PENDAHULUAN
Ajaran agama Islam memiliki dua prinsip yang tidak akan pernah dan boleh dilupakan, keduanya yaitu:
- Aqidah. Ini merupakan landasan ketuhanan bagi setiap muslim bahwa hanya Allah Swt Sang Pencipta semesta alam, yang mematikan dan menghidupkan, serta merupakan ikrar bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah azza wa jal.
- Syariat Islam. Ini merupakan jalan untuk menggapai keridhaan Allah Swt melalui mengerjakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya. Syariat Islam terbagi dua:
1. Ibadah. Ini dirumuskan dalam lima rukun Islam.
Dalam hal ini penulis hanya membicarakan materi Muamalah saja. Sebagaimana yang kita ketahui muamalah memiliki ruang lingkup yang luas, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya. Ini disebabkan adanya dinamika dalam masyarakat dan minimnya dalil yang menjelaskan hal tersebut. Untuk itu dibutuhkan kefleksibelan dan kedinamisan kaidah-kaidah hukum muamalah. Makalah ini menyajikan intisari dari muamalah sebagai sunnatullah yang tidak dapat kita lepaskan. Semoga makalah yang singkat ini dapat mengingat dan memperluas ilmu yang pernah didapat.
PEMBAHASAN
1. Riba
Secara bahasa riba berarti tambahan atau kelebihan, berasal dari kata rabiyah dan rabwah yang artinya bukit atau tanah tinggi. Secara istilah yang diambil dari pengertian riba terdahulu pada zaman jahiliyah, dan seluruh pendapat ulama mengenai riba jahiliyah dapat disimpulkan bahwa riba jahiliyah merupakan pembayaran hutang yang lebih besar dari jumlah pinjamannya sebagai imbalan tenggang waktu yang diberikan dari pemberi hutang, dan kelebihan itu dapat meningkat berlipat ganda jika telat bayar.
Berikut nash mengenai keharaman riba.
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: “Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…”(QS. Albaqarah: 275)
Dan setelah datangnya Islam, maka sistem riba diganti dengan sistem ekonomi Islam yang didasari oleh kedermawanan dalam memberikan hutang tanpa riba. Allah Swt berfirman.
“Dan jika orang yang berhutang itu dalam keadaan sulit, berilah ia tenggang waktu, hingga ia merasa lapang…” (QS. Albaqarah: 280)
Ada dua macam riba, yaitu Riba Nasiah dan Riba Fadhlal.[2] Berikut penjelasannya.
- Riba Nasiah. Umumnya para fuqaha berpendapat bahwa riba yang dimaksudkan dalam Alquran adalah Riba Nasiah, yaitu riba yang telah dilakukan pada zaman jahiliyah. Dengan kata lain Riba Nasiah dapat disebut Riba Jahiliyah.
2 Riba Fadhlal. Riba ini berkaitan dengan jual-beli, yaitu kelebihan yang diperoleh dalam tukar-menukar barang sejenis, misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, dan sebagainya. Rasulullah bersabda.
“Emas bertukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai (jewawut) dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang serupa dengan yang serupa, yang sama dengan yang sama, tunai dengan tunai. Maka barang siapa menambah atau meminta tambahan, berarti telah melakukan riba. Apabila jenis- jenis ini berlainan satu yang lain, maka berjual-belilah sebagaimana yang kalian kehendaki.”
Kebanyakan Ahli fiqih bependapat bahwa enam jenis barang dalam hadits di atas hanyalah contoh dan bukan pengkhususan barang-barang yang dapat diribakan. Hadits di atas menjelaskan bahwa diharuskan tukar-menukar suatu barang dengan barang yang sama pula dalam ukuran yang sama dan kontan. Bila tukar-menukar suatu barang dengan barang yang berbeda, maka diperbolehkan dan ditentukan melalui kesepakatan kedua belah pihak.[3]
Di antara Sahabat dan Tabi’in yang memperbolehkan riba fadhlal dengan mutlak: Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Usamah bin Zaid, Ibnu Zubair, Zaid bin Arqam, Said bin Musayyab dan Urwah bin Zubair.[4]
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa segala sesuatu yang dijual dengan takaran dapat dimasuki riba. Imam Syafi’ berpendapat bahwa emas, perak, dan segala makanan dan minuman yang memakai takaran dan timbangan itu yang dapat dimasuki riba.
