Teori Terjemah dan Sekilas Sejarahnya


 
1. Tentang Terjemah 
 
Perlu diketahui, kebudayaan bukan berasal dari kekosongan. Ia muncul dari pelbagai budaya yang kemudian menjadi satu kebudayaan yang padu. Jelas bahwa kebudayaan memiliki proses memberi dan menerima, dari kebudayaan yang mendahuluinya.

Dalam kaitannya dengan perkembangan peradaban Islam, penerjemahan memiliki andil yang besar. Peradaban Islam mulanya berkembang karena adanya proses penerjemahan buku-buku keilmuan yang berasal dari Yunani, Persia, India, dan Mesir. Sebuah peradaban yang maju dimulai dari perhatiannya terhadap penerjemahan.

Peradaban yang maju itu tak hanya dirasakan Jazirah Arab. Jepang, sebagai negara yang kini mengalami kemajuan amat pesat, pun tak bisa dielakkan tentang peran penerjemahan yang telah membantunya dalam mentransfer pelbagai keilmuan dari bangsa lain. Sebelumnya, pada zaman Shogun Tokugawa, Jepang mengisolasi dirinya sehingga negeri sakura itu dianggap tertinggal. Mereka tak tahu dunia luar, dan tak tahu apa yang terjadi di luar. Buta informasi.

WARNING: JANGAN MAIN ASAL JIPLAK!!! JADILAH MAHASISWA YANG RAJIN!!!

Namun, restorasi Meiji pun terjadi, yang berdampak pada berkembangnya keilmuan di semua lini. Dan kini, kita bisa melihat, Jepang menjadi salah satu negara pengekspor terbesar dalam hal teknologi yang sedemikian canggih.

Dalam konteks Indonesia, awalnya penerjemahan dilakukan mulai dari teks-teks keagamaan, tepatnya pada saat Sultan Iskandar Muda memegang tampuk kepemimpinannya di Aceh. Ketika itu pula banyak karya terjemahan ulama Indonesia yang muncul ke permukaan. Tentu saja ini sebagai tanda bahwa mereka telah sadar akan pentingnya penerjemahan dalam membina peradaban umat manusia.

Karena itulah manusia dapat memperluas wawasannya, sebab, ada tindak komunikasi. Penerjemahan tak hanya soal mengubah teks yang terdiri unsur bahasa lain, tapi juga sebagai tindakan komunikasi. Penerjemahan pun memiliki kaitan dengan wacana, dan malah bukan dengan bahasa. Karena, dengan unsur-unsur bahasa yang sama, manusia bisa mengatakan dua hal yang berlawanan. Dengan begitu, dapat dikatakan, objek penerjemahan adalah maksud.

2. Pengertian Penerjemahan
Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah diambil dari bahasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab tersebut juga sebenarnya meminjam istilah dari bahasa Armenia, turjuman, yang sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman, artinya orang yang mengalihkan tuturan daru satu bahasa ke bahasa lain.

Secara etimologis, Az-Zarqani menjelaskan bahwa terjemah memiliki empat makna:
a.Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu.
b.Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama.
c.Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda.
d.Memindahkan tuturan dari suatu bahasa ke bahasa lain.

Dengan paparan di atas, dapat dikatakan, menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan. Mengutip Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Zaka Al-Farisi menjelaskan, penerjemahan adalah proses pengalihan suatu teks atau lisan ke dalam bahasa lain.

Kendati begitu, penerjemahan selama ini didefinisikan melalui beragam cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Seperti pendekatan kebahasaan yang digunakan Catford, dalam melihat kegiatan penerjemahan. Pada definisi yang dibuatnya, ia memaparkan penerjemahan sebagai upaya mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasan sasaran.

Newmark juga memberikan definisi serupa, tapi lebih jelas. Penerjemahan, dalam pandangannya, adalah menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang. Maksudnya, yang pertama, penerjemahan adalah upaya mengganti teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. Kedua, yang diterjemahkan adalah makna sebagaimana yang dimaksudkan pengarang.

