Serpihan Saat Tuhan Berkata

Aku memasuki ruang gelap. Hampa tanpa manusia dan pijakan. Semua penjuru hitam pekat tanpa sudut. Terdapat titik cahaya di sana. Aku mencari sesuatu, tapi serasa tidak ada. Orang bilang dia ada.

"Tuhan, apa kau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, tapi tidak kutemukan. Apa aku memang tidak akan menemukanMu?," kataku berteriak dalam kesunyian yang hitam pekat.

Tak ada jawaban. Aku berjalan tanpa pijakan, mengelilingi ruang gelap yang dipenuhi titik-titik cahaya. Saat itu, aku melihat sosok cahaya. Saat itu pula ku menghampirinya.

“Yang kau cari ada di sebelah sana,” cahaya itu berkata begitu, dan menunjukkan arah ke bangunan yang seperti memancarkan cahaya dengan sendirinya. 

Bentuk bangunan tak tampak karena dijubahi sinarnya. Aku tepat berdiri di mulut gerbang raksasa. Saat itu pula, gerbang terbuka sedikit dengan sendirinya. Dari celah gerbang, mencuat sinar putih yang menyilau. Lalu aku menyelipkan tubuhku pada celah yang pas untuk ukuran tubuh yang kurus ini.

Waw.. ukiran-ukiran emas yang berkelok-kelok seperti ombak, menempel erat di semua bagian dinding. Entah apalah gambarnya, yang penting bentuknya enak dipandang. Tapak kakiku ditemani lantai berselimuti karpet merah. Panjangnya menuju satu titik yang amat jauh. Dari tempat berpijak, tampak sebuah singgasana raksasa. Aku berjalan menyusuri karpet, mendatangi sosok yang duduk di singgasana.

“Apakah kamu tuhan yang selalu dielu-elukan para sejenisku manusia?”

“Ya, itulah aku.”

“Berada di tempat ini sungguh aku tak tahu alasannya. Tapi, pertemuan dengan-Mu benar-benar keberuntungan bagiku. Aku pun tak mau menyia-nyiakannya. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.”

“Keberuntungan ini milikmu. Jadi silahkan, tanyalah.”

“Apakah ketidaktampakkan-Mu merupakan kehendakmu? Bila itu kehendakmu, kenapa?”

“Begini, aku adalah sang Pencipta segala, dan kalau kelihatan, bukan Tuhan dong namanya.”

“Begini Tuhan yang kuhormati, aku merasa kasihan dengan orang-orang yang tidak mempercayaimu. Padahal, mereka ingin merasionalkan dirimu.”

Sang Tuhan bangun dari singgasananya. Aku terpesona dengan kemilau cahaya yang terpancar dari-Nya. Sinar itu begitu tinggi dan luas. Aku menghalangi sinarnya dengan lenganku karena sedemikian terangnya, dan wajah-Nya pun tidak sempat kulihat.

Dia berkata: “Apakah rasional bila dunia ini ada dengan sendirinya?” Tuhan berkata dengan menunjuk-nunjukkan jari telunjuk-Nya yang dilingkari kabut sinar, ke arahku.

“Tentu saja tidak. Aku pun yakin pasti ada pencipta-Nya. Lalu bagaimana mereka yang tidak sepikiran denganku? Bukankah perbedaan pikiran itu niscaya terjadi?"             

“Pasti terjadi, keberagaman pun pasti terjadi. Aku pula yang mengatur semua itu.”

“Lalu apa mereka yang berbeda akan mendapat hukuman?”

“Tentu saja dapat hukuman. Perbedaan memang aku yang buat. Konflik memang aku yang buat. Tapi yang perlu diketahui, manusia bukan hewan, mereka adalah akal, akal adalah mereka. Manusia adalah gumpalan tanah yang kusisipkan mutiara. Sudah seharusnya mereka mengasah mutiara itu agar memiliki daya jual yang tinggi. Sayangnya, mereka mengasahnya dengan setengah-setengah.”

“Sungguh kasihan mereka. Padahal mereka adalah orang-orang yang sangat menghormati hasil ciptaan-Mu. Mereka rela memaksimalkan apa yang Kamu berikan pada mereka. Mereka berusaha memaksimalkan pikiran secara apa adanya. Memanfaatkan apa yang ada di alam ini. Tanpa embel-embel kegaiban. Anehnya, mereka dipecundangi oleh orang-orang yang percaya pada-Mu, yang kebanyakan dari mereka justru tidak menggunakan akalnya, tapi taklid buta. Dan kini Kamu pun mempecundangi kaum Atheis.“

“Wahai manusia beruntung, inilah yang perlu dijalankan oleh manusia. Berusaha mencariku dan siap menerima risiko. Sia-sia saja jika aku sebagai pencipta, lalu aku menampakkan diri. Tidak ada harganya aku ini. Biarlah pencipta sebagai pencipta, tanpa tiada. Hanya karya yang ada. Bayangkan jika aku tampak, dan aku selalu mejeng di samping karyaku, pasti tidak akan dihargai karyaku itu. Manusia akan mengejar-ngejarku dengan terbirit-birit. Lalu minta foto bareng dan tanda tangan.

“Kalau begitu yang ingin Kau tonjolkan adalah karyamu, benar begitu?”

“Ya”

“Bagaimana jika karya-Mu dirusak?”

“Tentu saja aku akan marah, dan segala yang berhubungan dengan karyaKu, itu adalah hak preogratifKu.”

“Sayangnya, yang merusak alam-Mu itu orang-orang pemercaya-Mu. Bahkan, sangat percaya pada-Mu, sangat fanatik pada-Mu. Kau ingin apakan mereka?”