Keharaman Riba Fadhlal itu masih diperselisihkan, karenanya Muhammad Abduh berpendapat bahwa keharaman riba fadhlal hanya untuk menjauhi agar tidak masuk dalam kategori riba nasiah. Ibnu Qayyim berpendapat yang intinya riba fadhlal diharamkan untuk menjauhi kejahatan, jika lebih banyak mashlahat dari mudharatnya, maka diperbolehkan.[5]
2. Jual-beli
Jual-beli adalah menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu. Berikut beberapa rukun jual-beli:
- Penjual dan pembeli. Keduanya memiliki syarat yaitu:
- Berakal. Orang gila (keterbelakangan mental) tidak sah jual-belinya.
- Kemauannya sendiri (tanpa paksaan)
- Keadaannya tidak mubazir
- Baligh. Anak kecil tidak sah jual-belinya. Tetapi sebagian ulama membolehkan berjual-beli barang yang kecil-kecil bagi anak kecil
- Barang dagangan dan barang untuk membeli. Berikut syarat keduanya.
- Suci. Jika barang yang dijual dan barang yang dijadikan alat pembayaran najis, maka menjadi tidak sah
- Bermanfaat
- Barangnya dapat diserahkan langsung. Maksudnya, tidak sah menjual seperti ikan dalam laut, barang gadaian, dll.
- Barang milik sendiri, atau memiliki kekuasaan atas barang tersebut
- Barang diketahui penjual dan pembeli, mengetahui zatnya, bentuk, takaran,dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi kecoh-mengecoh.[6]
3. Ijab dan Qabul. Salah satu prinsip yang menjadikan sahnya jual-beli adalah akad. Fuqaha memandangnya sebagai salah satu rukun dalam jual-beli. Akad secara bahasa berarti simpulan, perikatan, perjanjian, permufakatan. Para fuqaha mengistilahkan akad sebagai berikut.
“Ijab dan qabul (serah terima) menurut bentuk yang disyariatkan agama, nampak bekasnya pada yang diakadkan itu.”[7]
Akad jual-beli ditentukan dua ungkapan: Pertama, yang menunjukkan pada ijab. Kedua, yang menunjukkan pada qabul. Keduanya adalah bi’tu (aku menjual) dan isytaroytu (aku beli). Keduanya mengandung makna, baik dengan ucapan maupun tindakan.[8] Mengenai lafadznya kebanyakan ulama menganggap cukup dengan perkataan yang menunjukkan kesukaanya. Tetapi Imam Nawawi beserta ulama lainnya menganggap tidak perlu dengan perkataan, tapi dengan kebiasaan saja. Jika hal itu sudah dianggap jual-beli, maka sudah cukup karena tidak ada dalil yang mewajibkan lafadz tersebut.
2.1. Beberapa jual-beli yang sah tetapi terlarang
Latar belakang timbulnya larangan yaitu: (1) Menyakiti si penjual, si pembeli, atau orang lain. (2) Menyempitkan gerakan pasaran. (3) Merusak ketenteraman. Berikut pembagiannya:
- Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar sedangkan ia tidak ingin memiliki barang itu, tapi hanya semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
- Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar
- Menghambat orang-orang desa datang ke kota (pasar) dan membeli barangnya agar mendapat harga yang lebih murah karena orang desa tidak tahu harga pasarannya sebelum ia datang ke kota (pasar).
- Menimbun barang dagangan untuk dijual ketika harga jual meningkat.
- Menjual barang yang berguna menjadi alat kemaksiatan bagi pembelinya.
- Jual-beli yang berunsur penipuan dari pihak pembeli maupun penjual.
