Kesenjangan Sosial Dari Para Birokrat

Ada yang menarik ketika membahas kehidupan para birokrat negeri ini. Mereka bicara tentang kesejahteraan yang terabaikan. Mereka bicara tentang pemberantasan korupsi. Mereka bicara tentang pendidikan yang tidak terdukung. Semuanya bicara tentang apa yang harus dilakukan. Mereka pikir telah bertindak sesuai apa yang seharusnya dilakukan. Tapi, apakah masyarakat berpikir demikian? Barangkali, ada pro-kontra dalam masyarakat sendiri saat memandangnya.

Jika kita melihat faktanya, para birokrat terlalu banyak bergulat dengan eksklusifitas. Dari segi cara hidup, cara bermasyarakat, dan fisik rumahnya yang besar dan megah. Dalam kehidupannya, mereka amat tertutup. Dengan pagar yang besar di depan rumahnya, menandakan sempitnya pergaulan mereka dari masyarakat di sekitarnya.

Inilah yang menurut Nyoman Kutha Ratna, dari kebudayaan, dapat menjadi budaya. Hal yang masih bersifat budaya, jika lama-kelamaan dilestarikan oleh suatu masyarakat, pada akhirnya menjadi budaya yang tidak dapat ditolak keberadaannya oleh manusia. Seperti halnya rumah besar para birokrat. Mayoritas manusia, menandakan jerih-payahnya melalui model rumahnya yang megah. Kemudian ini menjadi tren gaya hidup yang mengotak-ngotakkan si miskin dan si kaya.

Dari hal ini, menurut Jakob Sumarjo, manusia harus memiliki ilmu kosong. Merasa kosong dengan apa yang kita miliki, baik itu kekayaan, ilmu, ataupun yang lainnya. Karena merasa akan hadirnya kekosongan itu, manusia akan rela memberikan segenap yang dimilikinya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Namun, nyatanya para birokrat seperti menutup rapat-rapat apa yang dimilikinya. Sifat egoisme tumbuh dalam perasaan mereka. Pada akhirnya, kesenjangan sosial semakin tampak.

Kita yakin, bahwa agama manapun memiliki tujuan sama, yakni menekan egoisme manusia. Tapi kini para birokrat mereduksi itu semua. Mereka lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Menanam pun tidak pernah dilakukan, tapi mereka malah ingin langsung memetik buah. Libido kekuasaan ditinggikan mereka untuk kepentingan golongannya, tanpa peduli nasib rakyat. Tampaknya kalimat yang pantas untuk sekarang ini, “bernafsulah, maka kalian pun ada.” Pikiranlah yang seharusnya menjaga. Pikiran adalah jembatan libido dan perbuatan. Jika manusia tidak dapat mengendalikannya, maka runtuhlah negara ini.

Kesenjangan sosial dapat semakin berkembang ketika maraknya pembangunan perumahan bagi para birokrat. Dengan dibuatnya komplek-komplek perumahan khusus bagi para pegawai pemerintahan, kesenjangan antara kaya dan miskin pun semakin kontras.

Bayangkan jika secara terus-menerus pola seperti ini dilakukan. Bangsa ini akan memunculkan semangat individualisme, terutama dari para birokrat. Bahkan, bukan hal yang mustahil, jika para birokrat selanjutnya akan mengikuti jejaknya. Apalagi, selepas menjadi birokrat, kebudayaan seperti ini masih digunakan dalam pola hidup mantan birokrat. Masyarakat akan menirunya, dan akan muncul budaya individualistis yang bermula dari praktik para birokrat dahulu. Tatanan masyarakat terpecah-belah. Mereka hidup mengautiskan diri. Tak menyadari siapa di sebelahnya, tak menyadari pula apa yang dirasakan orang di sebelahnya.

6 Desember 2011, Ciputat.
Dimuat di koran Sindo, rubrik Suara Mahasiswa, pada 7 Desember 2011

Comments