Contoh Bagaimana Menganalisis dengan Teori Semantik

 

Pengertian semantik

Istilah semantik muncul pertama kali oleh organisasi filologi Amerika pada tahun 1894 yang berjudul Reflected Meanings a Point in Semantics. Pada saat itu semantik belum sepenuhnya membicarakan makna sebagai objeknya.

Coseriu dan Geckeler berpendapat bahwa istilah semantik mulai populer pada tahun 50-an, yang diperkenalkan pertama kali oleh seorang sarjana Perancis yang bernama M. Breal pada tahun 1883.

Kedua orang ini juga berpendapat bahwa semantik memiliki tiga istilah yang berhubungan dengannya, yaitu semantik linguistik, semantik logika, dan semantik general.

Secara sederhana semantik merupakan ilmu yang membahas makna secara gramatikal. Dalam buku “Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna” yang dikarang oleh Aminuddin, semantik menganggap makna sebagai bagian dari studi linguistik setelah komponen bunyi dan tata bahasa.

Sedangkan Alex Sobur berpendapat semantic adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan kebahasaan, baik itu makna leksikal maupun makna gramatikal. Makna leksikal adalah kata atau beberapa kata yang memiliki satu makna yang disebut leksem.

Misalnya rumah sakit, kata tersebut walaupun terdiri dari dua kata tapi memiliki satu makna atau dapat dikatakan memiliki satu konsep, yaitu rumah yang untuk orang sakit. Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang terbentuk dari unsur tata bahasa.

Misalnya, 'pendapat' dengan 'berpendapat' memiliki makna yang berbeda. 'Pendapat' berarti pandangan terhadap sesuatu dan ini berkategori nomina. Berbeda dengan 'berpendapat', yang mengandung unsur kepemilikan dan bukan berkategori nomina, melainkan verba.

Setiawati Darmojuwono berpendapat bahwa semantik adalah bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Maksudnya, semantik menghubungkan antara lambang bunyi dan konsep yang telah ada sebelumnya dalam otak kita.

Objek Semantik

Objek semantik ini memunculkan tiga bentuk dalam pemahaman makna, yaitu makna kata secara alamiah, makna kalimat secara alamiah, dan makna kalimat sebagai fungsi komunikasi.

Kata merupakan penandaan terhadap sebuah realitas dalam masyarakat bahasa tertentu, sehingga makna yang muncul dari setiap masyarakat bahasa pun juga berbeda-beda, hal inilah yang disebut arbitrer.

Sedangkan kalimat sebagai perwakilan ataupun pengungkapan yang berasal dari otak terhadap peristiwa sehingga menimbulkan sifat subjektif.

Berdasarkan definisi dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa objek semantik adalah makna yang berasal dari struktur tata bahasa dan wacana. Terkait dengan dengan wacana, sebuah kata memiliki dua makna tergantung konteks kalimat.

Inilah yang disebut makna denotatif, atau makna leksikal, atau makna deskriptif, ataupun makna dasar dan makna relasional. Contoh dua makna tersebut sebagai berikut.

(1) Para tamu undangan tertarik dengan ucapan yang diutarakan guru besar UIN Jakarta Budi Untung Sutorosumo dalam seminar yang diadakan di gedung Balai Komando. 

(2) Guru kakak mengisi khutbah jumat di masjid dekat rumah Apank. 

(3) Umar Bakrie adalah guru teladan di sekolah tempat anaknya belajar.

Makna guru pada contoh di atas jelas berbeda-beda. Makna guru dalam contoh (1) adalah sebagai pembicara seminar.

Makna guru dalam contoh (2) adalah khotib, sedangkan makna guru dalam contoh (3) adalah sesuai dengan makna dasar sebagaimana mestinya. Pada contoh (1) dan (2) makna guru di dalamnya dapat di sebut makna kontekstual karena sangat berkaitan dengan unsur di luar bahasa.

Hubungan Antara Semantik dan Penerjemahan

Secara sederhana semantik dan terjemah menekankan pembahasan makna. Semantik yang merupakan penelusuran makna secara objektif, dan terjemah yang merupakan penyajian makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.

Penyajiannya itulah yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut, karena terkadang suatu teks membutuhkan pemahaman konteks. Karenanya penerjemahan membutuhkan semantik untuk mengetahui makna secara gramatik.

Nurrachman Hanafi dalam bukunya, Teori dan Seni Menerjemahkan, yang mengutip pendapat Eugene A. Nida, menyebut bahwa biasanya penerjemahan melewati tiga proses, yaitu:

1. Analisis 

Merupakan tahapan awal untuk mengetahui dua hal terpenting yang berasal dari teks sumber, yaitu isi dan cara. Karenanya dibutuhkan pendekatan linguistik  dalam mengetahui isi dan cara yang berdasarkan fungsi deskriptif yang terbatas.

Pendekatan linguistik dikenal dengan istilah analisis struktural yang bertugas untuk mengungkap pandangan sebuah teks secara utuh yang tidak bisa ditangkap kecuali dilakukan secara menyeluruh.

