Pepohonan yang umurnya bagaikan kakek-kakek bongkok serta
terbentangnya ladang sawah menghiasi sebuah desa terpencil yang jauh dari
kebisingan. Masyarakatnya sedang asik sibuk dengan ladang sawahnya.
Ya, bertani bagi mereka adalah esensi kehidupannya. Terlihat juga
para pemuda yang siapa lagi kalau bukan anak-anak mereka, yang ikut membantu
seakan tidak memiliki aktivitas lagi yang bisa diperbuat.
“Nak, kamu lebih baik bantu ayah di ladang, kalau tidak ada yang
mengurusi ladang ini, kita mau makan apa?, entar gimana dengan
adik-adik kamu yang masih kecil?” tutur Sudarmono kepada anak pertamanya,
Modar.
Modar lalu berkata, “Ayah, sebetulnya Modar ingin sekali sekolah,
ingin pintar, ingin berguna bagi orang lain…”
Tidak lama berbicara, perkataannya seperti hendak disalip oleh
omongan ayahnya. “Membantu orang tua itu kan juga berguna, malah itu lebih
penting lho. Lagi pula kalau kamu sekolah, kita mau makan apa? Ibu pun udah enggak
ada.”
Lagi-lagi ucapan itulah yang keluar dari guratan keriput bibirnya
disertai sedikit tambahan kalimat yang semakin mendiamkan Modar. Walaupun
mungkin masih sempat menggerutu dalam hati.
Modar memiliki dua adik perempuan dan satu adik laki-laki.
Semuanya masih berumur jagung. Dalam desa itu, keluarga Sudarmono merupakan
segelintir yang menganggap pendidikan itu kurang penting. Selain itu, sekolah
yang berada di daerah perkotaan, sangat jauh dari desanya yang berada di
pelosok hutan itu.
Seminggu setelah itu, desa tersebut dikejutkan oleh kedatangan
seseorang yang tampak seperti pemuda bergaya kota yang membawa tas yang
melampaui tinggi kepalanya di punggungnya. Masyarakat desa terheran olehnya.
Sudarmono yang berada paling depan barisan tontonan itu bertanya, “Dari mana ya, de?
“Saya dari Jakarta,” kata sang pemuda itu yang tampak kelelahan.
“Oh..Jakarta, terus mau ngapain ya ke sini?” tanya sudarmono
sambil keheranan.
“Maaf pak, saya mau meneliti pohon-pohon yang ada daerah
ini.”
Sudarmono dengan niat keramahan dan kebaikannya, tiba-tiba langsung
menawarkan rumahnya ke pemuda itu untuk menginap di sana karena melihat cara
bernafasnya yang sudah ngos-ngosan.
“Kalau itu tidak ngerepotin bapak, saya berterima
kasih sekali,” jawab sang pemuda itu dengan nada lunglainya.
“Mari saya antar,”
ujar Sudarmono.
Tak terasa, keesokan harinya, sang pemuda itu bangun kesiangan.
Lelah yang dialaminya menyenyakkan tidurnya. Jendela kamar yang masih tertutup
rapat, ia buka. Terik matahari kerutkan matanya dan terangkan kamar tempat ia
terlelap pulas. Ia memandangi keteduhan hamparan pepohonan dan sawah beserta
para petaninya.
Namun, ia heran karena desa ini sepi akan para pemuda-pemudinya.
Saat ia keluar rumah, baru tampaklah para pemuda dengan semangatnya, memanen
hasil sawahnya yang berbulan-bulan telah dirawat dan dinanti.
Saat waktu
istirahat tiba, ia mendatangi saung Sudarmono dan bertanya, “Anak-anak muda
sini bertani juga ya pak?”
“Iya,” singkatnya.
“Emang mereka nggak mau sekolah?”
tanya sang pemuda itu ingin tahu.
“Sekolah sih mereka mau, cuma kalau mereka
sekolah, kita mau makan apa?, entar
enggak ada yang bantu
ngurusin sawah lagi. Sekolahnya juga jauh banget lagi,” tukas Sudarmono sebelum
meneguk air teh yang tersedia.
“Maaf ya pak sebelumnya kalau menyinggung. Mereka
juga punya hak untuk sekolah, coba kita bayangkan, kalau saya nggak sekolah,
saya nggak bisa jalan-jalan mengetahui perkembangan dunia luar, sampai saya
bisa ketemu bapak yang sungguh baik sama saya di sini. Bapak sudah membantu dan menjadi orang yang berguna bagi diri
saya sendiri. Lalu apa bapak tidak ingin anak bapak menjadi orang berguna dan
lebih banyak membantu orang-orang di luar sana yang membutuhkan bantuan. Bapak
pun akan bangga nantinya,” jelas sang pemuda itu berusaha menyadarkan
Sudarmono.
“Orang berguna? Rasanya kata-kata itu pernah terlontar dari mulut
anakku,” pikir Sudarmono. "Lalu gimana anak saya ingin membantu
kalau saya sendiri ini tak punya apa-apa."
“Bapak harus menyekolahkan anak bapak agar menjadi
orang besar, bukan orang sukses,” tegas sang pemuda itu.
“Lho kok bukan orang sukses?,” spontan Sudarmono.
“Kalau jadi orang sukses, perampok, koruptor dan teroris pun bisa
sukses. Tapi kalau orang besar tidak sembarang orang bisa mencapainya, bukan
hanya pintar gunain ilmunya, tapi juga harus baik dalam jiwa
kemoralannya. Lalu keharuman akan mengiringi namanya dan juga bapak Kalau sudah
begitu, membantu orang lain akan sangat mudah, semudah membalikkan telapak
tangan,” tukas sang pemuda itu sembari mengusap keringat di dahinya.
Tiga hari setelah itu, saat sang pemuda hendak berangkat
melanjutkan perjalanan. Sudarmono tersenyum dan berkata, “Saya akan
menyekolahkan anak-anak saya dan menyuruh masyarakat di sini seperti yang kamu
katakan, nak.”
Sungguh bangga hatinya saat mendengar hal itu. Saat ia kembali ke
Jakarta, dengan kuasa yang sebenarnya dimiliki, ia mengutus orang-orangnya
untuk membuat sekolah di dekat desa yang pernah dikunjunginya. Semoga aja ada
orang berengsek yang seperti ini ya…
Ditulis kalau tak salah pada 2010. Tulisan ini
dimaksudkan untuk menjadi cerpen, dan dimuat di
Tabloid INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
edisi entah keberapa
Comments