Kota
itu sumpek. Matahari pun sulit masuk. Gelas-gelas terbalik
yang menjulang berpadatan. Gerumulan semut berjas berjalan cepat di
sekitarnya sembari menjinjing tasnya. Pagi itu, berbondong-bondong mereka
memasuki gelasnya masing-masing dan menongkrongi ruang kerjanya hingga sore
hari.
Di kota itu, pelayanan masyarakat dilakukan. Keramaian dalam sebuah gedung pemerintah diwarnai para pelayan dan penunggu. Seorang ibu di kantor itu menunggu begitu lama antrean. Umurnya sekitar 40 tahunan. Orang di sebelahnya yang baru duduk sekitar 10 menit, langsung menuju loket pembayaran, dan menyelesaikan urusannya di loket itu. Dari tadi Banu memandang ibu ini. Dihampirinya kemudian.
Di kota itu, pelayanan masyarakat dilakukan. Keramaian dalam sebuah gedung pemerintah diwarnai para pelayan dan penunggu. Seorang ibu di kantor itu menunggu begitu lama antrean. Umurnya sekitar 40 tahunan. Orang di sebelahnya yang baru duduk sekitar 10 menit, langsung menuju loket pembayaran, dan menyelesaikan urusannya di loket itu. Dari tadi Banu memandang ibu ini. Dihampirinya kemudian.
“Sepertinya
Ibu sudah menunggu lama, apa ada yang bisa saya bantu?” kata Banu dengan senyum
lembut.
“Iya,
saya mau bayar pajak penghasilan.”
“Mari
ke meja saya saja, bu.”
Urusan
ibu itu selesai. Saat mereka berdua bangun dari kursi yang dari tadi diduduki,
Banu melihat si ibu sedang menggenggam kertas yang dilipat-lipat berwarna
kemerah-merahan. Saat si ibu hendak mengajaknya berjabat tangan, Banu tidak
menyambut tangannya.
“Tidak
usah, bu. Ambil saja…”
“Tidak,
ambil saja mas… Saya ikhlas kok..”
Banu
menegaskan perkataannya, “Maaf ya bu, ibu sudah membayar apa
yang harus dibayar warga negara, jadi itu sudah cukup.”
Ibu
itu terheran dengannya. Raut wajahnya yang heran, bagi banu mengandung banyak
tafsiran. “Apakah ia marah, atau senang?” pikirnya. Tapi ternyata, setelah diam
lima detik tanpa ada perkataan, si ibu menyerah dan mengucapkan terima kasih,
lalu ia pergi meninggalkan gedung.
Soban
Banu, Enam bulan baru berada di sana sebagai pelayan. Ia masih berjuang untuk
tabah menerima kesesakan jiwanya. Sebenarnya ia tak ingin bekerja di kantor,
atau pada pekerjaan yang hanya duduk manis di ruangan. Keluyuran lebih
disukainya. Tapi sekarang mulai sedikit legowo. Keluarganya sudah
berlarut-larut dengan utang. Terpaksa juga ia bekerja dengan tiada suka karena
dipaksa keadaan.
Ayahnya
telah tiada karena kanker ganas. Empat adik ia miliki. Dua masih sekolah
menengah pertama, dan dua lagi masih kecil-kecil. Kondisi ini semakin
memaksanya mencari kerja saat itu, dengan gelar sarjana yang telah
disandangnya.
Ayahnya
pernah berpesan, “Tidak usah bekerja di instansi pemerintah. Bikin banyak
melihat dusta yang tidak harus, atau malah kamu bisa melakukan dusta yang tidak
harus itu.”
Kini
bekerja juga Banu di sana. Ia berusaha melawan arus gelombang yang kuat itu.
Berusaha tak terhempas. Nyatanya cukup terhempas juga. Tak banyak rekan kerja
yang menyenanginya. Malah, bisa dibilang tidak ada. Rekan lainnya tak sealiran
dengannya. Selalu menabraknya. Kucilan rekan-rekannya selalu ia peroleh karena
amplop yang selalu tidak diambilnya.
Baru-baru
Banu sudah kena skors. Sebelumnya, ia pernah ikut rapat. “Setiap warga
dikenakan biaya tambahan. Biayanya untuk kas kantor ini. Karena itu, kalian
harus menambah biayanya!” Kata Toto memberi perintah tegas saat rapat
berlangsung.
“Kenapa
harus ada tambahan dana untuk masyarakat. Toh, mereka yang ke sini itu untuk
memenuhi tugas warga negara mereka,” kata Banu melawan ketegasan pimpinannya
itu.
“Hei
anak baru gede... Tahu apa kau?? Di sini aku yang membuat kebijakan, kau tidak
berhak apa-apa. Lagi pula yang lain juga sepakat,” kata Toto Panoto.
“Aku
tidak peduli apakah aku anak baru atau bukan? Tapi aku dan kalian adalah
manusia. Tak ada perbedaan. Manusia di luar sana pun bukan hewan yang mungkin
kalian tidak anggap. Keadaan di luar sana tidak sama dengan kita yang dijamin
oleh pemerintah sampai kita menuju liang lahat. Tapi mereka berbeda.
