjadi di dalam teks. Untuk itu, sesuai yang telah disinggung di atas, seorang penerjemah mesti melakukan analisis struktur, leksikal, dan kontekstual.
Terkait analisis struktur, penerjemah dituntut untuk memahami dua bahasa, yakni bahasa yang akan diterjemah, dan bahasa yang menjadi sasaran dalam penerjemahan tersebut. Analisis ini melakukan tugasnya yang berhubungan aspek morfologis dan sintaktis.
Kata, memiliki makna morfologis yang nantinya akan terbagi atas klasifikasi seperti nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Klasifikasi ini dimanifestasikan secara berbeda dalam tiap bahasa. Misal dalam bahasa Arab yang menandakan nomina salah satunya dengan diawali alif dan lam. Namun, dalam bahasa Indonesia, segi penulisan tidak menjadi masalah. Yang penting, memiliki unsur kebendaan dan tidak mengandung unsur pekerjaan.
Makna morfologis tercipta karena adanya penempatan kata dalam struktur kalimat. Entah itu subjek, predikat, ataupun objek. Oleh konstruksi kalimat, sebuah kata akan berubah maknanya secara fungsional. Karenanya, penerjemah dituntut kemampuannya untuk dapat menentukan struktur atau bangunan kalimat yang tepat agar keterbacaan terjemahannya mudah dipahami pembaca.
Kemudian, dalam analisis sintaktis, penerjemah juga memiliki andil untuk menangkap makna yang tertuang dalam sebuah kalimat. Dari hal demikian, akan lebih mudah bagi penerjemah untuk menyampaikannya kembali dalam bahasa sasaran.
Dalam pemilihan diksi, penerjemah kadang mengalami kesulitan. Memang sebuah kata memiliki makna leksikal, tapi makna tersebut beragam. Dalam kamus pun, untuk menjelaskan makna dari satu entri, dipaparkan pula makna-makna yang berkaitan dengan entri tersebut. Di sinilah letak pentingnya makna kontekstual pada tiap kata. Dengan mengetahui hal di balik kata tersebut, akan didapat padanan yang tepat, dari pelbagai makna yang dipaparkan dalam kamus.
Comments