Kontak Budaya Antara Indo-Betawi dan Betawi Asli

Pada masa penjajahan Belanda di Batavia, perkawinan campur antara orang Betawi dan Belanda memang lazim terjadi. Ini bisa dilihat dari silsilah keluarga para tokoh betawi. Misalnya saja, M. Husni Thamrin, kakeknya berasal dari Inggris. Selainnya, pengarang Mahbub Djunaedi, memiliki nenek yang asli kelahiran Jerman. Gubernur Raffles sendiri memiliki jalinan cinta dengan perempuan pribumi.

Dari kontak budaya ini, lahirlah keturunan berasal dari dua kebudayaan, yang biasa disebut orang Indo-Betawi. Dalam tulisan ini, maksud Indo-Betawi mengacu pada orang betawi yang menikah dengan orang Belanda. Mereka sebagai manusia yang lahir dari dua kebudayaan, layaknya koin, memiliki dua sisi.

Dua sisi kebudayaan yang menyatu ini, dapat menunjukkan suatu sifat yang lebih menonjol dari keduanya. Kemudian muncul suatu hubungan antara manusia hasil perkawinan kebudayaan, dalam hal ini orang Indo-Betawi, dengan manusia tulen dari satu kebudayaan, yaitu orang betawi asli.
Orang betawi sendiri memang sikapnya amat terbuka terhadap kawin campur.

Menurut mereka, yang penting, si mantu harus mengikuti agama pasangannya, yakni Islam. Betawi tengah, merupakan daerah yang paling banyak perkawinan campurnya. Karena memang orang-orang Belanda kala itu bekerja di perusahaan swasta atau pemerintahan, yang kebanyakan lokasinya berada di Betawi Tengah. Misalnya, daerah seperti Kemayoran, Sawah Besar, Kebon Sirih, dan Kwitang. Daerah tersebut banyak yang mengatakan sebagai potret miniatur komunitas megapolitan.

Paling tidak, ada tiga saluran yang menjadikan terjalinnya hubungan antara orang Betawi dan Belanda, yaitu hubungan percintaan, sosial, dan pekerjaan. Dari sini jelas, hubungan percintaanlah yang mengawali hubungan sesudahnya. Betapa tidak, orang Belanda yang datang ke Batavia kala itu adalah para bujangan.

Hubungan pekerjaan juga menimbulkan komunikasi antara pribumi Betawi dan orang Belanda. Sebagai pribumi, masyarakat betawi lebih banyak yang bekerja menjadi babu atau pembantu rumah tangga di rumah orang Belanda. Tapi, mereka menjadi babu yang pulang, jarang yang mau menjadi babu nginap. Yang laki-lakinya, ada yang menjadi supir dan kusir.

Dalam hal musik, kesukaan antara keduanya hampir sama. Musik keronconglah yang membuat mereka saling bertemu. Tapi orang Indo tidak begitu menyukai alat musik tanjidor, rebana, gambang kromong, dan orkes harmonium. Dari aspek bahasa, banyak pengaruh asing yang dibawa orang Indo, seperti istilah-istilah musik. Di antaranya, “pales” yang berasal dari kata “vals”, dan “mol” yang mengacu pada nada mol.

Melalui Sepak bola
Masyarakat Betawi dan Indo sama-sama menyukai sepak bola. Hingga pada zaman sebelum perang dunia II, banyak didirikan komunitas sepak bola. Betawi dan indo-betawi berbaur dalam komunitas tersebut. Klub seperti BVC dan VIOS didirikan oleh orang belanda totok atau indo. Orang betawi juga mendirikan komunitas seperti Tjahaya Kwitang, de Bruiner (si sawo matang), Sinar Kernolong, dan Sentjaki. Namun, meski didirikan secara berpisah, setelah kemerdekaan ada pula orang Betawi yang masuk komunitas sepak bola Indo. Begitu juga sebaliknya.

Kontak kebudayaan dari aspek bahasa antara keduanya bisa dilihat dari penyerapan bahasa yang digunakan orang Indo ke dalam bahasa Betawi. Seperti henbal, dobrak, syut, oper, dribel, dan senter (sengaja menendang orang dengan keras ). Kata-kata ini masih digunakan banyak orang sampai sekarang.

Bagi perempuan Indo, permainan bola basket lebih disukai. Tapi, tidak untuk kaum perempuan Betawi. Mereka lebih suka menontonnya dari bermain. Permainan ini sering dilakukan di lapangan Balai Kota –dekat monas- dan lapangan Banteng.

Meski hanya latihan, lapangan itu ramai dengan para penonton. Jelas, yang menontonnya adalah para lelaki yang ingin melihat perempuan Indo yang memakai celana short –celana ketat yang pendek- saat latihan. Mungkin ini indikator munculnya kata mata keranjang. Karena pada saat menonton permainan tersebut, para penonton fokus memperhatikan penampilan para perempuan indo-betawi. Hening situasinya, dan hanya sedikit yang memberikan tepuk tangan.

Beda Penampilan
Kebiasaan orang betawi dalam berpenampilan berbeda dengan orang Indo. Saat bersantai, mereka memakai "kolor"-celana pendek yang panjangnya tidak sampai lutut-, karena jenis celana ini terlihat lebih santai dan dapat mengatur sirkulasi udara, sehingga adem saat dipakai. Lama-kelamaan, karena celana ini lebih mudah bau –orang betawi menyebutnya bau bacin-, maka mereka beralih ke jenis celana dalam yang biasa disebut "kancut".

Kancut sering dipakai orang Indo saat berenang. Sepertnya ini memunculkan kepercayaan diri tersendiri saat orang Betawi memakainya. Selain itu, sebagian orang Betawi, terutama kaum bapak, memakai setelan celana batik yang panjangnya melebihi lutut. Lalu atasannya memakai kaos berkancing warna putih, peci, dan gesper lengkap dengan dompet, tempat menyimpan tembakau, dan terompah (alas kaki yang terbuat dari kulit) sebagai alas kaki.

Penampilan ini berbeda dengan apa yang dipakai oleh orang Indo. Jika mau keluar rumah, mereka mesti bersepatu dan berkaos kaki, yang biasa disebut stiwel, yaitu kaos kaki yang panjang. Juga tidak ketinggalan dengan ikat pinggang, atau mereka menyebutnya band. Selampe atau sapu tangan, pun selalu ada di kantongnya. Jika malam hari, orang Indo biasa memakai syal.

Kalau kata orang Betawi, "Endo kagak kepengen badannye soak". Sebelum Perang dunia II muncul, perempuan Indo suka memakai pakaian kebaya. Tapi, saat celana jeans muncul, kebaya mulai ditinggalkan perempuan indo.

Banyak orang betawi yang bilang bahwa penampilan orang Indo itu neces dan resik. Penampilannya amat rapi. Rambut dan kumisnya klimis. Mereka lebih menyukai rambut pendek. Kalau pun ada yang memanjangkan rambut, tidak sampai gondrong. Model rambut yang ditunjukkannya adalah belah pinggir dan belah tengah.

Model rambut yang menjadi favorit orang Betawi saat itu adalah setik. Hanya bagian pinggirnya saja yang dicukur tipis. Gaya model rambut ini dipopulerkan bintang film Malaysia tahun 1950-an, P. Ramlee. Perempuan Indo banyak yang rambutnya dikeriting, dan mereka pun rajin ke salon. Saat itu, perempuan betawi tidak begitu suka pergi ke salon. Mereka lebih memilih membiarkan rambutnya panjang terurai. Sebagian mereka ada yang suka mengepang rambutnya, dikepang satu atau dua.

Comments