Penganggur seakan dipaksa menganggur, karena salah satu penyebabnya adalah
pemerasan oleh kita. Banyak yang masih menadahkan tangannya. Apakah penadahan
tangan mereka itu mampu memberi lebih sesuai yang kita harapkan. Dana yang kita
pegang akhir bulan adalah milik mereka. Kalian pasti tahu itu!”
Semua
melongo saja melihat anak ingusan ini berkata. Diam berarti tidak setuju pada
si ingusan ini. Yang lainnya hanya menurut-nurut saja dengan perkataan bos-nya.
Diam karena takut dan memilih untung dari pada buntung.
“Ya,
sudah… kalau kau tak sepakat tak apa-apa. Tak ada pengaruhnya. Ini adalah
ketentuanku. Jadi, besok… semua pegawai di sini harus menerapkan kebijakan ini.
Yang tidak melakukan, jadi urusanku. Camkan baik-baik…!!!”
Semua
meninggalkan ruang itu dengan wajah berseri-seri. Kecuali Banu. Sejak itu,
meski peraturan sudah diketok, ia masih berbuat apa adanya, seperti tanpa
keberadaan aturan yang diciptakan dari Si Kumis Tebal, Toto.
Dengan
tindakannya itu, pegawai lain mengadukannya kepada si kumis tebal. Hasilnya,
Banu tidak boleh bekerja beberapa hari. Dan, pada akhir bulan, ia
mendapatkan separuh dari gaji yang biasa ia dapatkan. Lantas, ia segera
menghadap pimpinannya.
“Kenapa
gaji saya cuma separuh?”
“Karena
kamu tidak melakukan perintahku, itu akibatnya.”
“Bapak
ini aneh.. saya melakukan apa yang jadi seharusnya dilakukan.”
“Yang
seharusnya, itu nurut dengan perintah saya, tahu!”
Banu
berpaling darinya dan keluar dengan wajahnya yang muram. Ia bingung dengan
segala kebingungannya dan duduk di kursi kerjanya dengan dua tangan yang
menggenggam rambut kepalanya. “Sebenarnya di mana kebenaran? Apakah perbuatan
mereka itu benar, sehingga harus dibela?” pikirannya tersangkut di ranting
keruwetan. Belum selesai ia berpikir tentang kebenaran, pikirannya mengawang ke
arah keadaan keluarganya yang semakin melarat.
Sebenarnya,
ibunya beserta dua adiknya selalu merasa kesulitan menghadapi hidup dengan
sifat Banu yang seperti itu. Teguh pada pendirian. Dalam kesehariannya,
keluarganya selalu makan dengan nasi saja. Paling banter, nasi dengan garam
atau bumbu penyedap. Kehidupannya di kota tidak sesuai dengan orang-orang yang
sering bicara tentang enaknya hidup di kota. Apalagi Banu bekerja di jantung
negerinya.
“Apakah
kenikmatan hidup di ibukota harus dengan penindasan dan kemunafikan? Siapa yang
gila? Aku atau mereka? Ah.. tidak, pasti mereka yang gila. Aku melakukan ini
dengan nurani manusiaku. Aku yakin. Sangat yakin. Mereka hanya kedok. Kedok
yang memperlihatkan kenikmatan hidup. Hatinya, aku yakin mereka gelisah sama
sepertiku, tapi mereka tak mau tunjukkan itu,” pikir Banu panjang lebar.
Seakan
menemukan titik celah melewati dilema antara kebenaran dan keburukan, akhirnya
Banu tetap teguh dengan pendiriannya. Ia mengajak masyarakat lainnya untuk
melakukan aksi di depan istana negerinya. Ia katakan kepada kerabat-kerabatnya,
tetangganya, tentang apa yang sebenarnya terjadi di kantornya. Kali
ini ketakutan dengan pemecatan atau apapun itu telah lenyap. Ia hanya ingin
membela apa yang dilihatnya. Keluarga maupun masyarakat sekitarnya.
Usahanya
tidak sia-sia, ia berhasil mengajak massa untuk aksi bersamanya. Begitu banyak
massa yang percaya padanya. Tukang ojek, becak, sayuran, asongan, dan lainnya
merasakan hal yang sama dengan Banu. Lelaki ataupun perempuan tak dikenal. Yang
dikenal adalah manusia. Mereka tergugah dengan ajakan itu karena sebuah keprihatinan
terhadap dirinya dan sekitarnya. Ajakan itu hanya ditujukan kepada orang-orang
yang dirasa tidak dianggap oleh pemerintah. Mereka tidak tanggung-tanggung
dengan yang dituntutnya.
Spanduk
bertuliskan, “BUBARKAN NEGARA INI JIKA TAK ADA KEBENARAN” terbentang panjang
dalam aksi itu.
Suara-suara
teriakan berkumandang di jalan-jalan dan menyerukan, “KAMI TIDAK BUTUH
KEKAYAAN, KAMI BUTUH KEBENARAN.” Teriakan itu menggemuruhkan terik panas.
Mereka bernyanyi keras sembari mengangkat salah satu tangannya.