Di samping itu, Nida dan Taber menjelaskan bahwa penerjemahan adalah upaya mengungkapkan kembali pesan dan suatu bahasa ke dalam bahasa lain.  Dari pandangan mereka, penerjemahan tidak akan menghasilkan terjemahan yang benar ataupun salah secara absolut. Karena penerjemahan itu berlandaskan “untuk siapa” penerjemahan dilakukan. Bahkan, dijelaskan kembali, bahwa penerjemahan pun bisa berdasarkan “untuk tujuan apa”.

Meski demikian, ada pula beberapa tokoh penerjemahan yang pendapatnya cenderung ke arah kepentingan diri pengarangnya. Seperti Newmark, yang mendefinisikan penerjemahan sebagai upaya pengalihan makna suatu teks ke dalam bahasa lain, sesuai maksud pengarangnya. Sedangkan Pinchuck, lebih umum dalam membuat definisi penerjemahan. Di mata Pinchuck, penerjemahan sebagai suatu proses menemukan padanan suatu ujaran dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Akan tetapi, salah seorang tokoh penerjemahan bernama Larson mengemukakan aspek penting dalam penerjemahan terletak pada makna. Larson menjelaskan, pengalihan bahasa tersebut dimulai dari bentuk bahasa yang pertama, ke bentuk bahasa yang lain, melalui struktur semantis.

Dengan demikian, ada aspek mengalihkan, dan mempertahankan makna. Namun, dalam hal bentuk bahasa, boleh dilakukan pengubahan.  Seluruh pendapat itu saling berkesinambungan satu sama lain. Pada intinya, pelbagai pendapat tersebut telah menyepakati penerjemahan sebagai sebuah upaya pengalihan pesan dari satu bahasa ke bahasa lain. Tujuannya, yakni membuat pesan menjadi sesuai dan dipahami oleh penerima atau kelompok penerima.

3. Jenis-jenis Terjemah
Cara penerjemahan yang dilakukan penerjemah dalam mengungkapkan makna sebuah teks ada beberapa macam. Jika ditilik cara penerjemahan dari khazanah dunia Arab, maka ada beberapa metode. Di antaranya, metode harfiah, dan metode tafsiriah.

Meski begitu, jenis itu dapat dikatakan kurang rinci karena literatur Barat lebih menaruh perhatian pada beberapa konsep penerjemahan. Alhasil, tokoh seperti Newmark memaparkan lebih rinci tentang konsep tersebut. Menurut Newmark, ada delapan jenis terjemah, di mana penerjemah dapat memilih salah satunya.

Delapan jenis penerjemahan nantinya akan menghasilkan bentuk-bentuk terjemahan yang berbeda, dan tergolong menjadi dua, yakni empat yang berorientasi pada Bahasa Sumber (BSu), dan yang empat lagi berorientasi pada Bahasa Sasaran (BSa).  Delapan metode itu sebagai berikut.

a. Kata demi kata
Penerjemahan kata demi kata dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata. Tata kalimatnya pun dibiarkan sedia kalanya seperti dalam teks sumbernya. Pencarian makna dalam metode ini tidak mengandalkan konteks pemakaiannya, tapi lebih cenderung ke arah makna yang umum. Kata yang memiliki unsur budayanya juga diterjemahkan secara harfiah. Metode ini memang sebagai langkah awal dalam melakukan penerjemahan.

b. Harfiah
Penerjemahan cara ini juga dilakukan dalam tahap awal. Kata-kata tetap diterjemahkan satu demi satu tanpa mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Kalimat yang panjang dan sulit diterjemahkan secara harfiah terlebih dahulu, kemudian barulah disempurnakan.

Jika pada metode kata demi kata masih menggunakan struktur bahasa sumber, maka, dalam metode harfiah ini, susunan kalimatnya sudah diubah ke dalam struktur bahasa sasaran. Hanya saja, gaya bahasanya tetap berorientasi pada bahasa sumber. Metode harfiah ini amat menjaga bahasa yang melekat pada bahasa sumber, dan mencegah terjadinya penyelewengan dalam pengalihan pesan.

c. Penerjemahan setia
Penerjemahan dilakukan dengan mempertahankan sejauh mungkin aspek format suatu teks sumber, seperti teks sastra, hukum, kedokteran, dan lain-lain. Sehingga, si pembaca secara utuh masih bisa melihat bentuk-bentuk teks aslinya. Biasanya, penggunaan metode ini untuk memperkenalkan ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah dalam BSa.

d. Penerjemahan semantis
Pada metode ini, penerjemahan sangat menekankan pada penggunaan istilah, kata kunci, ataupun ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya. Biasanya hal ini dilakukan dalam penerjemahan karya ilmiah atau teks hukum sesuai “untuk siapa” terjemahan itu dibuat dan “untuk tujuan apa”.

