Jangan Jadi Orang Sukses!

Pepohonan yang umurnya bagaikan kakek-kakek bongkok serta terbentangnya ladang sawah menghiasi sebuah desa terpencil yang jauh dari kebisingan. Masyarakatnya sedang asik sibuk dengan ladang sawahnya.

Ya, bertani bagi mereka adalah esensi kehidupannya. Terlihat juga para pemuda yang siapa lagi kalau bukan anak-anak mereka, yang ikut membantu seakan tidak memiliki aktivitas lagi yang bisa diperbuat.

“Nak, kamu lebih baik bantu ayah di ladang, kalau tidak ada yang mengurusi ladang ini, kita mau makan apa?, entar gimana dengan adik-adik kamu yang masih kecil?” tutur Sudarmono kepada anak pertamanya, Modar.

Modar lalu berkata, “Ayah, sebetulnya Modar ingin sekali sekolah, ingin pintar, ingin berguna bagi orang lain…”

Tidak lama berbicara, perkataannya seperti hendak disalip oleh omongan ayahnya. “Membantu orang tua itu kan juga berguna, malah itu lebih penting lho. Lagi pula kalau kamu sekolah, kita mau makan apa? Ibu pun udah enggak ada.”

Lagi-lagi ucapan itulah yang keluar dari guratan keriput bibirnya disertai sedikit tambahan kalimat yang semakin mendiamkan Modar. Walaupun mungkin masih sempat menggerutu dalam hati.

Modar memiliki dua adik perempuan dan satu adik laki-laki. Semuanya masih berumur jagung. Dalam desa itu, keluarga Sudarmono merupakan segelintir yang menganggap pendidikan itu kurang penting. Selain itu, sekolah yang berada di daerah perkotaan, sangat jauh dari desanya yang berada di pelosok hutan itu.

Seminggu setelah itu, desa tersebut dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tampak seperti pemuda bergaya kota yang membawa tas yang melampaui tinggi kepalanya di punggungnya. Masyarakat desa terheran olehnya.


Sudarmono yang berada paling depan barisan tontonan itu bertanya, “Dari mana ya, de?

“Saya dari Jakarta,” kata sang pemuda itu yang tampak kelelahan.


“Oh..Jakarta, terus mau ngapain ya ke sini?” tanya sudarmono sambil keheranan. 



“Maaf pak, saya mau meneliti pohon-pohon yang ada daerah ini.”



Sudarmono dengan niat keramahan dan kebaikannya, tiba-tiba langsung menawarkan rumahnya ke pemuda itu untuk menginap di sana karena melihat cara bernafasnya yang sudah ngos-ngosan.

“Kalau itu tidak ngerepotin bapak, saya berterima kasih sekali,” jawab sang pemuda itu dengan nada lunglainya.


“Mari saya antar,” ujar Sudarmono.

Tak terasa, keesokan harinya, sang pemuda itu bangun kesiangan. Lelah yang dialaminya menyenyakkan tidurnya. Jendela kamar yang masih tertutup rapat, ia buka. Terik matahari kerutkan matanya dan terangkan kamar tempat ia terlelap pulas. Ia memandangi keteduhan hamparan pepohonan dan sawah beserta para petaninya.

Namun, ia heran karena desa ini sepi akan para pemuda-pemudinya. Saat ia keluar rumah, baru tampaklah para pemuda dengan semangatnya, memanen hasil sawahnya yang berbulan-bulan telah dirawat dan dinanti.


Saat waktu istirahat tiba, ia mendatangi saung Sudarmono dan bertanya, “Anak-anak muda sini bertani juga ya pak?”

“Iya,” singkatnya.


Emang mereka nggak mau sekolah?” tanya sang pemuda itu ingin tahu.



“Sekolah sih mereka mau, cuma kalau mereka sekolah, kita mau makan apa?, entar 
enggak ada yang bantu ngurusin sawah lagi. Sekolahnya juga jauh banget lagi,” tukas Sudarmono sebelum meneguk air teh yang tersedia.

“Maaf ya pak sebelumnya kalau menyinggung. Mereka juga punya hak untuk sekolah, coba kita bayangkan, kalau saya nggak sekolah, saya nggak bisa jalan-jalan mengetahui perkembangan dunia luar, sampai saya bisa ketemu bapak yang sungguh baik sama saya di sini. Bapak sudah membantu dan menjadi orang yang berguna bagi diri saya sendiri. Lalu apa bapak tidak ingin anak bapak menjadi orang berguna dan lebih banyak membantu orang-orang di luar sana yang membutuhkan bantuan. Bapak pun akan bangga nantinya,” jelas sang pemuda itu berusaha menyadarkan Sudarmono.

“Orang berguna? Rasanya kata-kata itu pernah terlontar dari mulut anakku,” pikir Sudarmono. "Lalu gimana anak saya ingin membantu kalau saya sendiri ini tak punya apa-apa."


“Bapak harus menyekolahkan anak bapak agar menjadi orang besar, bukan orang sukses,” tegas sang pemuda itu.

“Lho kok bukan orang sukses?,” spontan Sudarmono.

“Kalau jadi orang sukses, perampok, koruptor dan teroris pun bisa sukses. Tapi kalau orang besar tidak sembarang orang bisa mencapainya, bukan hanya pintar gunain ilmunya, tapi juga harus baik dalam jiwa kemoralannya. Lalu keharuman akan mengiringi namanya dan juga bapak Kalau sudah begitu, membantu orang lain akan sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan,” tukas sang pemuda itu sembari mengusap keringat di dahinya.

Tiga hari setelah itu, saat sang pemuda hendak berangkat melanjutkan perjalanan. Sudarmono tersenyum dan berkata, “Saya akan menyekolahkan anak-anak saya dan menyuruh masyarakat di sini seperti yang kamu katakan, nak.”

Sungguh bangga hatinya saat mendengar hal itu. Saat ia kembali ke Jakarta, dengan kuasa yang sebenarnya dimiliki, ia mengutus orang-orangnya untuk membuat sekolah di dekat desa yang pernah dikunjunginya. Semoga aja ada orang berengsek yang seperti ini ya…

Ditulis kalau tak salah pada 2010. Tulisan ini 
dimaksudkan untuk menjadi cerpen, dan dimuat di 
Tabloid INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
edisi entah keberapa

Comments