Ketika
itu, oleh pihak istana, pemimpin aksi itu disuruh menemui pemimpin negeri itu.
Siapa lagi yang masuk kalau bukan Banu. Ia masuk menemuinya dengan
melengak-lengok memperhatikan kemegahan dalam istana yang begitu indah, yang
tidak sebanding dengan kondisi rakyat di negerinya. Lalu ia bertemu dengan
pemimpin negerinya. Lidah agak kelu berucap ketika sang pemimpin bertanya.
“Sebenarnya
kamu ingin apa?”
“Aku
ingin kebenaran, kejujuran, dan kemakmuran.”
“Di
sini semua itu tak ada. Orang-orang saja masih memperdebatkan apa yang
kamu tanyakan.”
“Kenapa
harus diperdebatkan ? Itu cukup dilakukan. Yang harus diperdebatkan,
kenapa ketiga itu tidak terlaksana? Seorang pemimpin yang cerdas tentu tahu
fungsi utamanya. Yang terjadi kini, lebih banyak yang melahap individualisitik
dan membuang fungsi sosialnya.”
“Langsung
saja konkritnya, apa maumu?“
“Aku
rakyatmu, jadi patuhi kemauan rakyatmu. Aku ingin semua lembaga pemerintah di
negara ini tidak ada uang-uang kotor yang memeras rakyat, dan hilangkan semua
nepotisme di negeri ini,” ucapan itu terlempar begitu saja.
“Itu
sulit, yang bisa kita lakukan hanyalah usaha. Sebab, masalah ini menyangkut
hati tiap orang.”
“Aku
tidak butuh jawaban normatif. Aku butuh sistem yang tegas.”
“Sistem
yang tegas ya? Baiklah, aku akan membuatnya. Tenang saja.”
Perjanjian
itu disepakati di atas kertas putih dengan diwarnai tinta hitam. Sang pemimpin
berjanji sebelum masa jabatan yang tinggal 2 tahun lagi berakhir, ia akan
membuatnya. Rombongan aksi pun kembali ke tempat mulanya.
Tak
lama, sang pemimpin mendapat panggilan telepon dari salah satu lembaga
pemerintah. Ternyata itu pemimpin kantornya Banu. Ia mengatakan, yang mengawali
adanya aksi itu adalah anak buahnya. Sang pemimpin itu hanya berkata, “oh,
begitu..”
Setelah
kejadian itu, Banu masuk kerja seperti biasa, walau sehari sebelumnya ia
menimbulkan peristiwa itu. Siang bolong mulai meredup, matahari mulai
menampakkan petangnya. Ia pulang dari kantor dengan berjalan kaki. Pohon-pohon
rindang menemani jejak langkah kakinya. Seperti biasa, ia selalu memotong jalan
melewati gang-gang kecil hasil berapitnya dua gedung. Tiap dilewati, di sana
selalu tampak sepi.
Tapi
tak seperti biasa, di sana ada gerombolan yang sedang bercanda ria. Mereka
memakai setelan serba hitam. Wajah mereka tak terlihat karena gelapnya lorong.
Saat dilewatinya mereka, Banu mengucapkan permisi. Mereka pun telah dilewati.
Setelah melewati mereka dua langkah, Banu melihat bayangan dari belakang seakan
mau memukul dari belakang.
Banu menoleh ke belakang. Baru setengan tolehan, ia merasakan begitu sakit kepalanya oleh benda keras yang kejam. Matanya seperti buta. Bibirnya beku. Semuanya tak berguna. Semua hitam. Ia merasakan dirinya bagaikan batu yang terjatuh ke jurang. Udara masih bisa dihirup. Saat itu pula, ia merasakan butiran berkali-kali masuk ke dalam dadanya.
Banu menoleh ke belakang. Baru setengan tolehan, ia merasakan begitu sakit kepalanya oleh benda keras yang kejam. Matanya seperti buta. Bibirnya beku. Semuanya tak berguna. Semua hitam. Ia merasakan dirinya bagaikan batu yang terjatuh ke jurang. Udara masih bisa dihirup. Saat itu pula, ia merasakan butiran berkali-kali masuk ke dalam dadanya.
Orang-orang
itu pergi. Mereka menghubungi seseorang lewat telepon genggamnya. “Dia sudah
kami selesaikan,” kata salah satu dari mereka.
“Bagus,
sekarang beri tahu beliau.”
“Bagaimana
dengan bayaran kami?” ungkapnya dengan suara yang seperti berbisik.
“Tenang
saja, datang saja ke kantorku.”
Salah
satu gerombolan menghubungi seseorang lagi. Sementara yang lainnya mengawasi keadaan
sekitar.
“Dia
sudah kami bereskan.”
“Hahaha….
Bagus! Bicara kebenaran, kejujuran, kemakmuran?? Kekuasaan jawabannya, kekayaan
hasilnya. Dasar anak sok...!”
Ditulis pada 2012. Cerpen ini dilombakan
pada lomba cerpen yang diselenggarakan oleh
Malang Pos di 2012 (seingatku), tapi tak menang.. hehe
Comments