Memang, dalam karya ilmiah, ada sejumlah istilah yang sudah terdefinisi dan harus diterjemahkan secara tepat dari segi semantisnya agar tidak terjadi salah paham.  Terlebih, dalam metode semantis, nilai estetika yang terdapat pada bahasa sumber dipertimbangkan, lalu diselaraskan dengan tujuan memperoleh asonansi, serta dilakukan permainan kata dan pengulangan. Di sinilah penerjemah dituntut untuk lebih kreatif dalam menerjemah.

e. Penerjemahan Adaptasi (Saduran)
Jenis penerjemahan ini lebih mengutamakan isi pesan yang terdapat dalam teks sumber. Sedang bentuknya, disesuaikan dengan kebutuhan pembaca dalam BSa. Pada jenis ini pula biasanya tokoh, setting, dan konteks sosial dipadankan dengan konteks sosial yang ada dalam BSa.  Umumnya jenis ini digunakan untuk menerjemahkan teks-teks bernuansa sastra, seperti drama, novel, cerita pendek, di mana semua itu memiliki unsur tema, karakter, dan alur cerita. Seorang penerjemah dalam hal ini pun bisa mengubah kultur pada BSu ke dalam BSa.

f. Penerjemahan bebas
Bedanya dengan metode saduran, penerjemah yang menggunakan metode penerjemahan bebas, tidak melakukan penyesuaian budaya. Penerjemahan bebas ditujukan untuk klien-klien yang ingin mengetahui isi pesannya.  Syihabuddin menyebutnya sebagai metode yang parafrastik, yakni pengungkapan amanat yang terkandung dalam bahasa sumber dengan ungkapan penerjemahnya sendiri, khususnya bahasa sasaran. Sehingga, terjemahan menjadi lebih panjang dari aslinya, dan menjadi lebih jelas dan utuh.

g. Penerjemahan idiomatis
Gaya penerjemahan ini mengupayakan untuk menemukan padanan yang pas terkait istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang tersedia dalam BSa.  Penerjemahan ini juga berusaha mereproduksi pesan bahasa sumber, akan tetapi hal itu cenderung mengubah nuansa makna karena penerjemah menyajikan kolokasi dan idiom-idiom yang tidak terdapat dalam nas sumber.

h. Penerjemahan komunikatif
Metode ini dilakukan dengan mengungkapkan makna kontekstual, yang terdapat dalam bahasa sumber, ke dalam bahasa sasaran, sehingga isi dan maknanya mudah diterima dan dipahami oleh pembaca.  Biasanya, ini sering dilakukan dalam penerjemahan brosur, pengumuman, maupun pelbagai macam tulisan populer.

4. Penerjemahan Sastra
Manneke Budiman, seorang dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menjelaskan, menerjemahkan karya sastra itu selain memindahkan gagasan atau makna, juga harus memindahkan bentuk. Misalnya, prosa menjadi, puisi menjadi puisi. Dari ungkapannya, bisa ditarik kesimpulan, yang bisa menerjemahkan karya sastra hanyalah sastrawan.

Apalagi, di mata Manneke, penerjemahan karya sastra harus tetap setia kepada makna dan bentuk aslinya. Yang dikhianati, itu pemilihan kata, sedangkan makna, suasana, bentuk, harus tetap dipertahankan. Namun, dalam penerjemahan sastra, proses pengungkapan makna ke dalam suatu bentuk tertentu bersifat fleksibel. Karena itulah, Manneke menyebutkan sebagai karya milik “pengarang yang menerjemahkan” bagi orang yang menampilkan pribadinya ke dalam karya terjemahannya, dan bukan sebagai karya pengarang aslinya.

