Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika

Dalam sejarahnya, konsep hermeneutika pertama kali ditemukan pada zaman yunani kuno. Konsep ini lebih jelas terdapat dalam literatur Yunani kuno, terutama karya Aristoteles, Peri Hermeneias yang berarti ‘tentang penafsiran’.

Orang Yunani kala itu menggunakan kata “ermenia” untuk mendeskripsikan apa yang sekarang kita sebut sebagai penerjemahan, tepatnya dapat dikatakan sebagai proses ‘penafsiran’. Dalam mitologi Yunani, istilah hermeneutika (dulu hermeneuine atau hermeneia), banyak yang mengasosiasikan kata ini dengan Hermes (Hermeios), yang dianggap sebagai anak dari pasangan dewa Zeus dengan Maia.

Hermes adalah utusan dewa yang memiliki tugas menerjemahkan pesan dewa di gunung Olympus, ke dalam dalam bahasa manusia. Menurut Bleicher, yang dikutip Mudjia Raharjo dalam Dasar-dasar Hermeneutika, berhasil atau tidaknya misi penyampaian pesan kepada manusia itu ditentukan oleh Hermes berdasarkan cara bagaimana ia menafsirkan dan menyampaikannya dalam bahasa manusia.

Menurut Richard E. Palmer, dari hal di atas, hermeneutik dimaknai sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pemahaman ini dianggap benar dari segi pandangan klasik maupun pandangan modern. (E. Sumaryono 1999: 24).

Walaupun hermeneutika sudah diterapkan terlebih dahulu, namun istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione, Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus, Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Baru pada 300 SM, Stoicisme kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.

Metode alegoris ini dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50M), seorang Yahudi yang disebut sebagai Bapak metode alegoris. Ia mengajukan metode bernama typology. Buah dari pemikiran ini menganggap bahwa pemahaman makna spiritual teks tidak berasal dari teks itu sendiri, akan tetapi kembali pada sesuatu yang berada di luar teks.

Penerapan metode yang dilakukan Philo ini didasarkan atas Kitab Perjanjian Lama. Ia menginterpretasikan “pohon kehidupan” sebagai “takut kepada Tuhan”, “pohon pengetahuan” sebagai “hikmah”, “empat sungai yang mengalir di surga” sebagai “empat kebajikan pokok”, “Habil” sebagai “takwa yang bersumber dari akal”, “Qabil” sebagai “egoisme” dan sebagainya.

Ketika bahasa tulis (teks) muncul, Aristoteles menegaskan bahwa “tanda-tanda tertulis itu hanyalah simbol bagi ucapan lisan”, sebagaimana penegasan Plato tentang hal ini, bahwa “wacana tertulis, yang paling baik sekalipun, tetap saja berfungsi sebagai re-memorasi”. Di sini, keduanya sepakat untuk mengembalikan media tertulis ke kata yang terucap, sedangkan kata terucap ini adalah simbol bagi kata batin (inner world).

Pada abad ke-4 SM, metode hermeneutika merupakan perpindahan fokus penafsiran dari makna literal sebuah teks kepada makna lain yang lebih dalam. Penerapan metode ini dilakukan oleh para pengikut aliran filsafat Antisthenes. Secara tidak langsung, metode itu telah menerapkan hermeneutika pada epik-epik karya Homer pada abad ke-9 SM.

Merekalah pula yang mengartikan Zeus sebagai Logos (akal). Pikiran mereka didasarkan pada kepercayaan bahwa dibalik perkataan manusia sebenarnya memiliki inspirasi Tuhan. Kepercayaan tersebut sejatinya refleksi pandangan hidup orang-orang Yunani saat itu.

Istilah hermeneutika yang dalam bahasa inggris adalah hermeneutics, berasal dari kata dalam bahasa Yunani, hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.

Tapi sebelumnya, hingga abad ke-17, kata latin hermeneutica belum muncul. Namun, baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama Johann Konrad Danhauer (1603-1666) dalam bukunya yang berjudul: Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum. Dalam penilaiannya, hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks.

Lagi-lagi, tidak dapat terlepas dari Aristoteles, karena pendapatnya ini didapati dari Peri hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklaim bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku, tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian.

Wilhelm Dilthey, sejarawan pertama tradisi Hermeneutika, menyatakan bahwa hermeneutika telah muncul satu abad lebih awal oleh Protestantisme, sesaat setelah lahirnya prinsip Sila Scriptura Luther. Namun dari laporan Dilthey, kita akan kesulitan menemukan dari tulisan-tulisan apa yang dapat disebut Hermeneutika dalam semangat Luther. Baru dalam karya para pengikut Luther seperti Philipp Melanchton (1497-1560) dan Flacius Illyricius (1520-1575).

