Tentang Muktazilah

Pendahuluan
Kelahiran Aliran muktazilah yang merupakan aliran teologi terbesar dan tertua telah sangat berperan dalam perkembangan pemikiran dunia Islam. Waktu kemunculannya pun diperdebatkan para ulama karena ketidakjelasannya. Sebagian pendapat mengatakan bahwa golongan ini bermula sebagai pengikut Ali ra. Mereka tidak mau terlibat dengan persoalan politik, karena lebih memilih zuhud terhadap dunia. Walaupun sebagian orang di dalamnya ada pula yang dituduh melakukan perbuatan maksiat.
            Golongan ini tidak ingin terlibat dengan persoalan politik ketika Hasan dilengserkan, yang kemudian digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Abu Alhasan Atthara’ifi dalam bukunya Ahl Al-Ahwa wa Al-Bida’, menyatakan, “mereka menamakan dirinya dengan muktazilah saat Hasan bin Ali membaiat Muawiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Akibatnya, mereka melakukan separasi dari kelompok selain mereka.[1]
            Dalam kitab-kitab muktazilah, para penulisnya berpendapat bahwa awal kemunculan pahamnya jauh lebih dulu dari kisah Washil bin Atha (699-748 M)[2] –yang diduga oleh para ulama sebagai tokoh utama Muktazilah-, mereka juga berpendapat bahwa di antara penganut mazhab ini banyak yang berasal dari keluarga nabi dan salah satunya adalah Hasan Albasri (642-728 M).
            Ulasan singkat di atas hanyalah sebagai pembuka makalah ini, bacalah dengan serasa (serius tapi santai) dan semoga bermanfaat bagi Anda yang membaca dengan sebenar-benarnya membaca.

Pembahasan
A. Sekilas Sejarah Aliran Muktazilah
            Pada intinya terdapat dua teori mengenai awal mula kemunculan paham muktazilah, yang pertama muncul saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan dan kedua saat hengkangnya Wasil bin Atha dari pengajian Hasan Albasri.
            Dalam buku Tarikh Atthabari yang dikutip oleh Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran mengemukakan bahwa nama muktazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Albasri, tetapi dari kata i’tazala yang diperuntukkan kepada “orang-orang yang mengasingkan diri” dari polemika politik yang terjadi pada zaman kekhalifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka lebih fokus terhadap ibadah dan ilmu pengetahuan. Penganutnya antara lain cucu nabi Muhammad Abu Husain, Abdullah dan Alhasan bin Muhammad bin Alhanafi. Wasil memiliki hubungan erat dengan Abu Husain.
            Beberapa sahabat yang juga tidak mau terlibat dengan pertikaian tersebut pada zaman setelah Utsman bin Affan wafat di antaranya, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan, dan Zaid bin Tsabit. Dari sinilah mereka dinamakan Muktazilah.[3] Jika ditelisik dengan seksama, pengasingan diri yang dilakukan oleh para sahabat adalah bentuk netralitas terhadap polemika politik saat itu, bukan sebuah aliran teologi. Pendapat ini senada dengan Yusran Asmuni dalam Ilmu Tauhid yang mengatakan, “nampaknya tidak ada hubungan antara muktazilah yang muncul pada abad pertama hijriah dengan muktazilah yang dipelopori Wasil bin Atha. Yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul karena didorong oleh persoalan akidah atau keimanan.
            Perkataan Al-Syahrastani yang dikutip Yusran Asmuni menceritakan tentang kemunculan Muktazilah yang dibawa oleh Wasil bin Atha. “Pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Hasan Albasri di majelis pengajiannya di Basrah sembari mengatakan, ‘pada zaman ini ada golongan yang mengafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka, dosa besar itu merusak Iman sehingga membawa kepada kekafiran (Kaum Khawarij). Di samping itu, ada pula golongan yang menangguhkan hukum orang yang berbuat dosa besar. Menurut golongan ini, dosa besar tidak merusak Iman selama muslim yang berdosa besar itu tetap mukmin, tidak kafir (kaum Murjiah). Bagaimanakah Anda menetapkan itikad bagi kami dalam hal ini?,’” tanyanya.
            Ketika hasan Albasri masih merenung memikirkannya, Wasil bin Atha, salah seorang peserta pengajian tersebut menandaskan, “aku tidak mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu mukmin secara mutlak, dan tidak pula kafir secara mutlak. Statusnya berada di antara mukmin dan kafir (al-manzilah baynal manzilatain). Melihat sikap Wasil yang demikian, Hasan Albasri mengatakan, “I’tazala ‘anna Washil”. Sejak itulah Wasil dan kawan-kawannya serta pengikutnya dinamakan Muktazilah.[4] Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa aliran teologi Muktazilah muncul karena reaksi terhadap dua aliran teologi saat itu yang sedang berseteru, Khawarij dan Murjiah.