Penerjemahan sastra, memang rumit dibandingkan dengan jenis penerjemahan lainnya. Sebab, penerjemahan sastra tak hanya berkaitan dengan pengalihan suatu bahasa ke bahasa lain, tapi juga ada persinggungan antara dua budaya, dan dua keadaan sosial.  Secara khusus, mengutip ungkapan Pollard, Jiang Tianmin menjelaskan tentang seharusnya penerjemahan novel, yakni sebagai berikut:

“Translating novels is different from translating science. Science deals with universals, and literal translation may be welcomed by the academics interested. The happenings in novels are semi-imaginary, being designed to move the feelings of the community. If a translation sticks to the surface features of the original which have no connection with our country's politics or customs, so making it as dull as ditch-water, what value will it have, and why should the reader spend his energy reading it?”

Dalam uraiannya, Tianmin menerangkan, novel dengan sifat imajinatifnya, jika diterjemahkan dengan cara memasukkan cerita yang dangkal, maka tentunya itu sangat membosankan. Sebab, dalam teks aslinya tersebut terdapat aspek-aspek budaya yang tidak dikenal dalam BSa. Dengan kata lain, penerjemah juga mesti mempertahankan keotentikan teks asliya ke dalam teks terjemahannya.

Lagi pula, di mata Tianmin, penerjemahan novel berbeda dengan ilmu penerjemahan. Secara teoretis, penerjemahan harfiah memang patut dilakukan. Meski begitu, jika dikaitkan dengan penerjemahan novel, maka penerjemahan novel tersebut lebih dari sekadar metode harfiah, karena memerlukan pendalaman demi menjaga keotentikan novel yang dibuat untuk menggoyangkan perasaan si pembaca.

Namun, oleh beberapa bangsa, seperti Perancis dan Italia, di sana menganggap penerjemahan sebagai upaya yang rendah. Orang Perancis menganggap penerjemahan sebagai trahison creatrice, yang berarti pengkhianatan kreatif. Orang italia menyebutnya sebagai pengkhianatan, atau traditore.

Pada dasarnya, penerjemahan merupakan usaha untu mengubah cara pengungkapan dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Bahasa itu mutlak peka budaya, cara pengungkapan dalam suatu bahasa didikte oleh pelbagai segi budaya yang telah menghasilkan bahasa itu, karena bahasa memang diciptakan untuk keperluan komunikasi di lingkungan kebudayaan tertentu. Ini menunjukkan bahwa ada upaya pengubahan kode agar sesuai dengan yang ada dalam kebudayaan sasaran.

Andre Levefere mengusulkan agar terjemahan mendingan ditelaah sejalan dengan istilah rewriting, atau penulisan kembali. Karena, pengadopsian "yang asing" ke norma masyarakat yang menerima, merupakan strategi yang amat penting, yang dibuat oleh sastrawan dalam karyanya. Penulisan kembali itu menduduki peran penting dalam perkembangan sistem kesusastraan. Dengan begitu, teks sastra dapat meneruskan kehidupannya di konteks lain. Hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru.

Referensi:
Dr. Syihabudin MA, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan praktek (Humaniora)
Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Ciputat: Editum, 2009)
Yongfang Hu, The Sociosemiotic Approach and Translation of Fiction, dalam http://accurapid.com/journal/14fiction.htm
Jiang Tianmin, Translation of Context, dalam http://accurapid.com/journal/14fiction.htm
Pustakaloka Kompas, Sabtu 24 Mei 2003
H.W. Hollander, Penerjemahan: Suatu Pengantar, terj. Vertalen (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995)
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000)
Dr. Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008)
M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011)
Penyampaian ceramah oleh Christine Durieux, yang dijadikan tulisan berjudul “Kreativitas dalam penerjemahan teknik”, dalam buku Pengantar Penerjemahan, (Depok: Pusat Penilitian Kemasyarakatan dan budaya, 2000)

WARNING: JANGAN MAIN ASAL JIPLAK!!! JADILAH MAHASISWA YANG RAJIN!!!

Comments