Pada perkembangannya, hermeneutika mengalami peralihan objek. Awalnya, hermeneutika digunakan untuk menafsirkan kitab Injil. Namun, seiring berjalannya waktu, objek hermeneutika pun kian berubah. Tak ada yang menyangka, yang merubah pada awalnya ini adalah seseorang yang berketurunan dari keluarga yang taat ibadah. Dialah schleimacher. Saat hermeneutika terpaku pada satu teks saja, ia tidak sependapat dengan arus pendapat orang kebanyakan.

Hermeneutika adalah ilmu menafsirkan. Dan bahan untuk ditafsirkan itu bukan hanya dari kitab Bibel, tapi juga untuk semua ragam teks. Pemrakarsa hermeneutika modern ini membawa arus hermeneutika ke ruang yang lebih luas, yakni ruang filsafat.

Dalam pandangannya, hermeneutika tidak terbatas pada kitab suci. Hermeneutika sebagai sebuah metode dituntut adanya objektifitas dari penafsiran. Dengan kata lain, si penafsir harus berusaha memasuki alam pikiran si pengarang, dari aspek ruang dan waktu. Karena dengan begitu manusia akan mengetahui makna hakikinya. Selanjutnya Hermeneutika dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey sendiri yang menggagas hermeneutika sebagai landasan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dilthey menganggap bahwa hermeneutika bersifat menyejarah, yang artinya, suatu makna tidak berhenti pada satu masa saja. Selalu berubah berdasarkan modifikasi sejarah. Suatu teks, saat ditafsirkan, tidak memiliki satu makna. Karena dalam pengkaajiannya tergantung pada konteks sejarah.

Runtutan pengembang hermeneutika, dilanjutkan oleh Martin Heidegger. Dalam kaitannya dengan hermeneutika, pengkajian suatu teks harus mengungkapkan makna terselubungnya, dan perlu penghayatan terhadap kegiatan kebahasaan, karena bahasa bersifat dinamis dan selalu bergerak. Sifat dinamis bahasa inilah yang menjadi landasan berpikirnya terhadap hermeneutika.

Lalu berlanjut kepada pemikiran Hans George Gadamer. Gadamer sebagai murid Heidegger, ia banyak mengambil sari pemikiran Heidegger. Berbeda dengan hemeneutikawan sebelumnya, ia berpendapat bahwa dalam pengkajian teks tidak bisa terlepas dari pengalaman seorang penafsir. Pemikirannya ini berlawanan dari Scheleimaher, yang menekankan kegiatan penafsiran harus berusaha sampai pada apa yang dipikirkan si pengarang.

Penafsir pun harus memasuki ruang pikiran pengarangnya. Namun, Gadamer menganggap hal itu tidak bisa dilakukan. Karena bagaimanapun seorang penafsir tidak dapat melepaskan pengaruh dirinya. Makna teks itu perlu disesuaikan dengan konteks zaman penafsir. Bukan konteks zaman pengarang.

Pemikirannya inilah yang membuat hermeneutika terbagi menjadi dua aliran. Hermeneutika Intensionalis yang didasari pada pemikiran Schleimaher, dan hermeneutika Gadamerian yang didasari buah pikiran Gadamer.

Hermeneutika berkaitan erat dengan pemahaman. Hal ini pula yang menjadi landasan hermeneutika Jurgen Habermas, meski ia tidak terlalu menaruh perhatian pada hermeneutic. Walau begitu, pemikirannya mengenai pemahaman, membantu hermeneutika mengalami perkembangan.

Dalam konsepnya tentang pemahaman, ia menegaskan bahwa manusia tidak akan mampu menjelaskan apa yang tidak dipahaminya. Bahkan, manusia pun tidak membuat interpretasi akan hal-hal tersebut (Sumaryono 1999: 90).

Kegiatan memahami sesuatu dibutuhkan proposisi-proposisi terhadap fakta yang ada. Pemahaman itu memiliki keterpaduan antara pengalaman dengan pengertian. Dalam pembuatan pengertian, dibutuhkan pemahaman yang benar. Karena itu, pemahaman berperan sebagai subjek. Dan penjelasan media dalam mengungkapkan pemahamannya. Penjelasan itu, menurut Habermas, dibutuhkan sifat objektif terhadap fakta yang dikaji.

Terkait dengan hermeneutik, pemahaman bukan didasarkan hubungan-hubungan factual, tapi pada fenomena bahasa, yang menjadi simbol-simbol. Pada inilah yang disebutnya sebagai bahasa murni. Karena pada hakikatnya, bahasa memiliki makna definitif sekaligus memiliki simbol yang perlu dilakukan pemahaman terhadapnya. 

Hermeneutik membutuhkan pemahaman tentang makna yang mampu mengartikan hubungan antarsimbol sebagai fakta. Lebih dari itu, ia memandang bahwa hermenutik melibatkan tiga kelas dalam kehidupan, yakni linguistik, tindakan, dan pengalaman. Jadi, dalam hemeneutik, mesti ada kombinasi tiga kelas tersebut.

Kemudian pemikiran yang beragam tentang hermeneutika ini dilanjutkan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault, Lyotard, Jean Baudrillard, dan yang lain.

Comments