B. Ajaran-ajaran Pokok Aliran Muktazilah
            Ajaran utama yang dibawa oleh Wasil bin Atha sebagai pendiri dan pemuka aliran ini adalah sebagai berikut:
  1. At-Tauhid, kemahaesaan Allah Swt. Tiada yang serupa dengan Dia. Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi, seperti adanya sifat, antropomorfisme, beativic vision, adanya yang qadim selain Tuhan, dan sebagainya mereka tolak dengan kuat.
  2. Al-Adl, yaitu keadilan Tuhan. Paham ini mengandung keunikan Tuhan dalam hal perbuatan. Hyanya Tuhanlah yang berbuat adil. Segala kehndak dan perbuatan Tuhan tdiak akan bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan Tuhan inilah yang menjadi titik tolak bagi pemikiran rasional aliran muktazilah menegnai pendapat-pendapat keagamaan mereka. dari ajaran dasar keadilan inilah timbul paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Paham manusia wajib bertanggungjawab atas perbuatannya, paham al-shalih wal ashlah, wajib bagi Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia, wajib bagi Tuhan untuk mengirimkan nabi-nabi kepada manusia untuk menjelaskan kepada manusia mengenai sesuatu yang tak dapat diketahui akal. Lalu keadaan Tuhan tidak memberikan kepada manusia beban yang tak terpikul, terikatnya Tuhan kepada janji-janjiNya, dan sebagainya.
  3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id. Tuhan tidak akan disebut adil jika Dia tidak memberikan pahala kepada manusia yang berbuat baik, dan juga jika Dia tidak menghukum manusia yang berbuat jahat. Tuhan wajib memberikan upah kepada mereka yang melaksanakan kebaikan dan wajib menghukum orang yang berbuat kejahatan di akhirat kelak berdasarkan yang tertera dalam Alquran mengenai demikian.
  4. Al-Manzilah bayn Al-Manzilatain, yakni posisi di antara dua posisi bagi pembuat dosa besar. Bukan mukmin, bukan pula kafir, tapi muslim yang berada di antara keduanya. Bukan posisi surga, bukan pula posisi sikasa berat di neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak di antara keduanya.
  5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy ‘an Al-Munkar, yakni perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Hal ini sangat berhubungan dengan pembinaan moral. Kaum muktazilah yang mementingkan pembinaan moral dapat dilihat dari pemahaman mereka tentang iman. Kata mereka, iman bukan hanya dengan pengakuan sebagaimana dipahami kaum Murjiah, tapi juga harus disertai dengan perbuatan-perbuatan baik. Ada orang beriman, tapi ia berbuat jahat, maka ia tidak luput dari api neraka. Orang yang akan masuk surga ialah yang imannya tercermin dalam segala aktivitasnya. Untuk membimbing moral umat, mereka berpednapat bahwa paham yang kelima ini adalah sebagai bentuk dari kontrol sosial, wajib dijalankan. Jika cukup, maka dengan seruan. Jika terpaksa, maka dengan kekerasan.

