Merbabu, I’m coming

Gunung Merbabu dari kejauhan.
Sekelompok pendaki muda sedang menyiapkan dirinya untuk menuju puncak Merbabu, Kenteng Songo. Sebelum berangkat, doa pun dipanjatkan. Hamparan hijau dan bebukitan serta kesejukan udara mengiringi perjalanan mereka. Tapak demi setapak, mereka melalui jalan kecil yang dihimpit jurang punggungan. Tanah sedikit gambut. Acapkali, mereka yang tergabung dalam Ikapala ini terpeleset karenanya. Perlahan mereka mulai kelelahan. Sebagian membawa tas caril besar ukuran 80 liter. Ada juga yang berukuran 60 liter.

Salah seorang begitu jauh berada di depan. Dan sisanya seperti ikut terseret-seret mengikuti jejaknya. Tapi, apa daya, fisik mereka kuat, meski sebenarnya selalu istirahat karena mereka kan juga manusia coy. Istirahat dilakukan lebih awal oleh orang-orang yang paling belakang. Hah, cukup lelah. Saat berusaha berdiri,kaki mulai gemetar, tapi perjalanan dilanjutkan. Saat berjalan lagi, kawan-kawan yang berada di depan sudah menunggu kami di landai. Mereka pun istirahat lagi. Tak lama, lalu berjalan lagi. Berjalan lagi, lalu istirahat.
Saat sampai di sebuah tanah lapang yang indah, terhampar bunga-bunga berwarna putih yang menghilangkan rasa lelah kami. Bunga itu Eidelweiss. Bebukitan yang tinggi nan hijau tak terasa ada di seberang dan di bawah kami. Luas, hampar, hijau, tertata amat rapi, seperti ada yang merawatnya.  Di landai itu, tepatnya bernama patung kuda, mereka beristirahat lebih panjang. “woy, air dong,” terdengar sahutan dari yang kehausan. Botol air pun dilempar.

Perjalanan yang seperti mencari kitab suci ini kami lanjutkan. Kali ini tanah yang kami lewati, lebih parah. Tanahnya berwarna hitam. Seperti bekas kena air hujan. Memang, saat dinjakki, mudah goyah. Tapi tanah itu terus dinaiki, melewati jalan-jalan sempit yang dihimpit bebatuan. Tampaknya jalan itu sebagai tempat mengalirnya air dari puncak gunung. Saat berjalan, kabut pun terus berhamburan menutupi kasat mata. Di pinggirnya batu-batu tebing berdiri kokoh seakan menjadi benteng pelindung. Gerimis pun mulai turun kecil-kecil. Langit mulai gelap, tapi waktu tak menunjukkan tak semestinya langit gelap.Yang paling depan, memutuskan untuk berjalan duluan meninggalkan yang dibelakang, dan mencari tempat berkemah dan membangunnya. Lalu, manusia-manusia belakangan, karena hujan yang mulai deras, mengeluarkan pelindung hujan, ponco dan jas hujan. Dan, akhirnya manusia yang telah berangkat duluan mencari landai, menemukan tempat yang bernama “Sabana”. Para manusia belakangan sampai di tempat itu pada berikutnya.
Tenda segera dibangun. Rintik hujan mulai deras. Langit makin gelap. Sulit saat itu mencari tempat yang pantas untuk tempat berdirinya tenda. Di tempat tertentu, di tanah yang letaknya dibawah dari tanah yang tinggi, air akan mudah menyerap masuk ke tenda. Akhirnya, setelah dicari di tengah udara dingin dan hujan yang mulai ganas, ditemukan pula tempat untuk tenda. Lokasinya di tanah datar yang berada di atas, dinaungi dan diapit pepohonan yang cukup lebat. Tenda didirikan. Ransel-ransel, dipindahkan dari lokasi pertama ke lokasi yang tenda sekarang. Sebagian yang lain, ada yang mencari kayu bakar untuk api unggun. Golok digenggamnya dan dicarinya batang-batang pohon untuk api unggun.

Setelah terkumpul kayu-kayu itu, tenda telah didirikan, api unggun pun dinyalakan. Kehangatan alam begitu terasa nikmatnya. Tiada tara dan tiada banding. Kebersamaan alam hadir secara hangat saat relung-relung dihembuskan asap-asap api yang menghangatkan. “Wuuihh, benar-benar berada dalam dunia yang damai ya..,” kata salah satu dari mereka. (bersambung)

Comments

Unknown said…
Manstaaaaabbb....