2.2. Khiyar
Khiyar merupakan hak dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi meneruskan atau membatalkan transaksi.[9] Tujuan dari khiyar ini tidak lain ialah demi kemashlahatan pihak-pihak yang bersangkutan, memelihara kerukunan, dan menjalin hubungan yang baik agar tidak ada dendam atau pun penyesalan dan yang lainnya. Khiyar terbagi beberapa macam, yaitu.
a) Khiyar ru’yah. Seorang pembeli yang memiliki hak untuk melihat barang yang akan dibelinya. Khiyar Ru’yah dapat dikatakan masa untuk memperhatikan barang, berfikir-fikir untuk memutuskan apakah akan dibelinya atau tidak.
b) Khiyar majlis. Jika akad jual-beli telah dilakukan dan masih berada di tempat akad tersebut, maka masih memiliki hak khiyar. Inilah yang disebut khiyar majlis.
c) Khiyar syarat. Yaitu dari pihak pembeli menentukan waktu tertentu untuk dilaksanakan kembali khiyar. Ini ditetapkan atas dasar kesepakatan antara penjual dan pembeli.
d) Khiyar ‘aib. Khiyar yang mewajibkan pihak penjual untuk menjelaskan keadaan barang dagangannya dan dilarang menyembunyikan kecacatan barang dagangannya kepada calon pembeli.
3. Utang-Piutang
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dalam jumlahnya. Dari Ibnu Masud, “ SesungguhnyaNabi besar saw telah bersabda, “seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali.” (Ibnu Majah)
Riwayat lain Rasulullah saw bersabda, “Allah akan menolong hamba-Nya selama itu menolong saudaranya.” (HR.Muslim)
3.1 Hukum Memberi Utang
Memberi utang hukumnya sunah, bahkan dapat menjadi wajib seperti mengutangkan orang yang telantar. Memang telah dipungkiri bahwa hal ini merupakan pekerjaan yang sangat bermanfaat terhadap masyarakat di tengah kehidupan yang amat sulit ini.
3.2 Rukun Utang-Piutang
1. Lafadz (kalimat mengutangi) seperti: “saya utangkan ini kepada engkau”. Yang berutang berkata, “saya mengaku berutang kepada engkau.
2. Adanya Yang berpiutang dan berutang.
3. Barang yang diutangkan: tiap-tiap barang yang dapat dihinggakan atau ditambahkan, boleh diutangkan. Begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.
3.3 Menambah Bayaran
Melebihkan bayaran dari sebanyak utang: Kalau kelebihan itu memang didasarkan dari kemauan yang berutang dan bukan termasuk kesepakatan atau perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu diperbolehkan bagi yang mengutangkannya dan menjadi kebaikan untuk orang yang membayar utang. Rasulullalh bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.”
Rasulullah dalam sabdanya yang lain:
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah mengutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari hewan beliau utangi itu, dan Rasulullah bersabda, ‘Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.’” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Adapun tambahan yang dikehendaki oleh orang yang berpiutang atau telah menjadi perjanjian sewaktu akad, tidak boleh. Tambahan itu tidak halal jika orang yang berpiutang mengambilnya. Misalnya orang yang berpiutang berkata kepada yang berutang: Saya berikan pinjaman kepada engkau dengan syarat sewaktu membayar engkau tambahan sekian. Rasulullah bersabda:
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia termasuk dalam beberapa riba.”
4. Bank
Adapun pendirian bank yang sudah sering menjadi pembicaraan oleh beberapa orang Islam yang terkemuka di Indonesia, baik dengan jalan pidato maupun di banyak surat kabar, dalam hal ini sebaiknya diadakan permusyawaratan dari dua golongan.
1. Alim ulama yang benar-benar memikirkan kepentingan agama dan masyarakat.
2. Pihak ahli ekonomi yang benar-benar ahli dalam hal bank dan perdagangan.[10]
Dari permusyawaratan ini akan didasarkan pada keadaan dan kemaslahatan masyarakat dengan tidak mengenyampingkan prinsip agama Islam. Mereka itulah yang dapat memutuskan bahwa pendirian bank dapat dilakukan dengan cara yang tidak termasuk golongan riba, atau mungkin memang sudah sampai dalam kategori “darurat”.