C. Tokoh-tokoh Aliran Muktazilah
            Tokoh-tokoh aliran muktazilah banyak jumlahnya dan masing-masing memiliki pemikiran yang berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya atau tokoh pada masanya. Dari segi geografis aliran muktazilah terbagi menjadi dua aliran, pertama, muktazilah basrah yang merupakan pendiri aliran tersebut, dan kedua ialah muktazilah bagdad. Perbedaan antara keduanya lebih dikarenakan letak geografis dan kultur.
            Tokoh-tokokh aliran Muktazilah Basrah ialah Wasil bin ‘Ata, Al-‘Allaf, An-Nazzham, dan Al-Jubai. Tokoh-tokoh aliran bagdad antara lain ialah Bisyr bin Al-Muktamir, Al-Khayyat, lalu masa berikutnya lagi ialah Al-Qadhi Abdul jabar dan Az-Zamakhsyari. Berikut uraiannya berdasarkan urutan geografis dan kronologisnya.
  1. Wasil bin ‘Ata (80-131 H/ 699-748 M)
            Ia bernama lengkap Wasil bin ‘Ata Al-Ghazal. Ia lebih dikenal sebagai pendiri       aliran muktazilah dan orang yang meletakkan lima prinsip ajaran Muktazilah.
  1. Al-‘Allaf (135-226 H/ 752-840 M)
            Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘Allaf, itulah nama lengkapnya.           Disebut Al-Allaf karena rumahnya terletak di kampung penjual makanan        binatang (‘alaf- makanan binatang)[5]. Ia berguru kepada Usman At-Takwil,       murid Wasil. Ia menjadi terkenal saat masa Al-Makmun, karena khalifah ini            pernah             menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-         aliran   pada masanya. Hidupnya selalu diwarnai dengan eprdebatan dengan    orang-  orang zindiq (pura-pura Islam), skeptik, Majusi, Zoroaster. Menurut          riwayat ada sekitar 3000 orang yang masuk islam karenanya. Ia banyak       membaca buku-buku filsafat dan banyak menghafal syair-syair Arab serta             memiliki hubungan dengan para filosof pada masanya.
  1. Tokoh Muktazilah yang bernama lengkap Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham ini selain terkemuka, ia juga pandai bicara, banyak mendalami filsafat dan memiliki banyak karya. Pada masa kecilnya ia banyak bergaul dengan orang-orang nonmuslim. Saat dewasa, hubungannya dengan para filosof pun tak terelakkan dan tidak jarang ia meminta pendapat mereka.
                  Bermula dengan berguru kepada Abul Huzail Al-‘Allaf, ia mulai     membuat aliran sendiri yang terkenal dengan namanya sendiri. Pada usia 36   tahun ia meninggal dunia. Walau begitu, pemikirannya yang kebanyakan           berbeda dengan orang-orang muktazilah itu sendiri banyak diserap oleh orang-       orang Eropa. Di antara pemikirannya yang telah menggaung di eropa, yakni    mengenai metode keraguan dan empirika (percobaan-percobaan) yang menjadi       dasar kebangunan baru (renaissance). Perkataanya yang terkenal, “orang yang           ragu-ragu lebih dekat kepadamu dari pada orang yang engkar (sukar) enggan          (Al-Jahad).[6]
                  Al-Jahiz sebagai penerus An-Nazzham menganggap bahwa seandainya       yang terjadi hanya mengenal berpikir, lalu teguh pendiriannya, maka hal itu             sudah usai. Orang awam kebanyakan kurang memiliki skeptisisme bila dibanding dengan orang pandai, karena orang awam tidak pernah meragukan       dirinya.
                        Karena An-Nazzham sangat bebas berpikir, ia berani menantang ahli           hadits dan tidak banyak percaya kepada kesahihan suatu hadits. Tapi ia sangat          menjunjungtinggi Alquran dan sedikit percaya terhadap hadits-hadits yang       diriwayatkan oleh para mufassir.
  1. Murid As-Syaham yang bernama lengkap Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubai ini mencerminkan akhir masa kejayaan aliran muktazilah. Sebutan Al-Jubai diambil dari nama suatu tempat yaitu Jubba yang berada di Propinsi Chuzestan (Iran), tempat kelahirannya. Stuasi politik apda zamannya tidak stabil, sehongga banyak bemunculan gerakan-gerakan separatis dibanyak daerah. Selan itu juga dinasti-dinasti yang lahir di mana-mana sehingga kekuasaan pemerintah pusat jauh menurun dan kewibawaannya berkurang. Walau begitu, dinasti-dinasti itu tetap berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan saat itu, dan para ilmuwan pun tidak banyaj terpengaruh dengan situasi dan kondisi politik.[7]