Dengan demikian, telah dilakukan analisis dalam terjemahan melalui dua sisi, yaitu sisi obyektif bahasa yang berdiri sendiri dan sisi subyektif pengarang yang tertuang dalam gaya bahasa yang digunakannya.

2. Pemindahan

 Proses kedua ini merupakan hal yang harus dilakaukan oleh seorang penerjemah. Dalam penerjemahan, penerjemah dituntut untuk selalu berorientasi pada naskah asli. Dengan demikian, fungsi analisis semantik dalam proses pemindahan pesan ini hanya mencari makna yang akan digunakan sebagai dasar untuk mencari padanan yang sesuai dengan bahasa sasaran.

3. Penyusunan Kembali 

Tahap yang dilakukan penerjemah adalah penyusunan kembali. Ada tiga hal terpenting dalam proses ini yaitu; 1) sasaran pembaca; 2) konstruksi makna teks secara utuh; 3) diksi. Karenanya sangat dibutuhkan analisis semantik untuk menentukan diksi yang tepat dalam menjelaskan makna dasar yang mudah dipahami oleh sasaran pembaca.

Analisis Semantik Surat Almaidah: 45 Terjemahan Departemen Agama

Dalam pembahasan kali ini, saya mengambil contoh dari skripsi Makyun Subuki yang berjudul Analisis Semantik Terhadap Penerjemahan Ayat-Ayat Tentang Pemberlakuan Syariat Islam Dalam Alquran Terjemahan Depag. Berikut ayatnya.

"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Attaurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, luka-luka pun ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."

Kalimat terakhir yaitu Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim, merupakan terjemahan secara harfiah sekali. Untuk menerjemahkan teks-teks tertentu dibutuhkan konteks untuk mencapai makna yang tepat.

Jika melihat ayat terakhir tersebut, kata 'tidak memutuskan perkara' mengandung arti tidak melakukan perbuatan. Sehingga dengan sendirinya berarti bahwa seseorang itu memang tidak mengeluarkan keputusan apapun atas suatu perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah.

Dengan tidak adanya keputusan yang dibuat si orang tersebut, maka dia tidak bisa disebut zalim karena tidak ada perbuatan pelanggaran yang ia lakukan.

Karena itulah, lebih tepat jika kata 'tidak' dipindahkan setelah kata 'perkara', dan menjadi:

"Siapa yang memutuskan perkara tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka zalim." Terjemahan ini lebih tepat karena mengandung suatu perbuatan melanggar terhadap apa yang diturunkan Allah SWT.

Analisis Semantik Terhadap Hadits Bukhari No. 305 Dalam Ringkasan Shahih Bukhari Terjemahan Mukhtasar Shahih Al-Imam Bukhari
Berikut haditsnya:

Abu Umamah berkata, “Kami shalat zhuhur bersama Umar bin Abdul Aziz. Kemudian kami pergi kepada Anas bin Malik. Tiba-tiba kami mendapatinya sedang mengerjakan shalat ashar. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Paman, shalat apa yang engkau lakukan?’ Dia menjawab, ‘Ashar’, dan ini adalah (waktu) shalat Rasulullah yang kami biasa shalat dengannya.”’

Terjemahan hadits ini memakai metode penerjemahan secara kata demi kata. Itu dapat dibuktikan dengan kata 'pergi' dan 'kepada'. Dua kata ini tidak saling bersesuaian.

Dalam penerjemahan dibutuhkan pemilihan diksi yang tepat agar mudah dipahami oleh para pembaca. Ini membutuhkan makna semantis yang sesuai dengan konteks yang ada pada hadits tersebut.

Oleh karenanya saya memilih kata 'mendatangi' karena kata tersebut memiliki makna yang sesuai dengan konteks hadits tersebut.

Kemudian pada kata 'mendapatinya'. Kata tersebut lebih tepat jika dihubungkan dengan benda mati. Hadits tersebut tidak membicarakan benda mati, tapi manusia. Karenanya saya memilih diksi 'melihat' yang lebih sesuai dengan hadits ini. Jadi, keseluruhan hasil perbaikannya sebagai berikut:

Abu Umamah berkata, “Kami shalat Zuhur bersama Umar bin Abdul Aziz. Kemudian kami mendatangi Anas bin Malik. Kami melihatnya sedang mengerjakan shalat Ashar. Lantas aku bertanya, ‘Paman, shalat apa yang engkau lakukan?' Anas menjawab, ‘Ashar’, dan ini (waktu) shalat Rasulullah yang biasa aku lakukan bersamanya.”’

Daftar Pustaka

Hanafi, Nurrachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. (Flores: Nusa Indah, 1986)

Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. (Jakarta: Rineka Cipta, 2001)

Subuki, Makyun. Analisis Semantik Terhadap penerjemahan Ayat-ayat tentang Pemberlakuan Syariat Islam Dalam Alquran terjemahan Departemen Agama. (Skripsi: UIN Jakarta 2005)

Comments