4.1 Deposito Bank
Deposito bank merupakan uang yang dititipkan kepada pihak bank dari seseorang atau lembaga usaha tertantu untuk disimpan, kemudian ditarik kembali saat dibutuhkan, atau berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Ditinjau dari kebebasan pihak bank dalam mengoperasikan deposito, maka deposito terbagi dua:
1. Deposito Kontan Biasa. Yaitu deposito yang digunakan dan dioperasikan secara bebas oleh pihak bank, namun pengembaliannya harus sesuai dengan waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak bank dan pihak pemberi pinjaman.
2. Deposito Support atau Deposito Kontan dengan target tertentu. Deposito ini tidak bisa dipakai pihak bank sesukanya, tetapi harus disimpan untuk diberikan atau dipinjamkan kepada orang tertentu.
Secara Ilmu Fikih, deposito ini dapat dikatakan sebagai pinjaman kepada pihak bank. Karena hakekat peminjaman adalah: pemindahan kepemilikan harta kepada pihak lain untuk dikembalikan lagi kepada yang meminjamkan.
Menurut pendapat Ibnu Qudamah yang dikutip dalam buku Fikih Ekonomi Keuangan Islam, dikatakan bahwa “dibolehkan meminjamkan dirham dan dinar untuk dijadikan acuan timbangan. Namun kalau untuk dibelanjakan, hal ini disebut utang.” Dalam Al-Mabsuth oleh As-Sarkhasi dikatakan, “peminjaman dirham, dinar atau uang adalah utang. Karena pinjaman tersebut boleh digunakan.” Dalam Tuhfat Al-Fuqaha oleh As-Samarqandi dikatakan, “segala sesuatu yang dapat digunakan dengan mengkonsumsinya, bila dipinjamkan, maka menjadi utang. Namun disebut pinjaman dalam kiasannya. Jika didalamnya terdapat riba, maka sudah jelas itu haram. Kita pun telah tahu deposito bank saat ini terdapat riba.
4.2 Kredit Bank
Kredir bank merupakan proses ketika bank meletakkan sejumlah dana padanasabahnya untuk digunakan dengan perjanjian bahwa dana itu harus dikembalikan beserta bunganya. Berikut bentuk-bentuk kredit bank:
- Kredit bank dengan sistem pelunasan.
Maksudnya dari pihak bank menyerahkan sejumlah uang kepada nasabahnya atau kepada pihak lain dengan konsekuensi harus dikembalikan beserta bunganya. Di antaranya seperti peminjaman, pemotongan nilai uang dan divestasi. Berikut penjelasannya.
a. Peminjaman. Dalam hal ini memiliki dua metode dalam dunia perbankan, yaitu peminjaman biasa yangbersifat manual dan dengan cara membuka giro. Peminjaman biasa adalah peminjaman yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Peminjaman cara membuka giro maksudnya pihak berjanji akan memberikan pinjaman kepada nasabahnya selama waktu yang ditentukan. Intinya adalah janji untuk meminjamkan.
b. Pemotongan nilai uang. Maksudnya adalah sebuah kesepakatan di mana pihak bank memberikan terlebih dahulu dana berkuitansi sebelum jatuh tempo si nasabah memilikinya, tetapi didahului dengan pemotongan nilai sesuai dengan bunga dan biaya administrasi sebagai kompensasi, karena pihak nasabah sendiri ingin mendapatkan dana cepat dan merelakan sebagian dananya berupa cek di bank bersangkutan. Jadi, administrasi. Hal yang diperbolehkan dalam hal ini adalah ketika uang administrasi menjadi imbalan satu usaha atau jasa. Yang tidak diperbolehkan adalah ketika keuntungan yang menjadi imbalan dari peminjaman uang, dan sudah termasuk dalam kategori riba.
c. Divestasi. Pengertiannya adalah sebuah perjanjian tertulis yang berasal dari pihak bank berdasarkan permintaan eksportir untuk kepentingan importir, pihak bank juga berjanji membayar atau menerima sistem pengiriman yang dilampiri dengan kwitansi penulisan barang, dengan catatan barang tersebut datang sesuai dengan yang tertulis dalam kertas perjanjian.
- Kredit bank dengan jaminan.
