Tentang Al-Farabi

Riwayat Al- Farabi
Sebutan Al-Farabi berasal dari kota Farab. Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tharkhan Al-Farabi. Al-Farabi pernah tinggal di Baghdad selama 20 tahun, belajar pada Bishr Matta Ibnu Yunus dan Juhana Ibnu Haylam, kemudian ia pindah ke Aleppo untuk memperdalam ilmu pengetahuan.

Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. 

Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha meemadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat. 

Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya . Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu tak ada yang lain.

Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini).

Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai (Peripaterik) filosof-keilmuan. 

Teori Al-farabi tentang tuhan terpangaruh dengan Aristatoles, sedangkan teorinya tentang hubungan antara Tuhan dengan Makhluk-Nya, terpengaruh dengan fikiran Plato. Menurut Aristatoles Tuhan adalah Akal murni. Wajib wujud karena zat-Nya ialah Akal kerena zat-Nya, aqil dan ma’qul karena zat-Nya, baik ia mengetahui selainnya atau tidak.

Dari segi menetapkan adanya perantara antara tuhan dengan mahkluk-Nya. Dan tuhan sebagai Pencipta.  Menurut Al-farabi mengacu kepada teori Plato. Tetapi semua yang maujudat (makhluk) adalah keluar dari tuhan tampa diketahui dan kehendaki-Nya.Kendatipun Al-Farabi terpengaruh dengan teori Emanasinya dari Plato, namun tidaklah diambil seluruhnya, tetapi diolah dan dibahas secara ilmiyah. Al-Farabi menjelaskan teori emanasinya sebagai berikut : Dari Allah yang maha Esa tidak keluar kecuali satu, yaitu “Akal Pertama” (aql awwal). Keluarnya Akal pertama, itu bukanlah karena qudrah dan Iradahatau.

Al Farabi berkeyakinan bahwa filsafat tak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam, oleh karena itu filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat filsafat mereka dalam gaya bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarangan orang, dan dengan demikian iman serta keyakinannya tidak menjadi kacau.Ia juga berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa pada kebenaran, Berikut termasuk isi-isi penting dari filsafatnya:

Falsafat Emanasi atau Pancaran
iTeori emanasi adalah teori pancaran tentang urutan-urutan wajud atau teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Tuhan). Al Farabi berpendapat bahwa segala sesuatu itu keluar/berasal dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.

Tuhan berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud lain. Karena pemikiran tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu dapat menciptakan sesuatu. Tuhan meupakan wujud yang pertama. Karena Tuhan berpikir tentang diri-Nya sendiri yang Esa, maka timbullah maujud kedua yang disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Selanjutnya, akal pertama berpikir tentang Tuhan sehingga timbul akal kedua. Akal pertama juga berpikir tentang diri-Nya sehingga terciptalah langit. Akal kedua berpikir tentang Tuhan, timbul akal ketiga, dan berpikir tentang dirinya, maka terciptalah bintang-bintang. Begitu seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh.
 Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut.
Allah Ta’ala (wujud 1)
berpikir tentang diri-Nya
Akal 1
Akal 1 (wujud 2)
berpikir tentang Tuhan
Akal 2

berpikir tentang diri-Nya
Langit
Akal 2 (wujud 3)
berpikir tentang Tuhan
Akal 3

berpikir tentang diri-Nya
Bintang-bintang
Akal 3 (wujud 4)
berpikir tentang Tuhan
Akal 4

berpikir tentang diri-Nya
Saturnus
Akal 4 (wujud 5)
berpikir tentang Tuhan
Akal 5

berpikir tentang diri-Nya
Yupiter
Akal 5 (wujud 6)
berpikir tentang Tuhan
Akal 6

berpikir tentang diri-Nya
Mars
Akal 6 (wujud 7)
berpikir tentang Tuhan
Akal 7

berpikir tentang diri-Nya
Matahari
Akal 7 (wujud 8 )
berpikir tentang Tuhan
Akal 8

berpikir tentang diri-Nya
Venus
Akal 8 (wujud 9)
berpikir tentang Tuhan
Akal 9

berpikir tentang diri-Nya
Merkurius
Akal 9 (wujud 10)
berpikir tentang Tuhan
Akal 10

berpikir tentang diri-Nya
Bulan
Akal 10 (wujud 11)
berpikir tentang Tuhan
Tidak menghasilkan akal lain

berpikir tentang diri-Nya
Bumi, api, air, udara dan tanah
Pada pemikiran wujud akal kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbul akal-akal. Tetappi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh  materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air, tanah, 

Demikian gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman Al Farabi. Pemikiran akal kesepuluh tentang Tuhanpun tidak cukup kuat untuk menghasilkan akal, juga karena tidak ada lagi planet yang yang akan diurusnya. Masing-masing akal mengurus planetnya dan akal kesepuluh ini terkadang disebut juga Jibril.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam atau baharunya alam, Al Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal, menurut Al Farabi alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur melainkan sekaligus dengan tak berwaktu.

Selain itu Al Farabi juga mengarahkan perhatiannya pada problema politik. Ia menulis buku al Madinattul fadilah (negeri utama) dala beberapa risalah, antara lain: tahshilus sa’adah (memperoleh kebahagiaan) dan banyak lagi lainnya. Menurut Al Farabi juga terdapat tiga macam keutamaan, yaitu: keutamaan pandangan, keutamaan akhlaq.dan keutamaan berfikir. 

Al Farabi juga membagi jiwa manusia kepada tiga bagian, yaitu jiwa vegetatif yang memiliki daya makan, tumbuh dan bereproduksi, jiwa sensitif yang memiliki daya gerak, pindah dan menangkap dengan pancra indera, terakhir jiwa rasional yang memiliki daya berpikir (akal). Akal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu akal praktis (gerakan tubuh) dan akal teoritis. Akal teoritis memiliki 4 tingkatan, yaitu akal potensial (material), akal mungkin (Bakat/pengetahuan rasional I), akal aktual (pengetahuan rasional II), dan akal mustafad (akal perolehan/pengetahuan intuitif).

Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki para fisosof. Akal mustafad sudah dapat menangkaparti-arti murni yang tidak berhubungan dengan material karena akal ini sudah tidak membutuhkannya. Akal mustafad mepunyai kesanggupan berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Ia sudah tidak mempedulikan dan membutuhkan serta telah sanggup melepaskan diri dari segala ikatan jasmani dan material. Inilah akal yang sempurna dalam jiwa manusia.

Daftar Pustaka
Nasution, Harun. 1995. Falsafat dan  Mistisme dalam Falsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Fuad, Ahmad. 2008. /filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Comments