D. Sekilas Kejayaan dan Kemunduran Aliran Muktazilah
            Walaupun ada perbedaan di antara para tokoh muktazilah, tapi itu tidak terlalu besar dan malah berguna untuk saling melengkapi ajaran muktazilah. Mereka memiliki pola pikir yang sama, yaitu menggunakan akal sebagai dasar memahami dan memecahkan persoalan teologi. Kaum ini pulalah yang merintis pembahasan teologi Islam secara detail dan bercorak filosofis, yang memunculkan filsafat Islam.
            Kejayaan aliran muktazilah terjadi pada zaman khalifah Almakmun (813-833 M) yang melegitimasikan aliran ini sebagai mazhab negara. Akan tetapi, setelah khalifah Almakmun wafat, aliran muktazilah mulai mengalami kemunduran. Terlebih dengan digantinya kekhalifahan Al-Makmun oleh Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M). Pembatalan aliran muktazilah sebagai mazhab negara dan pembakaran kitab-kitab mengenai ajaran muktazilah, telah dilakukan pada zaman kekhalifahan Al-Mutawakkil.
            Banyak masyarakat nonmuktazilah yang merasakan sikap keras kaum muktazilah karena tidak sepaham dengan ajaran muktazilah. Saat zaman Almakmun, ajaran muktazilah sebagai mazhab negara telah digunakan oleh pengikutnya sebagai ajang pemaksaan ajaran muktazilah kepada ulama dan masyarakat. Akibatnya, banyak ulama yang dihukum, ditekan, dan dimasukkan ke penjara hanya karena berbeda pendapat dengan kaum muktazilah. Saat itu kaum muktazilah menjadi minoritas, dan karena keminoritasan inilah masyarakat nonmuktazilah meberikan reaksi keras terhadap sikap dan perlakuan kaum muktazilah.
            Walau demikian, tidak berarti kiprah aliran ini usai begitu saja. Beberapa tokoh aliran ini masih tetap mempertahankan, dan walhasil, muncul salah satu tokoh muktazilah Al-Khayyat yang berperan besar dalam mempertahankan eksistensi aliran muktazilah. Dia dianggap sumber asli aliran muktazilah bagi orang yang ingin tahu seperti apa muktazilah itu. Karya-karyanyalah yang banyak memaparkan tentang aliran muktazilah tersebut. Pada akhir abad kelima hijriah muncul lagi seorang ulama muktazilah, Al-Zamakhsyari, yang berhasil membuat kitab tafsir Al-Kasyaf.
            Pada abad ke-20 ini, meskipun aliran muktazilah terbenam, tapi kini kian banyak cendikiawan muslim maupun nonmuslim dan para orientalis, yang menggali kembali aliran muktazilah sebagai landasan untuk mengetahui dan mendalami problematika keislaman.[8]
      Sungguh ironis memang, jika kaum muktazilah yang menganut paham kebebasan memaksakan ajaran-ajarannya kepada manusia seislam lainnya. “Paksaan dan kekerasan yang mereka pakai menimbulkan lawan dan musuh yang dengan keras menentang aliran muktazilah dan pada akhirnya membawa kepada jatuhnya kaum muktazilah sendiri.,” inilah yang digunakan Harun Nasution untuk mengungkapkan kehancuran Kaum Muktazilah dalam Islam Rasional: Gaagsan dan Pemikiran.


Daftar Pustaka

Muhammad Abu Zahrah, Imam. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos
            Publishing House, 1996)

Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994)

Hanafi, A.  Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995)

Nasution, Harun. Islam Rasional, gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995)




















                 

Setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan, muncullah polemik antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman dan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai gubernur Damsyik. Peperangan antara keduanya pun tak terelakkan karena pihak Muawiyah menginginkan kasus pembunuhan Utsman harus diusut tuntas oleh Khalifah saat itu, tapi keinginan itu terabaikan oleh Ali ra. Di tengah guncangan perang yang mendera, pihak Muawiyah



  1. Paham Qadariyyah, atau orang barat menyebutnya free will and free act.
            Junjungan tertinggi aliran muktazilah adalah kemahaadilan Allah Swt. Wasil mengatakan bahwa Tuhan memiliki sikap bijaksana lagi adil, tidak dapat berbuat jahat dan berlaku zalim. Karena kemahaadilan-Nya itulah, bagi kaum muktazilah, yang menghendaki agar manusia berbuat sesuai kehendaknya, dan daya yang diperlukan untuk mewujudkan perbuatan, harus berdasarkan kehendak dan daya manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Berdasarkan hal itu, manusia pun tak akan lepas dari perbuatan jahat, karena itulah paham kemahaadilan Tuhan sangat mungkin untuk dipertahankan. Tuhan dapat menghukum pelaku kejahatan melalui neraka-Nya, dan karena itu pulalah neraka berfungsi. Jika manusia berkehendak bukan atas dasar dirinya, melainkan dari luar dirinya, dalam arti tuhan, maka sia-sialah pembuatan neraka tersebut.
Ketiadaan sifat-sifat Tuhan. Selain kemahaadilan, kemahaesaan Tuhanlah yang selalu mereka pertahankan dan bagi mereka, Tuhan itu Maha Esa dan Maha Adil. Dengan paham kemahaesaan itu mereka menolak dari pemikiran yang dapat menjerumuskan kepada syirik dan politeisme. Mereka menganggap, jika tuhan memiliki sifat, maka Dia memiliki unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur yang menyifati zat tersebut.






                [1] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) hal. 149
                [2] Ibid
                [3] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) hal. 113
                [4] Ibid, hal. 114
                [5] A. Hanafi, M.A, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Alhusna Zikra, 1995) hal. 70-71
[6] Ibid
[7] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994) hal. 118
[8] Ibid, hal. 119-121

Comments