Dalam hal ini, pihak nasabah harus puas dengan campur tangan pihak bank terhadap jaminan yang dia berikan untuk digunakan sesuai dengan tujuan yang disepakati dalam perjanjian, sehingga dapat memberikan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan
4.3 Pasar Bursa
Bursa adalah pasar yang di dalamnya usaha jual-beli saham, berkaitan dengan hasil bumi (pertanian), yang melibatkan para broker yang menjadi perantara antara penjual dengan pembeli. Di sisi lain pasar bursa banyak mengandung kezhaliman dan kriminalitas seperti perjudian, perekrutan uang dengan cara haram, monopoli jual-beli, memakan uang orang dengan bathil, juga mempermainkan keseimbangan masyarakat. Karenanya menyebabkan hancur terpuruknya potensi ekonomi dalam jangka pendek. Berikut macam-macam pasar pursa:
Dari segi waktunya:
- Transaksi langsung. Maksudnya dua pihak pelaku transaksi melakukan serah terima jual-beli secara langsung tatap muka dan paling lambat 2 kali dalam 24 jam. Jenis transaksi ini menggunakan barang sungguhan, bukan sekedar transaksi semu. Prinsipnya ada serah terima rill.
- Transaksi berjangka. Merupakan transaksi yang diputuskan setelah beberapa waktu kemudian yang ditentukan dan disepakati saat transaksi. Adapun transaksi ini umumnya hanya sejenis investasi terhadap berbagai jenis harga tanpa keinginan untuk melakukan jual-beli secara riil. Jual-beli ini pada umumnya hanya transaksi pada naik turunnya harga-harga itu saja.
Tentu ini bertentangan Islam. Jika kerja sama investasi dalam fikih, adalah menyerahkan modal kepada orang yang mau berniaga dengan menerima sebagian keuntungannya. Berbeda dengan hal ini, kerja sama investasi dalam dunia bursa adalah dengan mengandalkan cara jual-beli atas dasar prediksi atau perkiraan, yaitu prediksi terhadap perubahan drastis harga pasar untuk mendapatkan nilai lebih.
Berikut pasar bursa dilihat dari segi objek.
- Transaksi atas barang-barang komoditi (bursa komoditi)
Dalam bursa komoditi, umumnya berhasil dari hasil alam dan barang-barang tersebut tidak hadir. Suatu barter dilakukan dengan menggunakan barang contoh atau berdasarkan dari satu jenis komoditi yang disepakati dengan penyerahan tertunda.
- Transaksi atas surat-surat berharga (bursa efek)
Bursa efek ini objeknya adalah saham dan giro. Kebanyakan bursa efek ini juga menggunakan kertas-kertas saham teresbut.
Tentu pasar bursa tidak diperbolehkan dalam Islam. Karena tidak ada unsure serah terima dalam pasar ini, padahal syarat jual-beli adalah adanya serah terima dalam barang yang disyaratkan adanya serah terima barang dagangan. Juga dalam pasar bursa tidak mengambil uang pembayaran terlebih dahulu pada waktu transaksi sebagaimana jual-beli saham. Ini juga berbahaya karena pasar bursa memberikan pengaruh dalam skala besar. Ini juga dikarenakan tidak bersandarnya pada mekanisme pasar, tetapi justru terpengaruh banyak hal, di antaranya adalah oleh para pemerhati pasar, sebagian lagi oleh monopoli berita bohong dan sejenisnya. Inilah yang sangat dilarang dalam Islam.
Daftar Pustaka
Al-Assal, A. Muhammad dan Ahmad A.K., Fathi. “Sistem, Prinsip, & Tujuan Ekonomi Islam” (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)
An-Nabhani, Taqiyudin. “Sistem Ekonomi Islam” terj. Annizham Al-Iqtshadi fi Al-Islam (Bogor: Al-Azhar Press, 2009) h. 150
Rasyid, Sulaiman. “Fiqh Islam” (Bandung: Sinar Baru, 1988)
Yaqub, Hamzah. ”Kode Etik Dagang Menurut Islam” (Bandung: Diponegoro, 1984) h. 72.
Comments