Aku melihat dia menelan ludah-Nya. Dia pun berkata, “mereka salah tafsir terhadap apa yang Kuberikan selama ini.”

“Jadi apa kepercayaan pada-Mu itu sudah cukup untuk memenuhi surga-Mu itu?”

“Ya, tentu belum cukup. Mereka harus melalui proses pencarian-Ku terlebih dahulu, tidak bisa asal percaya pada-Ku begitu saja. Ini demi kemaslahatan ciptaan-Ku. Jika mereka mengerti-Ku dengan seksama, tanpa taklid, niscaya mereka akan damai sentausa. Aku pun tidak mau memberi damai dengan mudah begitu saja, mereka harus bergerak.”

“O.. begitu, baiklah, aku mau pamit dulu ke alamku. Terima kasih atas semuanya.”

“Terima kasih atas apa? Bahkan di singgasanaKu pun air belum Kuberi.”

“Tak apa-apa, cukup tau aja…”

"Cukup apa maksudmu?"

“Cukup tahu bahwa Kau pelit air, dan permaisuri pun Kau tidak punya.”

“Aku tidak mau, permaisuri itu terlalu banyak maksiatnya… hahaha,” Sang Tuhan ketawa dengan terbahak-bahak.

“Cukup sampai di sini obrolan kita, kapan-kapan kita ngobrol lagi…” kataku.

Lalu aku pun kembali ke bumi. Dan setiap langkah yang hentak, aku mengatakan kepada manusia tentang pertemuanku dengan Tuhan. Hingga sampai ke pasar yang memuat kerajinan patung yang menggambarkan seperti makhluk jadi-jadian, seseorang berkata kepadaku, “Kalau pun benar Kau bertemu dengan Tuhan, berarti Tuhan itu tidak adil. Aku yang sudah sangat percaya pada-Nya, dan selalu berdoa kepada-Nya dengan merelakan nafsu birahiku yang tak pernah dapat pelayanan. Aku kecewa dengan Tuhan. Usaha-Ku sia-sia selama ini.”

Aku bertanya padanya, "Atas dasar apa kau percaya Tuhan?” Orang itu menjawab, “Atas suruhan guruku, aku lama sekali mengenal guruku, dia baik dan berbudi, tidak mungkin dia berbohong padaku."

"Apakah dia tidak berbohong padamu? Bila kau ingin dapatkan kemuliaan tinggi di hadapan Tuhan, carilah Dia dengan tanganmu. Bila kau ingin kedamaian, carilah Dia dengan pikiranmu. Bila kau ingin keabadian, carilah Dia dengan seluruh ragamu. Dan katakanlah ini agar kedamaian meluas."

“Bagaimana aku melakukan semua yang kau katakan, sementara aku sama sekali tidak mengenalmu. Aku tidak percaya padamu.”

“Apa kau mengenal Tuhan? Apa kau mengetahui rumahnya? Apa kau tahu profesi Tuhan? Apa kau tahu…” Tiba-tiba, omonganku terhenti karena desakannya.

“Cukup, ya aku tak tahu semua itu, aku mengerti maksudmu. Baiklah, aku akan menuruti semua perintahmu.”

Orang itu pergi ke seluruh penjuru dunia untuk menyebarkan pesan ini. Sampai pada suatu tempat, ia diteriaki dan dikerubungi banyak orang. 

“Tidak!! orang ini pembohong, tidak mungkin ada orang bisa bertemu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tuhan pun, tidak ada yang menjelaskan cara-cara bertemu dengan Tuhan. Kami saja yang selalu taat kepada-Nya tidak bisa bertemu dengannya, bagaimana bisa dengan orang itu? Hei.. orang ini telah mengada-ngada…!!!”

Sebagian orang lagi berkata, “tidak, mungkin saja orang ini benar.. tidak ada salahnya jika kita mendengar dia dulu…”

“Jangan!! Jangan dengarkan dia!” Kata sebagian orang, yang benar-benar bersikeukeuh tidak mau dengar.

“Baiklah, kalau kalian tak mau dengar, biar kami yang bawa orang ini.”

Pada saat itu, penyebar pesan dibawa ke tempat yang aman oleh kelompok yang melindunginya. Di kamarnya, ia menulis surat dan menceritakan semua yang terjadi dalam perjalanannya. Lalu, dikirimkanlah surat itu dengan burungnya. Sebagian isinya, ia memperkirakan tentang konflik yang bakal terjadi dan meluas ke penjuru dunia. Ia bakal mati, aku bakal mati, dan akan muncul era ketiadaan Tuhan.

Dalam tulisan itu, tertera, “Aku percaya dengan perkataanmu. Aku percaya tentang pertemuanmu dengan Tuhan. Akhirnya, aku benar-benar menemukan Tuhan dalam perjalananku. Tapi, aku tidak yakin dengan manusia selainku dan kau. Mereka hanyalah bagian dari ujung pedang dan panah.”  

Esok pagi, aku bangun dengan mata yang menyipit. Mataku langsung melotot saat menyaksikan lewat jendela, di bawah rumahku banyak gerombolan berkuda yang membawa pedang pula. Kemudian ada yang berteriak, "Hei penemu Tuhan, keluarlah!!! Kau telah mendustakan agama."

Rumahku sudah terkepung dan aku tak bisa ke mana-mana. "Tuhan, apakah sekarang era ketiadaan-Mu? Sejak kapan Kamu beragama?"

Anachaar
08 Desember 2011, Ciputat

Comments

Anonymous said…
ide ceritanya keren kak. tapi dialog ama tuhannya kelamaan, jadi bosen bacanya pas di part itu