Pengantar tentang Ittihad dalam Tasawuf

Secara etimologi, ittihād (al-Ittihād) berarti ‘persatuan’. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.

Ittihād dalam ajaran tasawuf, kata Ibrahim Madkur, adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu,terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.
Ittihād akan tercapai kalau seorang sufi mampu menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Dalam faham ittihād,- hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi.
Dalam Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara sufi dengan Tuhan.
Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fī al tauhīd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan: Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana.
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihād. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya

Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).
Selanjutnya Abu Yazid berkata : "Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku".
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan : "Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana".
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād.
Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf, demikian kesimpulan Abdul al-Hakim Hassan, adalah sampai kesadaran bersatu dengan Allah (Abdul al-Hakim Hassan, 1954: 19). Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya manusia yang mebngarahkan jiwa yang benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat merasakan perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah).
Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad aau menyatu dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut:
Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah.
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut:

"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia". (QS. Yusuf: 31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan. Ia memiliki beberapa ciri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1.      tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap menerimanya.
2.      memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan nalar intelik.
3.      pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya berlangsung dua jam.
4.      terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.
Pengalaman mistik tertinggi memeng mengahasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.

Comments